9

384 67 13
                                    

Bumi yang tidak sadarkan diri di tengah hujan deras dan di depan mobil yang berhenti karena mengerem mendadak sehingga tidak sampai menabrak Bumi. Dengan panik, pengendara mobil itu turun dari mobil untuk mengecek kondisi anak laki-laki yang sedang terkapar tidak sadarkan diri dengan posisi tengkurap.

“Bumi,”gumam orang yang tengah berdiri di samping mobil, yang ternyata adalah Gempa. Dengan langkah cepat, perasaan tidak tenang karena khawatir, Gempa menghampiri tubuh Bumi dan membalik sehingga posisi adiknya itu terlentang. “Dek, bangun. Maafin gue, Dek,” Gempa bicara dengan suara gemetar, ia menangis sambil mengusap darah yang mengalir dari kening adiknya yang bercampur dengan air hujan.

Dengan buru-buru, Gempa mengangkat adiknya ke mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat. sesampainya di rumah sakit, Bumi langsung masuk UGD untuk mendapat penanganan, sementara Gempa menunggu di luar.

“Semoga aja Bumi nggak apa-apa,” ujar Gempa dengan suara gemetar karena menangis dan merasa bersalah. “Maafin Abang ya, dek. Abang nggak bisa jagain lo, malah hampir aja nabrak lo.” Gempa menunduk, menyesal dengan tangis yang belum berhenti.

Kepala Gempa seolah penuh dengan beban,rasa takut kehilangan adik, rasa sedih dan tidak menerima kematian kedua orang tua yang ia sayangi membuatnya lemah dan cengeng sampai ia tidak menyadari jika ia adalah seorang kakak yang seharusnya bisa diandalkan untuk menjaga adiknya.Air mata langsung ia hapus dengan kasar ketika melihat dokter yang memeriksa adiknya keluar dari ruang tindakan.

“Dokter, bagaimana keadaan adik saya? Ada luka serius nggak? Tadi saya lihat kepalanya berdarah, dia nggak hilang ingatan, kan? Adik saya tidak melupakan saya, kan dokter?” tanya Gempa dengan panik dan khawatir.

Dokter menggeleng.”Kondisi adik anda baik-baik saja. Luka di keningnya juga tidak parah dan tidak perlu dijahit.Dia sudah sadar dan anda bisa menemuinya,” kata dokter.

“Terimakasih, dokter.”Gempa langsung masuk untuk menemui adiknya, sementara dokter melakukan pemeriksaan kepada pasien lain.

“Bumi,”

Panggilan Gempa membuat Bumi refleks menoleh.

“Abang,” Bumi langsung memeluk Gempa yang sudah berdiri disamping ranjang dan pelukannya di balas oleh sang kakak.

“Maafin Bumi karena udah berisik dan buat Abang marah, tapi jangan tinggalkan Bumi ya,Bang,” pinta Bumi.

Gempa mengangguk, lalu melepaskan pelukannya, menatap adik yang menatapnya dengan sedih. Perlahan, tangannya mengusap perban yang menutup luka di kening Bumi. “Sakit nggak?” tanya Gempa dan dijawab dengan anggukan kecil.”Maafin gue ya—”

“Bukan salah Abang, tapi Bumi yang salah karena nggak hati-hati. Makasih ya Bang karena nggak meninggalkan Bumi,”Sela Bumi karena tidak mau Kakaknya merasa bersalah.

Gempa mengangguk, kemudian kembali memeluk adiknya. Dia bingung harus bagaimana tanpa kedua orang tua. 

“Bang,” panggilan Bumi menyadarkan Gempa dari lamunannya.

“Apa?” tanya Gempa.

“Laper.” Bumi menjawab sembari memegang perutnya yang belum di isi apa pun dari pagi.

Gempa tertawa kecil, kemudian mengajak adiknya itu pulang. Tanpa protes, Bumi langsung setuju dan setelah semua administrasi selesai diurus mereka meninggalkan rumah sakit dan makan nasi goreng di kaki lima dekat rumah.Melihat Bumi yang sedang makan membuatnya ingat jika adiknya itu imunnya lemah dan dia ingin sekali membuat adiknya lebih kuat dan melawan imunnya yang lemah.

