11. Kematian (Lagi)

11 5 0
                                    

"Kamu akan baik-baik saja, Sha." Vernon berusaha meyakinkan, meski gadis itu sudah terlihat pasrah. "Dia tidak akan bisa menyentuhmu." 

Aalisha tersenyum kecut membalasnya, ia berusaha mengatakan jika semua ini telah berakhir dan ia tidak memiliki jalan keluar. "Dia psikopat. Dia suka menyiksa, terutama wanita yang menarik. Dia sudah pernah melakukan ini sebelumnya."

Kening Vernon berkerut. Seperti sama dengan sosok tersangka dalam misi geng Apenjer. Ya, si pembunuh berantai itu. Namun, hal itu belum bisa dipastikan. Harus menunggu hasil autopsi pacar Jodi dahulu. "Dari mana kamu tahu?"

"Dia menceritakannya dengan bangga ketika aku bersujud memintanya untuk berhenti." Aalisha terdiam sejenak. "Karena sudah memohon seperti itu, aku hanya ingin berperang sekarang. Meski aku tidak yakin akan menang."

"Jangan putus asa sekarang." Vanya beralih menggenggam tangan gadis itu. "Kita hadapi sama-sama."

"Aku lega, setidaknya ada orang lain yang tahu."

Sebuah bunyi ponsel yang bergetar menyita perhatian mereka. Vernon berdiri, mengambil ponsel dalam saku celana dan terlihat nama Aya di sana. Ia menerima panggilan tersebut, hanya beberapa menit saja untuk mendengar betapa gadis itu sangat mengkhawatirkan keadaan Jodi dan membutuhkan dirinya di sana.

Mau tidak mau ia harus kembali untuk melihat keadaan di sana. "Ai," panggilnya, membuat gadis itu berdiri. Mereka berdiri berjarak dari Aalisha yang terlihat suram. "Aku harus pergi sekarang, tolong jagain Aalisha malam ini," pintanya. Sejujurnya, ia sangat berat meninggalkan kedua gadis itu. Namun, ponselnya kembali bergetar. Entah segawat apa keadaan di sana sekarang sehingga Aya harus menghubunginya berkali-kali.

"Kita juga harus memerhatikan Jodi, dan jangan sampai kehilangan detail di TKP," balas Vanya, ia terlihat  khawatir. "Situasinya sama-sama tidak baik."

Vernon mengangguk. Perasaannya mulai tidak enak. Seandainya tubuhnya bisa dibelah dua. "Aku segera kembali." Ia beralih menatap Aalisha yang sedang mendongak memandangnya. "Sha, aku pergi sebentar, ya. Nanti balik lagi."

Aalisha mengacungkan jempol. Ia menatap langkah Vernon yang menjauh. Sementara itu, ponsel Vanya turut bergetar.

"Kok kayaknya sesuatu hal yang buruk udah terjadi, Van?" tanya Aalisha, alisnya menyatu. "Vernon terlihat cemas. Dia mau ke mana?"

Vanya yang sedang menatap layar ponsel, melirik Aalisha sejenak. "Oh, itu ... Vernon ada urusan sama abangnya," jawabnya. Gadis itu pasti belum mengetahui kabar tentang kematian kekasih Jodi. Memang saat ini gadis itu jangan sampai tahu, agar tidak semakin menghancurkannya. "Halo," sapanya dengan ponsel di telinga. Si pemilik kontrakan menghubunginya.

Vanya? Kamu di mana? Abang melihat ada pria asing yang masuk ke kontrakanmu.

"Ha?" Vanya berpikir. Sepertinya ia lupa mengunci pintu karena tadi terlalu terburu-buru. "Serius, Bang?"

I-iya! Katanya saudaramu, tapi abang tidak percaya. Lebih baik kamu ke sini sekarang!

Kening Vanya berkerut dalam, panggilan itu telah dimatikan sepihak. Memang, ada hal-hal penting yang tersimpan di kontrakannya, dan jangan sampai ada orang lain yang melihat. Hanya saja ia merasa kejanggalan pada kalimat yang dilontarkan oleh si abang tadi. Bukan hanya itu, nada suaranya juga mencurigakan. Instingnya menolak untuk ke sana, tetapi besar kemungkinan ia memang lupa mengunci pintu.

Melihat Vanya kebingungan sambil berpikir keras seperti itu membuat Aalisha berdiri dan mendekat. "Ada apa?" tanyanya.

Vanya tersentak. Ia tertawa kecil. "Ini ... abang kontrakan bilang kalau saya lupa ngunci pintu. Ada yang masuk ke kontrakan saya."

Hazards of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang