BAB V Bunga Liar

86 16 5
                                    

Pasar luas di Kota Gantari terlihat ramai dipenuhi warga. Kios-kios tertata dengan rapi dan bersih. Anak-anak bermain-main di sekitar air pancur yang berada di tengah pasar.

"Paman, saya pamit," ucap seorang pemuda sembari memperlihatkan lesung pipinya.

Pemuda itu bernama Varen, seorang penjual herbal di pasar. Dia memiliki wajah dengan garis rahang yang tegas, juga memiliki alis yang tebal dengan iris mata berwarna coklat gelap. Rambut hitamnya ia ikat setengah di bagian atas dan membiarkan bagian bawahnya menggantung bebas.

"Lho? Masih siang kok sudah pulang Ren?" tanya seorang pria tua dari dalam kios.

"Herbal saya sudah habis terjual. Saya harus kembali dan memeriksa perangkap," ujar Varen sembari berjalan meninggalkan pria itu.

Varen pergi melewati jalanan pasar yang dipadati warga. Mata indahnya tanpa sengaja menangkap pemandangan yang membuat senyuman mengembang di wajahnya.

Seorang gadis kecil yang berpakaian lusuh tengah tertawa di antara kerumunan pasar. Ia tidak sendirian, gadis itu tertawa bersama anak seusianya yang berpenampilan jauh lebih baik. Tanpa memedulikan status sosial, mereka berbagi kebahagiaan bersama.

'Bukankah ini indah? Dunia bahkan terlihat jauh lebih baik saat para manusia berhenti membandingkan status sosial mereka.'

Pemuda kembali melangkahkan kakinya, melewati jembatan yang begitu luas dan cukup panjang. Ia menghentikan langkahnya tatkala tiba di atas jembatan. Lelaki itu menatap ikan-ikan yang berenang bebas di dalam air yang tenang itu. Jernihnya air semakin memperjelas bayangan ikan-ikan cantik yang bergerak kesana-kemari.

"Varen!!"

Merasa namanya disebut, Varen lantas menoleh. Matanya menangkap seorang pemuda bertubuh kekar yang tidak asing lagi baginya. Pemuda itu berlari pelan menghampirinya. Varen tidak bertanya alasan pemuda itu memanggilnya. Ia hanya menatap tenang lelaki di depannya sembari menunggu penjelasan.

"Ada hal yang mau aku sampaikan," kata sang lelaki.

Varen kembali mengalihkan pandangannya dan membelakangi pemuda itu. Ia menaikkan dagunya seraya menatap aliran sungai, "Hal apakah itu anak muda?"

Lelaki itu menautkan alisnya sebelum berjalan mendekati Varen. Ia mengangkat tangan kanannya, memukul kepala Varen dengan keras.

"Hei!! Memangnya kau lebih tua dariku!!" katanya dengan tatapan tajam.

Varen mengusap kepalanya yang terasa nyeri. Perlahan ia membalikkan badan, "Astaga Kak Radev!! Selisih umur kita hanya empat tahun!! Kau tidak jauh lebih tua dariku!!"

Dengan gerakan cepat Radev mengimpit leher Varen di lengan kanannya, "Rasakan ini! Kau harus menikmati aroma ketiakku!"


Varen berusaha melepaskan diri dengan memukul tubuh Radev, tetapi hal itu justru membuat Radev mengimpitnya dengan lebih erat.

"Am-ampun! Ma-maafkan aku kak!" kata Varen menyerah kalah. Dengan senyuman remeh, pria itu perlahan melepaskan lengannya.

"Akhhh . . . Kau selalu menyerangku!" ucap Varen sembari mengusap tengkuknya. Sementara itu, Radev hanya terkekeh mendengar ucapannya.

"Kau yang memulainya Varen."

"Oh iya, lusa berikan aku satu kantong jahe. Juragan akan membayarnya saat mendapatkan jahe itu." Varen hanya menganggukkan kepala mendengar permintaan dari kakak tingkatnya itu.

Melihat reaksi Varen, Radev lantas berbalik dan melangkah meninggalkannya. Namun, belum jauh ia melangkah Varen telah meneriakkan namanya.

"Aku tahu alasan mengapa kau tidak segera menikah."

Kini, Radev menatap serius Varen. Ia sudah mengepalkan tangannya, bersiap jika pemuda itu mengatakan hal yang menjengkelkan.

"Karena ketiakmu sangat bau!!!" teriak Varen dengan nada yang lebih keras.

Mendengar itu membuat telinga Radev memerah, ia berlari mendekati Varen. Sayangnya, belum sempat ia membalas ucapan Varen, pemuda itu telah berlari meninggalkannya.

"Sialan!" umpat Radev.

Varen berlari masuk ke dalam hutan. Ia mulai mengubah langkahnya dengan berjalan santai ketika menyusuri hutan.

Hutan ini menjadi perbatasan alam antara pemukiman warga dan dataran tinggi Gunung Arga. Karena tanahnya yang subur berbagai tanaman dapat tumbuh di dalam hutan ini. Masyarakat juga memanfaatkan hutan sebagai perkebunan dan memberikan nama Kahuripan pada hutan ini.

Namun, sebutan Kahuripan hanya diberikan untuk hutan yang berbatasan langsung dengan pemukiman warga. Karena, masyarakat sekitar tidak berani dan tidak bisa memasuki kawasan hutan terlalu jauh. Mereka juga tidak mengetahui binatang apa saja yang tinggal jauh di dalam hutan dan di kawasan Gunung Arga. Untuk bisa ke wilayah lain yang ada di balik gunung, Kerajaan Reswara lantas membangun jalan memutari area gunung itu.

Varen mengistirahatkan tubuhnya di sebuah batu besar di tepi sungai. Ia memakan beberapa buah yang ada di dalam tasnya seraya memasukkan kakinya ke dalam air. Sungai itu begitu deras dan jernih, hingga batuan sungai yang ada di dasarnya dapat terlihat dengan jelas.

Suara aliran sungai yang menenangkan dan udaranya yang sejuk membuat Varen merasa nyaman. Lelaki itu pun memejamkan mata seraya menarik nafasnya dalam-dalam, menikmati suasana alam yang begitu asri.

Merasa cukup, ia kembali bangkit dan mulai lanjutkan perjalanannya. Namun, baru beberapa langkah seorang gadis tiba-tiba berlari ke arahnya. Gadis itu menabrakkan dirinya pada Varen sehingga membuat pemuda itu kehilangan keseimbangan. Varen sempat menarik lengan baju sang gadis, berusaha menahan agar tubuhnya tidak jatuh ke dalam sungai. Namun, naas lengan baju gadis itu justru sobek dan membuat tubuhnya terhempas begitu saja. Sebelum terjatuh, Varen sempat melihat ekspresi sang gadis yang tampak terkejut.

"He-hei!! Seharusnya kau bisa menjaga keseimbanganmu!!" teriak sang gadis.

Ucapan gadis itu membuat Varen terdiam beberapa saat, "Jadi, maksudmu ini salahku?! Hei!! Kau yang menabrakku!! Jadi, semua ini salahmu!!"

"Ini salahmu!! Jika kau tidak menghalangi jalanku, kau tidak akan jatuh ke sungai!!" ujar sang gadis ketus.

Varen mengerjap beberapa saat. Sempat ia berpikir ada yang salah dengan pendengarannya. Bukankah seharusnya gadis itu meminta maaf padanya, tapi gadis itu justru berkata seakan-akan Verenlah yang bersalah. Ia heran dan bingung dengan jalan pikiran gadis liar itu, apa semua wanita itu sepertinya? Tidak pernah mau mengakui kesalahan.

Tanpa rasa bersalah gadis itu pergi melompati sungai begitu saja. Ia bahkan tidak memedulikan Varen yang terus meneriakinya. Saat gadis itu sampai di seberang sungai ia memberikan ejekannya pada Varen lalu melanjutkan langkahnya begitu saja.

"Hei!! Mau ke mana kau?!" teriak Varen. Namun, gadis itu tidak memedulikannya.

"Hei!! Setidaknya kau harus membantuku keluar dari sungai!!" teriak Varen lagi. Gadis itu sudah melangkah jauh, sehingga tidak mungkin bagi Varen untuk mendapatkan balasan atas teriakannya.

Perlahan ia menaikkan tubuh kekarnya dari dalam sungai. Lelaki itu bersandar pada batu, berusaha menenangkan tubuhnya yang terasa ngilu menabrak batuan di dalam sungai. Varen lantas membalik tasnya yang terisi penuh oleh air sungai.

"Arhhh!! Dasar gadis liar!!" umpat Varen dengan keras. Lelaki itu lantas bangkit dan melanjutkan perjalanannya.

