Sudah beberapa kali aku jelaskan pada Rafasya, bahwa aku tidak pernah membencinya. Tapi, ia seperti tidak percaya dan berakhir kita selalu terjadi salah paham.
"Ya udah, minggu depan aku ke rumah kamu langsung ya, aku mau bayar janji aku," katanya waktu itu.
Lalu aku menjawab, "maaf Rafasya, minggu depan aku ada janji sama Cahaya."
Kemudian pada hari minggu kemarin, aku mengajak Rafasys untuk bertemu. Tapi Rafasya menjawab.
"Besok sekolah, aku mau istirahat hari ini. Bun, kamu lebih baik istirahat aja, biar waktu sekolah kamu semangat dan sehat."
Sampailah hari ini, dimana menjalani tiga minggu hari libur sekolah dengan diam membatu di rumah. Aku berbohong kepada Rafasya soal aku akan pergi dengan Cahaya. Itu karena, aku masih kecewa dan sangat marah saat itu.
Majalah dinding sekolah berubah menjadi lautan manusia, di sana tertera nama-nama siswa siswi bersama keterangan kelasnya.
Aku merasa bangga kepada diriku sendiri karena aku berhasil menduduki bangku kelas unggulan. 9A.
Di sisi lapang dekat pohon beri, aku bersama karib, Ayu dan Naya saling berpelukan.
"Aku gak nyangka, Bun, kamu jauh berbeda sama kita sekarang. Kita bener-bener pisah jauh!" ucap Ayu sambil merengut kesal.
"Kita pasti bakalan terus bersama kan? Meskipun kelas kita jauh, kita masih bisa ketemu di luar sekolah, bener kan?" tanya Naya.
Aku mengangguk. "Aku gak bakalan sombong kok sama kalian."
Mereka terlihat bahagia saat aku bisa jadi anggota kelas 9A, sedangkan mereka berdua ada di kelas yang sama, 9I. Sepertinya, mereka lebih tidak bisa dipisahkan.
Setelah aku berpisah dengan mereka, aku kembali menyapu pandangan membaca satu per satu nama dideretan kelas delapan. Bibirku membentuk bulan sabit ketika melihat nama Rafasya di kolom 8A, itu artinya kita sama-sama menempati kelas unggulan.
"Aku harus ucapin selamat ke Rafa."
Aku melangkahkan kakiku hendak pergi mencari Rafasya, aku berjalan menjelajah setiap koridor. Tetapi Rafasya bagaikan bersembunyi, ia tidak ditemukan.
Bel pertanda upacara akan dimulai menggema ke seluruh penjuru sekolah, aku segera berlari ke dalam kelas dan menyimpan tas. Setelah itu, berbaris di lapang untuk mengikuti upacara.
Sekitar kurang dari satu jam upacarapun selesai. Semua siswa siswi berhambur masuk ke dalam kelas masing-masing.
Ketika masuk kelas, aku benar-benar merasa asing dengam suasana ini. Aku mencium aroma manusia pintar di sini. Ya, semua orang di sini memang pintar, peringkat lima besar dari seluruh kelas berkumpul di ruangan istimewa ini.
Sudah lima belas menit berlalu, tetapi aku masih merasa sendirian. Tidak ada satu orangpun yang mengajak aku berbicara.
Di samping, aku melihat perempuan berhijab yang tengah sibuk dengan ponselnya. Dengan gugup, aku memperkenalkan diri.
Aku berdeham. "Permisi," sapaku.
Ia menoleh lalu tersenyum.
"Nama ku Embun, salam kenal, ya," aku menjulurkan tangan kanan.
Ia menjabat tanganku. "Aku Mila, salam kenal juga."
"Kamu mau kan jadi teman aku?" tanya ku seperti anak TK.
Ia tertawa kecil. "Boleh."
Sebenarnya, aku juga sekelas dengan Ratna, sekretaris adiwiyata. Hanya saja, entah kenapa aku jadi sedikit lebih canggung.
Hari pertama sekolah, cukup tidak menyenangkan. Aku bertemu dengan orang-orang yang sangat menjunjung tinggi sportivitas dan individualistis. Bagaimana tidak, mereka tidak mau tersaingi.
Beda dengan aku, aku tidak begitu memikirkan nilai.
Saat bel pulang, aku kehilangan jejak Ayu dan Naya. Aku pulang sendirian.
Ada suara langkah kaki yang mendekat ke arahku. Dari nadanya, aku sudah tahu bahwa itu adalah Rafasya. Aku membalikan badan, dan sudah pasti tebakanku adalah benar.
"Halo, Embun," sapanya sambil melambaikan tangan.
Aku melanjutkan jalan yang beberapa detik berhenti, Rafasya mengimbangi langkahku.
"Masih marah?" tanya dia.
"Nggak," jawabku.
"Terus kenapa?" tanya dia lagi.
"Aku, pengen ketemu kamu," jawabku lagi.
"Aku juga, tapi sekarang, berkat sekolah ini kita bisa ketemu lagi."
Aku tersenyum.
"Cie yang masuk kelas unggulan," godaku.
"Kamu juga selamat ya masuk kelas unggulan, eh, kamu tahu gak? Sekarang aku jadi KM." Rafasya mencabut bunga sepatu hasil bercocok tanam anggota adiwiyata secara acak, lalu memberikannya padaku.
"Selamat, ya, kamu harus jadi pemimpin yang amanah," kataku.
"Dengan kaya gini, aku sama kamu udah seimbang belum?"
"Maksudnya?"
"Kamu ketua adiwiyata, aku cuman anggota yang sering bolos, biasanya orang yang terpandang, bakalan suka sama orang terpandang juga," jawabnya menjelaskan.
"Aku suka kamu titik, siapapun kamu di sekolah ini," tegasku.
Aku hanya orang lemah yang seperti dipaksa menjadi ketua, dengan nyali ku yang sekecil biji wijen ini, jabatanku pasti bisa diambil sewaktu-waktu. Oleh wakil ku tercinta yang sedikit bedebah contohnya, Via.
Tiba-tiba Rafasya diam di gerbang, aku merasa bingung.
"Embun, sampai sini dulu, ya," pamitnya.
Setelah melambaikan tangan, iapun pergi. Saat aku lihat tempat ini, ini adalah gerbang utama, tempat di mana aku dan Rafasya harusnya bertemu saat itu. Aku merasa sesak saat ini.
Aku masih memandangi Rafasya, mataku mengikuti kemana ia pergi.
Perempuan tinggi yang kata Rafasya namanya Naura menyapa, lalu Rafasya dan dia pergi bersama. Mereka pulang bersama.
"Andaikan rumah kita satu arah."
~••~
Salam manis,
Airis Yulia
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafasya ✔
Teen FictionStory *3 by Airis Yulia Hanya untuk mengenang, mempelajari, mudah dilupakan atau tidak, semoga apapun yang telah terjadi adalah yang terbaik. selamat membaca bagian akhir dari kisah, "ketika Embun jatuh cinta, kepada sang pemilik Kaca Jendela."