“Cil, tadi lo hujan-hujan, kan?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari sang adik yang sedang makan.

Bumi menelan makanannya, kemudian menjawab pertanyaan sang kayak. “Iya, Bang. Nanti sampai rumah vitaminnya diminum biar nggak sakit,” ujarnya dan kembali menyendok makanan untuk ia makan.

“Nggak usah! Mulai sekarang nggak usah minum vitamin lagi, makan nggak usah teratur dan tidur juga nggak harus sesuai jam tidur kayak biasanya.” kata Gempa dan membuat Bumi bingung.

“Tapi–”

“Lo harus berubah! Jangan lemah dan jangan cengeng karena sekarang kita cuma berdua. Nggak ada bunda dan nggak ada papa. Jadi, lo harus terbiasa dengan semua itu mulai sekarang!” sebenarnya Gempa tidak tega mengatakan semua itu,tetapi ia harus tegas dan bisa membuat adiknya tidak lemah.

“Iya, Bang.” hanya itu jawaban Bumi dan kembali makan dengan menundukan pandangan.

Gempa menunduk, menarik napas panjang dengan mata berkaca-kaca. Maafin gue, cil. batinnya, merasa bersalah dengan sikapnya.

Tidak ada lagi yang bersuara sampai selesai makan,bahkan mereka pulang seperti orang asing karena tidak mengobrol sama sekali. sesekali Bumi melirik Gempa yang sedang menyetir.Ia merasakan pusing, tetapi memilih tidak mengeluh karena tidak mau membuat sang kakak marah dan menganggapnya lemah juga cengeng. Setelah sampai rumah, Bumi langsung masuk ke kamar, sedangkan Gempa duduk termenung di ruang tengah, mengedarkan pandangan disetiap sisi ruangan. Air mata kembali mengalir ketika semua kenangan bersama orang tua ia lihat.

“Setelah papa pergi, maka gue sebatang kara, tapi Bumi … dia masih punya keluarga.” Gempa mengangguk-anggukan kepalanya. “ Gue harus cari tau keluarga Bumi biar dia bisa berkumpul sama keluarganya. Kalau sama gue, dia bisa hidup susah nanti, tapi kalau sama keluarganya pasti dia bahagia.”

Gempa pergi ke kamar kedua orang tuanya untuk mencari informasi mengenai mantan suami ibu sambungnya, tetapi sama sekali tidak menemukan apa pun.

“Kayaknya, bunda udah nggak simpan semua kenangan bersama mantan suaminya,” katanya, menarik napas panjang karena putus asa.

Gempa menunduk dan menangis tanpa suara.”Pa … Ma …, Gempa harus gimana? Gempa sayang sama Bumi, tapi gempa nggak mau dia hidup susah kalau sama Gempa. Bumi … dia nggak boleh hidup susah, dia harus bahagia, tapi nggak ada petunjuk apa pun tentang ayah dan kakaknya,” lanjutnya dengan menutup wajahnya dengan tangis yang belum berhenti.

Gempa masih menangis, tanpa dia tahu jika ada Bumi yang melihatnya dari balik pintu yang tidak di tutup rapat.

“Bumi nggak mau pisah sama Abang, Bumi nggak mau Abang susah sendirian. Pokoknya susah senang kita haru bersama,” ujar Bumi dengan lirih.”Pokoknya mulai sekarang nggak boleh manja, nggak boleh cengeng dan nggak boleh lemah biar nggak jadi beban Abang,”Bumi mengepalkan tangannya, begitu serius dengan keputusannya. Setelah itu,ia pergi ke dapur untuk mengambil minum seperti tujuannya keluar dari kamar, tetapi tertunda karena mengikuti Gempa yang masuk ke kamar orang tuanya.

 Setelah itu,ia pergi ke dapur untuk mengambil minum seperti tujuannya keluar dari kamar, tetapi tertunda karena mengikuti Gempa yang masuk ke kamar orang tuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gempa & Bumi ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang