Hening. Suasana yang makin sering melingkupi hari Abdillah. Membuat ia makin terbiasa dengan suasana tersebut. Namun ia tahu bahwa keheningan seharusnya mampu membuat insan makin terasah. Bahwa kelak ketika terbujur kaku dalam perut bumi bernama perkuburan, keheningan lah yang akan menemani.Dalam keheningan yang hanya ditingkahi suara mesin pendingin ruangan, Abdillah tetap meramaikan hatinya dengan kalimat thoyibah. Berzikir melafalkan zikir dan doa apapun yang pasti mengandung kebaikan dan keselamatan.
Abdillah masih duduk di samping tempat tidur paklik Hamdan. Singapura masih menampilkan langit gelapnya. Meski jam sebetulnya sudah memasuki sepertiga malam disana. Abdillah memang baru saja usai menundukkan diri, bersujud dan bermunajat di sepertiga malam. Menyempatkan diri melaksanakan sholat hajat untuk satu permintaan yaitu kesembuhan buat paklik Hamdan. Adik ibunya dan keluarga kandung satu-satunya yang ia miliki sekarang.
Abdillah menatap lelaki berkulit gelap yang makin kurus di depannya. Begitu kurusnya hingga hanya tampak tonjolan tulang berbalut kulit. Sama sekali tak tampak bekas kejayaan seorang Hamdan yang tinggi, tegap, gagah perkasa dengan wajah kakunya. Tak tersisa. Kini hanya ada lelaki senja bertubuh kurus, berwajah tirus, tak berdaya dan lemah. Bahkan rambut ikal tebal milik pakliknya itu habis karena efek kemoterapi yang harus diterimanya beberapa bulan ini.
Abdillah menghela napas panjang. Sekuat mungkin lelaki berbalut baju koko lengan panjang itu mengeluarkan sesak yang melingkupi dada.
"We found the spread of cancer cells in the brain..." Abdillah masih terngiang ucapan salah satu tim dokter yang menangani pakliknya kemarin. Abdillah sedikit melongo kala mendengar perkataan yang sangat tidak familiar untuknya.
"What it's mean?" Tanya Abdillah apa adanya.
"This mean that the cancer cells have reached the brain. Greatly affect drug action. And patient's kidney work begins to decrease..." Dokter berkacamata berwajah khas oriental itu menghela napas. Terlihat berat menyampaikannya. Abdillah merasakan pertanda tak baik. Namun ia berusaha tetap tenang mendengar apapun penjelas dokter.
"The chances of the patient's recovering getting smaller...." Sampai sini, Abdillah makin memahami kemana arah penjelasan sang dokter.
"But we Will continue to do our best to treat patient's..." Sang dokter menepuk bahu Abdillah. Seolah ingin menyalurkan semangat untuknya.
Iya. Apapun diagnosa dan vonis dokter, bukankah masih ada sang pemilik Kehidupan, Al Aziiz yang menggenggam setiap hembusan napas hambaNya. Abdillah memang tak boleh putus asa. Apalagi sampai menyerah. Meski tak dipungkiri vonis sang dokter membuatnya langsung merosot. Sedih dan diliputi ketakutan. Ia tetaplah manusia biasa dengan segenap kekurangan selayaknya manusia umumnya. Takut kehilangan dan lelah. Iya, lelah dengan sederet panjang pengobatan yang harus dilaluinya bersama paklik Hamdan.
Abdillah menatap tangan kurus paklik Hamdan. Ruas jari lelaki itu tampak menonjol jelas. Abdillah mengusap pelan tangan tersebut. Sangat pelan. Agar pakliknya yang selalu diberi obat penenang itu tak terusik.
"Dil, paklik kok lupa ya...."
"Lupa apa paklik?"
"Kayaknya tadi paklik lupa ngasi makan ayam-ayam di kandang"
Abdillah sempat kebingungan dengan ucapan sang paklik beberapa waktu lalu. Kenapa tiba-tiba pakliknya itu menanyakan tentang ayam?
"Patient may experience a decline thinking..." Kebingungan Abdilah terjawab oleh penjelasan sang dokter tadi ketika mengontrol pakliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Story in Hospital 5 (Always Forever in Love)
SpiritualMenemukan pelabuhan hati di kehidupan dunia tentu saja harapan tiap insan. Bertemu dengan orang yang tepat dan di waktu yang tepat. Itu inginnya. Tanpa melebihkan pun mengurangkan tentang hakikat takdir. Asa yang selalu dilangitkan terjawab ijabah...