Saat Amara bilang bahwa ada urusan, ia tidak sepenuhnya berbohong. Urusan yang menyangkut dua kakak sepupunya, Ayu dan Kirai.
Semenjak pertengkaran panas dingin di rumahnya waktu itu, mereka bertiga belum saling berbincang lagi. Dan esok hari para trah Wiyata akan berkumpul di kediaman Nini. Semua hadir tanpa terkecuali—meskipun Amara tidak yakin apakah sang ayah yang gila kerja itu akan turut hadir.
Jika Nini dan para generasi kedua Wiyata melihat tingkah perempuan tertua generasi ketiga yang saling menjauh satu sama lain, tentu akan mengundang segudang tanda tanya. Apalagi kalau mereka sampai tahu terjadi pertengkaran hebat akibat hal tabu Wiyata.
Sesibuk apapun Amara, ia harus segera membereskan kerenggangan ini. Sebenarnya bisa saja Amara mengabaikan hal ini dan berlaku seperti tidak ada masalah di pertemuan besok. Namun, Amara meragukan apakah Ayu dan Kirai bisa berlaku seperti dirinya.
"Sialan. Nggak diangkat lagi." gerutu Amara ketika Ayu lagi-lagi 'tak mengangkat panggilannya. "Ini sebenarnya yang salah gua atau mereka sih?!" Amara berdecak kesal seraya menatap profile picture Ayu. Perempuan itu meletakan ponselnya di atas meja, kemudian beralih ke berkas-berkas mahasiswa yang sempat tertunda.
Selain urusan internal keluarga, Amara juga harus menyelesaikan pekerjaannya sebagai dosen. Banyaknya mahasiswa tingkat akhir yang ia bimbing dan sidang, membuat pekerjaan harian Amara menjadi tertunda. Dan kini ia harus menyelesaikannya hari ini juga.
Mendadak ponsel Amara bergetar. Layarnya menampakkan pesan dari salah seorang kakak sepupunya.
Uni Padang
| Lagi bisa angkat telepon?
Pesan singkat tersebut dibalas panggilan oleh Amara tanpa berlama-lama dan langsung tersambung. Lantas Amara menyalakan pengeras suara sebelum meletakan kembali ponselnya di atas meja.
"Lo sibuk? Gua nggak ganggu waktu ngajar lo, 'kan?"
"Lo telepon pas gua lagi ngajar." jawab Amara datar. Perempuan itu diam-diam menahan tawa ketika tidak ada suara dari seberang sana. "Ya nggak lah, tolol. Kalau gua lagi ngajar, kenapa gua telepon elo?"
"Ada apa?" ucap Amara lagi yang kali ini terdengar santai.
"I'm sorry." Amara terdiam sejenak kemudian mengerutkan dahi, "For what? You didn't do anything wrong to me." Terdengar helaan napas dari seberang ponsel,"I did wrong to you, Naila. Mbak Ayu brought up your trauma, and all I could do was shut up."
Amara lagi-lagi terdiam. "Saat itu Uni peluk Naila, dan itu lebih dari cukup."
"No, itu nggak cukup. Harusnya gua bisa cegah Mbak Ayu."
"Uni, kalau saat itu Uni nggak peluk, Naila bisa saja menghajar Mbak Ayu habis-habisan. Pelukan Uni menenangkan Naila waktu itu. Jadi setop menyalahkan diri sendiri." Amara berkata tandas dan setelahnya tidak ada suara dari seberang sana, membuat Amara melihat layar ponselnya, memastikan panggilan masih tersambung.
"Naila, lo serius mau hajar Mbak Ayu?"
Amara spontan menaikkan bahunya tanpa menyadari jika Kirai tidak bisa melihatnya. "Mungkin aja. Gua lumayan stres dengan fakta bahwa mereka datang ke rumah tanpa persetujuan gua. Jadi pas Mbak Ayu ngomong kayak gitu, gua hampir gelap mata dan berniat jadiin Mbak Ayu pelampiasan."
"Untung lo keburu peluk gua." ujarnya sembari terkekeh.
"Bisa-bisanya lo ketawa setelah apa yang lo katakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wiyata
Teen Fiction"Money can't buy happiness." Bagi Amaranth Nailazaara Wiyata, kalimat tersebut sangat tidak klop untuknya. Terlahir sebagai perempuan cendekia trah Wiyata membuat Amara bisa memenuhi segala kesenangannya, dengan atau tanpa selembar uang sedikit pun...