9. Galih, Rea dan Sheela [end]

15 8 6
                                    

Kehidupan Galih dan Rea setelah beberapa tahun kebelakang ini bisa dikatakan stabil dan normal. Mereka berdua bisa merasakan pahit manisnya menjadi suami istri.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, Rea mengandung anak pertamanya dengan Galih berjenis kelamin perempuan.

Masa-masa indah yang Galih alami saat Rea ngidam nggak akan pernah ia lupakan. Menurutnya, itu sebuah anugrah dari tuhan karena ia bisa merasakan gimana rasanya menjadi suami siaga hingga si kecil lahir ke dunia.

"Papa, jeyek." Anak kecil berusia tiga tahun bernama Sheela itu menjulurkan lidahnya kepada sang Papa.

Posisinya, Sheela menduduki tubuh besar Galih yang berada di atas kasur.

"Ma... Sheela—"

Mulut Galih dibekap dengan tangan mungil milik Sheela. Galih berakting seakan-akan tangan Sheela menutup semua bagian mulutnya.

"Papa, angan adu-adu. Nanti Cila dak boyeh bobo bayeng cama mama."

"Bagus dong! Kamu jadi bisa tidur sendiri, jadi anak yang mandiri."

"Mandiyi na anti aja papa. Cila macih mau bobo cama mama."

Galih terkejut dengan penuturan putri semata wayangnya. Bisa-bisanya anak usia tiga tahun menjawab pertanyaan orang tuanya seperti itu.

"Ini ada apa sih teriak-teriak." Rea menghampiri anak dan suaminya yang berada di atas kasur. Mendudukan dirinya di samping Galih dan Sheela.

"Sheela ngatain aku jelek."

"Mama, Cila dak mau bobo cendili."

Rea tahu, ia mendengar obrolan Sheela dan Galih di balik pintu kamar.

"Karena Sheela ngatain papa jelek, Sheela bobo sendiri malam ini."

"Dak mau mama, cila mau bobo cama Papa." Muka Sheela memerah, pertanda sebentar lagi akan menangis. Dan benar, beberapa detik kemudian, Sheela menangis dengan suara tersedu-sedu.

Walaupun tadi dirinya mengatakan bahwa papanya jelek, tetapi, Sheela nggak pernah mau jauh dari Galih. 

Galihnya pun sama, nggak mau jauh-jauh dari Sheela walaupun sadar dirinya jahil banget sama anak sendiri.

Pernah suatu waktu, Galih mengajak Sheela tanpa Rea. Memang, setiap beberapa bulan sekali, mereka membuat kesepakatan untuk berduaan. Entah itu Galih dengan Sheela, Galih dengan Rea, dan Rea dengan Sheela.

"Sayang, aku mau pacaran dulu ya sama Sheela."

"Cayang, Cila mau pacalan dulu ya cama papa."

Selalu, apa yang dilakukan Galih, Sheela ikuti.

"Oke, pacarannya ngasilin jajan ya. Jangan lupain mama di rumah, oke?"

"Oke."

"Oce."

Dan berakhirlah mereka berdua jalan dari pagi hingga sore dan pulang dengan membawa banyak jajanan yang Rea minta.

"Kalau mau bobo sama papa, Sheela harus minta maaf sama papa."

Si kecil menatap Galih dengan muka memerah dan air mata yang bercucuran lucu. Aslinya Galih nggak tega, tapi, perkataan maaf itu harus walau hanya bercandaan saat mengatakan kalau dirinya jelek. Agar di kemudian hari, Sheela tidak sembarang mengatai orang dan mulutnya mudah untuk mengucap maaf.

Selain maaf juga, kata tolong dan terima kasih juga Rea dan Galih ajarkan. Mereka nggak mau kalau Rea menjadi pribadi yang buruk karena tidak pernah mengucapkan tiga kata tersebut.

"Papa, Cila aap ya?"

"Iya, maafnya Sheela diterima."

Si kecil yang masih berada di atas tubuh Galih mendekat dan merengkuh leher Galih.

Rea yang melihat pun tersenyum, perilaku Sheela itu sangat persis seperti Galih. Lembut dan tegas, nggak malu untuk nunjukin kasih sayangnya dalam sentuhan.

Dirinya yang seorang ibu merasa kalah kalau putri kecilnya dan sang suami sedang berdua, entah itu mengobrol atau sedang menjahili satu sama lain.

Sheela, orang kedua yang merebut perhatian Galih dan juga cinta pertama Galih sebagai seorang ayah. Rea sayang mereka berdua, sungguh dan mutlak.

[03.06.2022]

HOW TO EXPLAIN?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang