Gulungan ombak kian menderu ketika terik menghujam kulit dengan gencarnya. Terlihat wanita tua tengah duduk di bawah payung pantai yang telah kusam. Banyak wisatawan berlalu lalang, namun tak ada seorangpun menghampiri untuk membeli apa yang ia jajakan.
"Mak, gantian ya. Biar Ayu yang jaga." Kata Ayu sembari duduk disamping wanita yang wajahnya sudah termakan usia.
"Ati-ati ya Nduk." Kata wanita itu.
"Iya Mak."Wanita tua itu berlalu meninggalkan Ayu sendiri, berjalan menyusuri jalanan kecil menuju permukiman penduduk. Terik yang tak berbelas kasih membuat wanita itu berjalan agak tergesa, meski tetap saja tak bisa ia bergerak cepat dengan leluasa. Ayu hanya terdiam, memandanginya dengan rasa iba. Setelah sang wanita hilang dari pandangan, barulah Ayu memalingkan pandangan. Memandang jauh kedepan menatap lautan lepas yang tak bisa dijangkau kedua matanya.
Ayu terlihat lesu, kucuran keringat tak henti membuat tubuhnya semakin tak karuan. Baru saja Ayu selesai mandi dan berjalan menggantikan untuk berjualan, namun lelah menghampirinya lebih cepat dari biasanya. Hari ini menyengat dan kurang bersahabat, mungkin dewi keberuntungan sedang tak memihak Ayu.
Sesekali Ayu berteriak menjajakan hasil laut yang telah dimasak menjadi peyek, namun tak ada juga yang tertarik. Para pengunjung hanya melewati Ayu tanpa menoleh. Bahkan beberapa memandang Ayu dengan acuh.
'Sungguh, dimanakah letak hati manusia saat ini?' kata Ayu dalam hati.**
"Ayu pulang Mak." Seru Ayu yang bergegas masuk kedalam rumah.
"Gimana Nduk? Rame?" Tanya Wastri.
"Tidak Mak, hanya dapat sepuluh ribu. Tapi nanti Ayu bisa kerja lagi Mak." Jawab Ayu sambil merebahkan punggungnya diatas ranjang kayu yang mulai rapuh.
"Ya sudah, Emak mau bantu bu RT masak pesanan catering. Makanan ada didapur, Emak pergi dulu." Kata Wastri sambil berlalu pergi.
"Iya Mak, hati-hati."Deru ombak kian terdengar ketika senja mulai cantik memperlihatkan warna keemasannya. Bayang-bayang cahaya kecil masuk dari celah dinding bambu, sederhana namun menyenangkan. Sejenak Ayu terpaku memandang sekeliling tempatnya berbaring. 'Apakah ini yang dinamakan rumah?', pikir Ayu sambil menelan ludah.
Dinding anyaman bambu yang beberapa telah mulai berantakan, atap genting yang tiap hujan bocor, beralaskan tanah, serta perabotan rumah yang dibeli bekas dari para tetangga. Jauh dari kata pantas untuk sebuah rumah. Lebih mirip sebuah gubuk untuk hewan ternak milik Pak Kades, piker Ayu.
Ayu masih saja terdiam, menahan kelu atas apa yang dia rasa pada kehiupan. Hidup berdua dengan seorang wanita tua yang diyakininya ibu adalah hal indah. Meski serba kesulitan, namun rasanya Ayu telah bisa bersahabat dengan keadaan. Berbeda halnya dengan masa lalu, hidup penuh cemoohan teman karena tak mempunyai ayah semenjak Ayu lahir.
Semenajak Ayu lahir memang dia tak pernah menganal siapa sosok Ayah dalam hidupnya. Jangankan foto, nama ayahnya saja Ayu tak pernah tahu. Saat Ayu bertanya pada Wastri, pasti jawabannya sama, 'Bapakmu sudah mati, buat apa menanyakan orang yang sudah mati?'
Ayu selalu terdiam saat mendengar perkataan Wastri. Jika Ayu lanjut menuntut penjelasan, pasti Wastri akan mulai menangis dan menyalahkan dirinya. Berulang kali, dengan jawaban yang sama harus Ayu terima.**
Malam kian larut namun bintang kian cerah menampakkan cahaya ditengah redupnya lampu pendopo desa. Lirih terdengar ombak dari kejauhan memecah heningnya malam. Ayu telah selesai merias wajahnya didepan cermin ruang ganti. Sesekali terdengar suara penonton yang riuh menyebutkan namanya "Ayu, Ayu, Ayu!".
Ayu memang lumayan terkenal didesanya sebagai penari ngibing, bahkan nama Ayu tak asing lagi di desa seberang. Namun ketenarannya dipanggung berbanding terbalik dengan kehidupan nyata Ayu. Bagaimana tidak, dipanggung Ayu dipuja-puja, di kehidupan sehari-hari ia diremehkan. Tapi Ayu tak pernah peduli akan hal itu, perasannya telah mati. Tak ada perasaan cinta yang dia punya selain kepada ibunya, karena Wastri adalah satu-satunya orang yang Ayu anggap sebagai wanita paling berharga didalam hidupnya.
Beberapa menit kemudian Ayu keluar, dia mulai melenggok dengan apiknya. Sesekali Ayu melihat ke arah Wastri yang tengah sibuk menyiapkan makanan catering dipojok pendopo. Riuh teriakan dan tepuk tangan terdengar jelas dipendopo. Namun saat ini bukan riuh penonton yang Ayu dengar, melainkan lantunan ombak yang membelainya disela suara gamelan.
Iya, Ayu adalah seorang penari ngibing yang menerukan warisan Wastri. Sudah pasti banyak para lelaki hidung belang yang selalu memandang rendah Ayu, belum lagi para ibu-ibu yang selalu mengeluarkan komentar pedas akan profesi Ayu saat ini. Tapi Ayu tak pernah memikirkan hal itu, semua omongan dan cacian hanyalah angin lalu. Bagi Ayu mencari uang adalah hal yang paling utama, iya uang. Uang yang Ayu anggap sebagai dewa kehidupannya memang tak bisa membeli kebahagiaan, tapi dengan uang Ayu merasa dirinya akan bahagia. Begitu pemikirannya.
Ayu sering berfikir, bagaimana dulu ibunya menjalani hari-hari sendiri sebagai seorang penari? Begitu banyak mata lelaki tertuju padanya namun bukan sebagai impian calon istri. Iya, hanya sebagai pendangan yang ingin meluapkan napsu sesaat pada Wastri. Ayu tahu benar akan hal ini, karena dia pun menjalaninya saat ini. Namun Ayu berbeda, Ayu lebih kuat karena ada Wastri yang selalu menjadi patokan semangatnya dalam menari. Seperti ada ruh yang menguatkan disetiap gerakan lenggok tubuhnya.
"Sudah selesai Nduk?" Suara renta itu mengagetkan lamunan Ayu.
"Sudah Mak, Ayu hanya menari satu kali. Karena ada pertunjukan lain juga."
"Ayu tidak capek kerja seperti ini? Apa Ayu tidak malu?"
"Emak masih bertanya ini lagi ke Ayu?"
"Hanya memastikan, Emak merasa gagal tidak bisa membesarkan Ayu dengan layak. Bahkan untuk sekolah sampai menengah keatas saja Ayu dapatkan sendiri karena beasiswa."
"Mak, Ayu lebih malu kalau Ayu dapat uang banyak dari mencuri atau mengambil hak oranglain. Seburuk apapun pekerjaan Ayu dimata manusia, tapi yang menilai Ayu Tuhan Mak. Bukan mereka."
Wastri tak kuasa membendung tetes air mata setelah mendengar perkataan Ayu. Wastri merasa gagal dalam membesarkan Ayu dalam hal finansial. Putri semata wayang yang dia idam-idamkan memang tidak tumbuh dengan layak seperti kebanyakan anak. Namun kini Wastri sadar, Ayu telah tumbuh menjadi perempuan hebat jauh dari yang ia bayangkan.
"Mak jangan menangis, Ayu akan bahagia jika Emak bangga dengan Ayu." Ucap Ayu lirih sambil memeluk Wastri yang masih sesenggukan.
"Emak sayang sama Ayu, jadilah gadis yang kuat ya Nduk."
"Pasti Mak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Surga
Short StoryAkankah kamu tahu mengenai renjana? Hmm...Renjana ialah sebuah gairah,apa kamu tahu? Entahlah gairah dalam arti apa, yang pasti ini sebuah kenikmatan sendiri yang bisa dinikmati didunia. Gairah memang beragam macamnya, salah satunya hubungan antara...