Varen tiba di sebuah pondok kayu di tengah hutan. Ia mendudukkan tubuhnya yang masih basah dan terasa linu itu. Dengan raut kesal, ia juga melemparkan tas yang telah kosong. Pemuda itu menghela napas, mengingat kemalangan yang menimpa dirinya.

"Ada apa denganmu Varen?" Suara itu membuat Varen bangkit dari posisinya.

Seorang pria tua berjalan perlahan mendekatinya. Senyuman terukir indah di wajah pria itu tatkala menatap pemuda yang tengah berdiri menghadapnya. Rambutnya yang mulai memutih ia sanggul setengah dan membiarkan bagian bawahnya menggantung begitu saja.

"Kemari! Duduklah di sampingku," kata Pandya seraya menepuk dipan di sampingnya. Dengan wajah masam Varen kembali mendudukkan diri.

"Ada gadis liar yang menabrak saya tadi dan bukannya minta maaf, Dia justru menyalahkan saya!! Saya rasa Dia sudah gila!! Apa karena terlalu lama tinggal di hutan sehingga Dia tidak mengerti sopan santun?!" ujar Varen. Pria tua itu hanya tertawa mendengar keluhan Varen.

"Kenapa guru malah tertawa?! Apa guru menertawakan kemalangan yang menimpa muridmu ini?!" tanya Varen kesal.

"Ah tidak." Varen terdiam menatap tajam sang guru.

"Kenapa kau menatapku begitu? Aku hanya bingung, kenapa kau memanggilnya gadis liar?" tanya Pandya.

"Ahh, itu . . . Karena, Dia liar seperti binatang hutan," ejek Varen.

Pandya hanya menggelengkan kepalanya. "Apa karena itu juga kau menyimpulkan kalau Dia tinggal di hutan?" tanya Pandya mendapat anggukan Varen

"Astaga . . . hati-hati dengan ucapanmu. Bisa jadi, suatu saat nanti kau jatuh hati padanya," ucap Pandya sembari berjalan memasuki pondok.

"Apa?! Tidak!!"

"Astaga guru jangan mendoakan hal buruk pada saya!!" bantah Varen seraya mengikuti langkah sang guru.


***


'Ah sial!! Semoga aku belum terlambat.'

Eila berlari kencang melintasi jalanan pasar yang mulai sepi. Ia juga terus merutuki dirinya sendiri di sepanjang jalan. Bagaimana ia bisa lupa amanah yang sudah diberikan oleh sang ayah.

"Paman tunggu!! Berikan obat untuk luka ayah!!" teriak Eila dari kejauhan.

Pria yang merasa dipanggil itu pun menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badan menatap gadis yang berlari padanya.

Eila berhenti tepat di depan pria itu. Ia membungkukkan badannya seraya mengusap keringat yang bercucuran di dahinya. Gadis itu pun mulai menata kembali napasnya yang terengah-engah.

"Kenapa kau berlari seperti itu?" tanya pria itu.

Eila kembali menegakkan badannya. Ia menelan air liurnya guna menahan rasa haus yang mulai menjalar.

"Paman hosh hosh . . . Tolong berikan obat hosh . . . Untuk luka ayah hosh hosh . . . ," kata Eila terengah-engah.

Pria itu membuka tas yang menggantung di badannya. Ia mengambil sebuah kantung kain dan sebuah botol bambu. Ia memberikannya pada gadis bertopeng itu.

"Minum ini, lalu pulanglah sebelum hari semakin gelap." Eila menghabiskan air tersebut dalam sekali tegukan.

"Apa yang kau lakukan dengan pakaianmu? Mengapa lengannya bisa sampai sobek?" tanya pria itu tiba-tiba.

Eila yang kebingungan lantas menolehkan kepalanya, memeriksa ucapan pria di hadapannya itu. Dan benar saja, lengan kiri gadis itu sobek. Merasa geram, ia meremas kuat botol bambu itu.

"Arhhh!! Dasar laki-laki gila!! Lenganku jadi sobek!!" teriak Eila dengan keras.

Pria itu hanya menggelengkan kepala mendengar umpatan sang gadis. "Apa kau bertengkar dengan kekasihmu?" ujarnya.

"Apa? Tidak!!"

"Mana mungkin saya mau dengan pria sepertinya!!" tegas Eila yang hanya mendapat gidikkan bahu dari sang pria. Gadis itu lantas pamit dan pergi meninggalkan sang penjual obat.


***
-meong meongyie-

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang