Bagian 12 : Senyum

582 95 4
                                    

Gema masih sangat canggung dihari pertama bersama mereka. Kelima pemuda yang sebelumnya berteman baik dengan kakaknya kini juga menjadi temannya. Gema tidak menyangka kakaknya akan memiliki dunia pertemanan seperti sekarang. Rasya pun sudah menceritakan siapa saja mereka begitu juga dengan pekerjaan yang mereka tekuni. Dari semuanya, seseorang yang paling dia hindari adalah Yoga. Seorang psikiater sekaligus dokter ahli kejiwaan itu sangat menakutkan untuknya. Gema lebih sering menghabiskan waktu dengan Ares atau Sahir, terkadang juga dengan Harry.

Gema merasa kehadirannya hanyalah mengganggu kesibukan orang-orang di rumah ini. Keselamatan mereka pun terancam karena ayahnya pasti akan melukai mereka. Ayahnya tidak akan segan menghabisi siapapun untuk membawa Gema kembali ke rumah itu. 

Gema menghela nafas lelah. Dia tidak ingin hidup dihantui bayangan ayahnya sendiri seperti ini. Setelah merasa cukup untuk menghela nafas dan memikirkan lelahnya, Gema berjalan menuju lahan luas tempat Sahir dan kawan-kawan biasa menghabiskan waktu dengan berolahraga. 

Gema hanya tersenyum menatap Harry dan Sahir yang bukannya serius bermain bulu tangkis. Mereka malah saling bercanda dan tertawa lepas seakan tidak ada beban dan juga ketakutan akan keberadaan Gema. Sahir dan Harry menyapa Gema sebentar lalu melanjutkan permainan mereka. 

Pada waktu yang sama, Rasya yang baru saja pulang dari pekerjaan barunya dan mendatangi Gema yang sedang duduk menatap Harry dan Sahir bermain bulu tangkis.

"Kau ingin bergabung dengan mereka?" Tanya Rasya sambil tersenyum dan mengikuti objek pandang dari adiknya itu.

"Tidak, Kak" jawab singkat Gema.

"Mereka adalah kakak sekaligus sahabat Kakak yang selalu membantu Kakak ketika ada masalah atau hal mendesak. Kau tidak perlu sungkan pada mereka, Gema" 

"Iya, Kak" jawab singkat Gema dengan wajah murung bercampur gelisah. 

"Kak Rasya dengar dari Ares, kamu masih menjauhi Kak Yoga dan selalu menghindar ketika berpapasan dengannya. Itu benar, Gem?" pertanyaan Rasya ini tidak dijawab oleh Gema.

"Kak Yoga tidak akan menggigitmu, Gem" ucap Rasya random yang juga Gema perkirakan. Kakaknya itu cepat atau lambat tau penolakan Gema terhadap Yoga. Gema akhirnya mengangkat wajahnya sedikit dan menatap Rasya dengan sangat dalam. 

"Aku tidak takut, Kak" jawab Gema yang pelan. "Aku memikirkan keselamatan Kak Sahir dan yang lainnya jika Ayah tau aku ada disini. Aku juga memikirkan keselamatan Kak Rasya. Bisakah aku pergi saja dari sini, Kak ?" tanya Gema yang juga disertai dengan tekad bulat untuk meninggalkan kakak dan sahabatnya. 

"Kita tidak akan membiarkan kau sendirian, Gem!" balas tegas Rasya yang dijawab dengan helaan nafas malas serta wajah Gema yang tidak lagi menatap Rasya. Mereka terdiam sejenak hingga beberapa menit. Keduanya belum memiliki topik untuk melanjutkan pembicaraan. 

"Jangan hanya karena aku semuanya jadi terluka, Kak" ucap Gema lagi dengan lirih. Rasya kembali menoleh pada Gema dan mendapati jemari tangan anak itu gemetar ketakutan. Padahal disini tidak ada siapapun yang seharusnya Gema takuti tapi reaksinya sudah seperti ini. Membayangkan ayahnya tiba-tiba datang dan melukai semua orang membuat Gema semakin tertekan dan ketakutan. 

"Kakak dan semua yang ada disini akan melindungi dan membantumu, Gem. Kau hanya perlu menguatkan dirimu dan percaya pada kami. Ayah tidak akan datang, aku jamin itu. Kau tau bagaimana Ayah padaku dan sampai sekarang dia tidak tau tentang Kak Sahir dan yang lainnya bahkan rumah ini, Gem" ucap Rasya dengan sangat hati-hati.

"Tidak apa-apa jika kamu butuh waktu, Gem. Kakak dan semuanya akan selalu membantu. Jangan terlalu mengkhawatirkan kami, ya" pinta Rasya dengan senyuman tipis lalu meninggalkan Gema dengan lamunannya sendiri. 

***

Yoga sedang membaca berkas pasien yang ada didepannya. Kacamata itu juga ikut turun karena kepala Yoga yang terus menunduk. Yoga tidak bisa memperhatikan sekitar, termasuk menyadari kedatangan Gema yang menyusulnya didekat rumah danau milik mereka. Tidak ada percakapan sampai pada tiga menit Gema berdiri dihadapan Yoga. Gema tidak tau bahwa Yoga yang memiliki bakat menjadi batu itu akan menang jika Gema mengajaknya berlomba berdiam diri seperti sekarang. 

"Apa aku gila?" Pertanyaan yang sangat tidak biasa ini membuat Yoga mengernyitkan dahinya.

"Kau tidak gila" jawab Yoga yang memang jujur.

Gema mulai berkaca dan hatinya mulai merasakan ngilu yang tanpa sebab. Gema mengguling lengan hoodie miliknya dan menunjukan pada Yoga seberapa jauh kewarasan meninggalkan dirinya.

"Aku tidak bisa berhenti melakukannya", Yoga masih menatap semua luka goresan pada lengan kiri itu dengan tatapan yang terkejut. Semua luka itu terlalu banyak untuk seseorang seperti Gema yang hanya terguncang hatinya. Yoga memang awalnya berfikir Gema tidak akan separah itu. Ia hanya butuh dukungan dan kasih sayang dari orang-orang disampingnya. Tapi ini ternyata lebih buruk.

Seseorang yang memiliki pemikiran seperti Gema tidak pernah terlihat sakit tetapi justru karena tidak pernah terlihat itulah bukan berarti Gema jauh dari kekhawatiran semua orang.  Gema bisa saja melukai dirinya lebih dalam lagi atau yang lebih buruk melukai orang lain. 

"Cobalah untuk lebih lembut pada dirimu sendiri, Gem.  Kau sudah melakukannya dengan sangat baik" kata Yoga yang mencoba memberikan semangat padanya.

"Kenapa Kak Rasya tidak meninggalkanku sama seperti ayah dan ibu? Kenapa aku harus ada disini bersama kalian? Aku bisa saja membuat kalian celaka. Ayahku itu bisa melakukan apa saja. Dia sanggup membunuh semua orang yang menghalangi keinginannya" tanya Gema pelan pada benaknya sendiri.

"Rasya tidak akan membiarkan apapun yang terjadi. Begitu juga kami yang akan selalu melindungimu, Gem. Jika kami bisa melindungimu, apakah kau juga meragukan kemampuan kami untuk melindungi diri sendiri?" jawab Yoga yang sangat yakin. Yoga masih menatap Gema dan memberikan anak itu ruang. Yoga yakin masih banyak sekali yang Gema pendam hingga dia tidak tau mana dulu yang harus dijelaskan. 

"Bagaimana jika suatu saat aku yang meninggalkan semuanya?". Kali ini Gema tidak lagi menunduk.  Ia mengangkat kepala dan balik menatap Yoga penuh harap.  Dia sangat menunggu jawaban Yoga untuk pertanyaannya kali ini. 

Yoga menghirup nafas perlahan dulu. Untuk pertanyaan seperti ini, Yoga harus mengkaji dulu sedalam apa niat Gema untuk 'pergi' seperti yang dia maksud.  "Menurutmu, apa yang akan terjadi jika kau meninggalkan orang yang paling menyayangimu, Gem?"

Gema terdiam untuk beberapa menit. Pertanyaan yang membuat benak dan hatinya tertampar itu tidak mampu ia jawab. Gema jelas tidak dapat memperkirakan apa yang akan terjadi jika ia tidak ada lagi di dunia ini. Semua orang dibumi ini juga pasti seperti itu. Mereka tidak akan bisa mmebayangkan apa yang terjadi setelah mereka tiada. 

"Rasya akan hancur sekali karena kehilangan orang terakhir yang bisa dia lindungi" . Kalimat dari Yoga sudah sangat cukup menjadi jawaban dan harusnya bisa dijadikan pula sebagai alasan agar Gema bisa lebih optimis dalam menjalankan hidupnya. 

"Semua orang punya alasan untuk tetap hidup, Gem. Kau juga pasti memilikinya", Yoga yang merasa cukup dengan percakapan ini memilih meninggalkan Gema untuk berfikir sejenak. Gema tidak pernah memikirkan alasan untuk hidup atau tujuan apalagi cita-cita. Hidupnya hanya ia biarkan berjalan seperti semestinya. 

-Rasya dan Gema-

GEMA || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang