Hara (01)

49 3 2
                                    

Kalian tahu? Manusia yang satu ini sangatlah ini aneh. Jika umumnya seseorang mengidamkan kehidupan yang damai, ia malah sebaliknya! Sang Mama memberinya nama Hara sewaktu lahir, dan ia harap kisah hidupnya bisa dipenuhi huru-hara yang menyenangkan.

Namun, realita yang terjadi malah berbanding terbalik, rasanya garis takdir Hara amat monoton. Ia terlalu mudah untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan lantaran memiliki privilege: orangtuanya pengusaha dengan gaya hidup serba mewah, mereka hidup harmonis, selain itu Hara juga mempunyai segudang prestasi dalam bidang non-akademik (dalam bidang akademik ia memang tipe yang standar-standar saja). Yap, Hara bersyukur untuk itu namun ia ingin mencicipi sisi lain kehidupan. Ia butuh sedikit... kekacauan mungkin?

"Hara, besok kamu mulai sekolah offline kan?" Mama berujar tanpa memandangnya, sibuk meracik kue almond di meja pantry, "Huft, akhirnya pandemi ini benar-benar enyah."

Tidak salah lagi, pandemi yang Mama maksud adalah wabah yang telah mencekam negara mereka sekitar dua tahun. Sehingga kedua orangtua Hara pun terpaksa melakukan WFH dalam jangka waktu cukup lama.

"Iya, Ma. Gak terasa Hara udah kelas sebelas," Hara tercenung sejenak, "Besok Hara enggak mau diantar Pak Indro ya. Hara mau naik angkot aja."

Hara sedikit menahan napas, mengantisipasi jawaban Mama terkait izin naik angkot.

"Hahaha, boleh. Nanti kamu harus review kesan pertama naik angkot."

"Ih serius boleh Ma?!" Hara berdiri antusias, disambut anggukan Mama.

Sebenarnya agak membagongkan jika kalian tahu bocah perempuan itu belum pernah naik angkot seumur hidup. Terserah mau percaya atau tidak. Dan akhir-akhir ini ia malah menganggapnya sebagai sesuatu yang tak wajar, haha, entah kenapa. Orangtua Hara merupakan tipe overprotektif, sehingga kemana-mana pun ia wajib memakai kendaraan pribadi. Tetapi detik ini, mungkin Mama sedikit bersikap longgar lantaran menyadari bahwa anaknya semakin tumbuh dewasa.

***

Tiiin tiiin.

Klakson kendaraan bersahutan, menandakan pengemudi yang tak sabar akibat kemacetan. Pukul 06.35 sama sekali tak terasa sejuk, panas menjalar di antara kendaraan yang menumpuk. Setelah presiden memperbolehkan aktivitas publik, kota ini pun mendadak kembali sesak pada jam kerja di pagi hari.

Hara terduduk menahan pengap lantaran angkot yang penuh. Gerah, apalagi ia membiarkan rambutnya terurai hingga punggung tanpa diikat. Rombongan ibu-ibu berseragam daster mengoceh heboh, barangkali pasar menjadi destinasi utama mereka kali ini.

Di saat ekor matanya menangkap sesosok lelaki yang tertidur di pojokan angkot, tiba-tiba sebuah gertakan meluncur nyaring.

"ANGKAT TANGAN! Serahkan uang kalian!"

Laki-laki tadi tersentak kaget, kepalanya yang disangga tangan kala tertidur jatuh seketika. Hara ingin tertawa tapi urung lantaran sadar dengan kenyataan yang ada, seorang preman berpenutup wajah tengah mengacungkan pistol di depan pintu.

Salah satu ibu paruh baya yang mencoba berteriak pun terpaksa bungkam ketika mulut pistol itu beralih menghadap mukanya. Semua penumpang kalap, merogoh tas mereka masing-masing demi menyerahkan sejumlah uang. Apa boleh buat, lebih baik begitu daripada nyawa melayang.

Hara menatap preman itu sengit, mempertimbangkan suatu perhitungan.

Bugh!

Tubuh sang preman misterius terpental mencium tanah. Ups, demi apa Hara tak bermaksud menendang selangkangannya terlalu kencang. Tak disangka ia harus menampilkan tendangan taekwondo di atas angkot.

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang