Keesokan harinya, hape milik Kirana berbunyi sangat garing sekali. Kirana dengan malas meraih hapenya. Dia malah menarik salah satu bantal ada di dekatnya. Segera menutup telinga karena kebisingan irama musik. Tetapi bukan mereda setelah suara hape itu terdiam beberapa detik. Tak berapa lama kemudian, kembali lagi suara hape nya berbunyi.
Dengan kesal Kirana bangun dan menerima panggilan telepon jam istirahatnya. "Halo!"
"Baru bangun?"
Kirana melebarkan sedikit dua matanya. Setelah dia mendengar suara dari seberang. Dia menjauhkan hapenya dan melihat siapa yang menelepon. Dengan malas dia bangun dari tidur dengan muka masih setengah nyawa. Dilirik arah lubang jendela, langit sudah terang.
"Baru saja, belum sepenuhnya, ada apa?" jawabnya dengan suara serak dan belum kembali suara normalnya.
"Kebiasaan, jadi perempuan harusnya bangun pagi,"
Kirana tidak menanggapi kalimat itu. "Baru jam berapa," ucapnya, sekali lagi dia mengambil salah satu hape khusus, dilihat angka jam, pukul sembilan pagi. Lalu dia kemudian menguap sangat lebar.
"Hari Sabtu, kamu bisa pulang?"
Kirana memejamkan setengah matanya. Dia masih ingin tidur. Tapi, pertanyaan itu kembali membuatnya terbangun. "Memang kenapa? Hari Sabtu, tanggal berapa?"
Dengan malasnya dia mengecek kalender di hapenya. "Tanggal enam atau tujuh,"
Memastikan Kirana melihat kalender, "Tanggal tujuh, memang ada acara apa? Nanti aku coba lihat jadwal dulu. Takut ada jadwal dari kampus," katanya.
"Ada yang ingin kami bicarakan sesuatu padamu. Mama harap kamu bisa pulang,"
"Apa begitu penting, kah? Kenapa gak langsung saja membicarakan di sini?"
"Tidak bisa, Kirana. Mama harap kamu bisa pulang,"
Kirana menghela, keinginan orang tua, selalu tidak bisa bantah. "Baiklah, aku akan usahakan."
"Ya sudah, jangan tidur lagi, tidak bagus sifat perempuan bangun siang-siang begini,"
"Iya."
Ketika selesai ngobrol lewat telepon. Kirana bukan menuruti nasehat dari mamanya. Malahan dia kembali tidur dan menarik selimut. Karena udara pagi ini sangat dingin. Bahkan AC juga sudah dia matikan dari jam subuh. Namun, beberapa menit setelah dia akan memejamkan matanya. Malahan rasa kantuk itu tidak bereaksi lagi.
Gara-gara panggilan telepon dari mamanya, membuat dia kebawa pikiran. Mau tak mau, dia pun bangun dan menyibak selimutnya. Dia beranjak dari sana dan membuka jendela. Cahaya sinar pagi hari menyilaukan matanya. Untung posisi kamarnya tidak mengarah ke barat. Jadi sinar matahari tidak mengarah ke tempatnya.
Dia pun keluar dari kamar, isi kostnya seperti rumah biasa. Jika bisa dibilang, Kirana bukan ngekos, malahan sewa rumah. Ini juga rumah sementara ditinggalin sama pemiliknya karena mereka ada urusan di luar kota suatu pekerjaan. Jadi rumah ini kosong, maka dari itu, Kirana menyewanya. Itu juga orang tuanya kenal baik sama pemilik rumah tersebut.
Bahkan, Kirana tidak pernah bayar rumah sewa hampir dua tahun. Sebab, mereka jarang meminta. Seakan Kirana bebas mau memakai apa saja di rumah ini. Maka dari itu, Kirana selalu santai setiap pulang dari kuliah bisa terlalu malam. Siapa yang peduli, dia tinggal seorang diri di sini. Kadang dia juga bosan di rumah. Maka dari itu dia menghabiskan waktu di luar hingga dia puas.
Dibuka kulkas, tidak ada isi apa pun di dalam sana. Hanya ada buah tomat, tomat yang selalu Kirana beli di pajak terdekat. Kalau senggang dia akan beli, kalau tidak, dia sering beli makanan di luar.
Ditutup kembali kulkasnya, dia buka lemari atas di ambil teh celup, masukan gula, dan pasti air panas. Diaduk hampir larut gulanya. Setelah itu, dia berjalan ke ruang televisi, di cek ada beberapa kertas menempel di dinding.
Kertas itu adalah jadwal sampingannya, ada pula jadwal kegiatan kuliah. Kirana bukan cewek pemalas akan suatu pendidikan. Memang dia malas buat kuliah lagi. Jika bukan permintaan orang tua, mau tak mau dia mengiyakan saja. Padahal dia sudah muak dengan urusan angka, huruf, teori, praktek.
"Lusa Jesika off, apa aku juga harus off? Terus..."
Kirana lagi-lagi menghela napasnya. Dia letakkan teh hangatnya di atas speaker. Dia pun mengeluarkan hapenya dan mencari nama kontak seseorang. Sambil menunggu panggilan telepon di angkat, dia menarik kertas notes itu sambil berjalan ke arah pintu tengah.
"Ada apa Kirana? Mau traktir gue makan?"
Terdengar suara dari seberang begitu semangat. Kirana malah tidak respons tanggapan itu. "Aku lagi bokek, justru aku yang minta sama kamu. Ada makanan apa hari ini di rumahmu?"
"Huh! Gue pikir, elu telepon gue, mau traktir gue makan. Bokek? Bukannya minggu kemarin elu baru dapat bonus dari pelanggan?"
"Bonus apaan? Minggu kemarin aku gak masuk, sempat sakit."
"Lah? Sakit? Terus, sekarang sudah sehat?"
"Sudah, sakit biasa saja. Sakit kantong," ucapnya bercanda.
"Yaelah, gue pikir elu beneran sakit. Kalau soal itu uda gak basi lagi, mah. Dipikir-pikir , ada apa nih telepon gue?"
Kirana menarik napas panjang, dia segan sekali meminta bantuan sama temannya. Sepertinya dia sudah kebanyakan hutang. "Boleh pinjam duit, gak?"
Lama menunggu jawaban dari temannya, hidup Kirana tidak seindah seperti temannya. Dia kuliah, karena orang tuanya mau dia mandiri. Hidup mandiri, padahal pekerjaan dia sekarang dia jalankan tidak mulus banget, kalau tunggu panggilan seseorang dari telepon baru dia gerak.
"Sorry, Rana. Bukan gak mau pinjam. Duit gue baru kemarin tak transfer ke rekening adik gue. Adik gue sebentar lagi ujian semester, memang elu butuh berapa sih? Coba gue tanya sama yang lain,"
"Gak, gak perlu. Gak banyak sih. Lima ratus ribu. Ya, kalau kamu gak ada, gak apa-apa. Nanti aku cari pinjaman sama saudara saja," ucapnya, sepertinya dia sudah tebal muka.
Siapa juga yang mau pinjam uang kepadanya lagi. Tahun lalu saja, Kirana belum bayar lunas utang teman anak semester tiga. Ini dia datang lagi buat pinjam lagi. Pastinya tidak diberikan.
"Sorry ya, Rana. Gue serius. Kalo elu gak cepat kasih tau. Pasti gue sisihkan kok, memang duit itu buat apa?"
"Buat jaga-jaga. Soalnya stok makanan aku habis di rumah. Sekaligus lusa aku mau pulang kampung," jawabnya.
"Eh? Tumbenan? Bukannya sabtu ini, kita ada acara di karaokenya Nathan?"
Kirana tidak ingat akan janji itu. "Sabtu? Bukannya sabtu depan sekali lagi?"
"Gak, dimajukan sama Nathan. Katanya sabtu depan dia ada urusan keluarga, jadi dia beritahu buat dimajukan, takut gak sempat adakan acara seperti kemarin-kemarin,"
"Pantes, Jesika bilang lusa dia off," gumam Kirana.
"Eh? Elu ngomong apa barusan?"
"Hah? Gak, kayaknya aku gak bisa ikut deh, sabtu ini, aku pulang kampung. Ada urusan keluarga yang harus dibicarakan," katanya.
Padahal Kirana pengen banget ikut, mana tau di tempat karaoke Nathan ada job lebih bagus. Lumayan dia dapat suntikan dana di kantong yang sudah hampir mengempes ini.
"Ya, sayang banget, ya. Ya uda, nanti gue bilang ke Nathan,"
"Iya, sorry ya, ya sudah, aku mau ke pajak dulu, takut keburu tutup,"
"Oke!"
Ketika selesai mereka ngobrol di telepon. Kirana bersiap untuk ke pajak / pasar, dia akan mandi setelah di pajak nanti. Mungkin dia akan beli beberapa camilan ringan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
√TERJEBAK KARENA NAFSU (21+)
عاطفيةLANJUT BACA DI INNOVEL Terkhusus untuk pembaca di usia 21 tahun ke atas. *** Mau berapa kali alasan pun. Pada akhirnya tetap saja tidak akan berjalan mulus. Kirana hanya sebatas sosok tidak tahu, dan memilih dunia yang tidak adil.