[1]

401 49 7
                                    

SURPRISEEEE

Hai, semuanyaa! Apa kabar?

Aku kembali lagi, kali ini dari sudut pandang Jelita, membawa kisah couple kesayangan kalian uwu.

Enjoy, Happy Reading! Aku harap kalian suka ❤

***

Cerita gue dan Jevan benar-benar udah berakhir, percaya nggak, lo pada?

Sekitar satu setengah tahun yang lalu, yang gue ingat, beberapa malam sebelum hari gue mengakhiri hubungan dengan Jevan, gue memang terjaga semalaman. Beberapa hari pikiran gue rasanya kacau, berantakan, dan... aneh. Kalau Pak Arto, guru bahasa gue minta deskripsi apa yang gue rasain, kayaknya gue udah remed.

Pandemi, masalah keluarga gue, dan hubungan gue yang udah nggak sehat lagi sama Jevan. Tiga hal utama itu, kayaknya justru aneh kalau gue masih bahagia-bahagia aja dan nggak stress karenanya.

Setelah pertimbangan hampir seminggu lamanya dan saran dari sahabat gue, yang jelas bukan Ayu dan Yera karena mereka pasti udah tidur, gue memutuskan untuk mengakhiri kisah gue dan Jevan.

Enggak ada apapun yang perlu diperbaiki, karena kami berdua sama-sama bebal, sama-sama keras kepala, dan sama-sama nggak mau kalah. Gue juga udah capek. Jevan selalu menghilang, nggak ada kabar apapun setiap kali dia marah sama gue. Lalu apa yang gue lakukan? Gue tetap sabar dan membalas dia hanya dalam hitungan detik setelahnya. Meskipun gue tahu, dia akan langsung offline atau bahkan tidak menjawab pesan-pesan dari gue sama sekali.

Setelahnya, Jevan nggak pernah menghubungi gue sama sekali. Kami masih berstatus sebagai teman sekelas. Berhubung pembelajaran dilakukan secara daring, gue nggak perlu repot-repot menjelaskan ke semua anak kelas kalau gue sama Jevan terlihat canggung satu sama lain.

Jelas aja, Ayu dan Yera tau. Sesuai dugaan, mereka mendukung keputusan gue sepenuhnya. Bahkan bangga sama gue katanya.

Gue nggak pernah mendengar kabar apapun dari Jevan setelahnya. Hanya sekadar kabar dari adiknya yang sebelumnya memang cukup dekat dengan gue pun nggak. Dia benar-benar menjadi orang asing dalam hidup gue.

Tapi, ada satu hal yang gue sadari. Gue dan Jevan benar-benar nggak bisa berteman. Oke, gue mengakui. Sebelum dia putus sama mantan pacarnya, Gigi, gue memang sudah menyimpan ketertarikan. Sebatas ketertarikan yang nggak pernah terbesit dalam benak gue kalau kami akan berlanjut sampai titik itu.

Kalau kata gue, jangan coba-coba deh pacaran sama orang yang belum lepas dari masa lalunya. Makan hati doang lo pada. Apa buktinya? Nih, gue buktinya.

Jevan belum lepas dari masa lalunya, jelas. Atau bisa jadi itu cuma dugaan gue. Tapi satu hal yang pasti adalah, luka lamanya belum sembuh. Dia belum mengambil jeda sejenak untuk memperbaiki diri, atau sekadar menikmati kesendirian. Hasilnya? Mungkin, dia mencari hal yang nggak dia temukan dalam diri Gigi ke gue. Gue cuma nebak, jangan dipercaya. Percaya aja sama Tuhan Yang Maha Esa.

Dari hasil refleksi diri yang sudah hampir setahun ini gue lakukan, gue menyadari fakta bahwa gue nggak pernah benar-benar jadi diri sendiri bersama Jevan. Gue nggak bisa menunjukkan sisi gue yang galak. Atau sisi gue yang suka mengumpat. Tapi gue yakin, tanpa gue jelaskan pun dia paham kalau gue keras kepala.

Gue nggak peduli kalau orang mau bilang gue harusnya nggak merasa sakit karena gue orang pertama yang mengakhiri hubungan ini, atau orang bilang gue playing victim. Gue benar-benar nggak peduli. Bagi gue, orang yang nggak benar-benar mengenal gue, mereka nggak berhak menilai bagaimana gue. Titik. Gue nggak peduli apapun lagi.

Merasa sakit itu wajar, semua perasaan manusia itu nyata adanya, kita harus mengakui juga berdamai dengannya, dan gue juga nggak akan menyalahkan Jevan sepenuhnya. Apa sih, yang lo harapkan dari asmara bocah SMA yang baru belajar menjadi dewasa sebelum jadi dewasa sepenuhnya? Noh, liat orang tua gue. Di usia puluhan pun, nyatanya mereka tetap gagal menjadi pasangan yang baik satu sama lain.

Butuh proses yang dibilang lumayan lama sampai gue akhirnya berdamai dengan rasa sakit itu. Butuh proses yang jauh lebih lama juga sampai gue akhirnya memaafkan Jevan, dan memaafkan diri gue sendiri. Yang jelas, semua yang gue lakukan nggak sia-sia. Ada banyak pembelajaran yang gue dapatkan dari rasa sakit itu sendiri.

Hubungan gue sama Ayah yang akhirnya bisa dikatakan membaik, gue bukan lagi orang yang nggak enakan untuk menolak permintaan orang lain, berhasil memaafkan diri gue sendiri, dan menjadi orang yang jauh lebih percaya diri. Bisa dibilang, gue bangga sama diri gue sendiri.

Bagaimanapun, gue tetap berterima kasih pada Jevan.

***

"Bu, Opa kenapa?" tanya gue pada Ibu sambil membuka laptop gue, bersiap-siap mengikuti pembelajaran daring.

"Kritis, di rumah sakit," jawab Ibu. Meskipun tampak tenang, dari suaranya gue bisa mendengar kalau Ibu juga khawatir.

Begitu mendengarnya, seluruh badan gue rasanya kaku. Gue nggak yakin bisa konsentrasi mengikuti pembelajaran kali ini.

Seminggu belakangan ini, Opa memang dirawat di rumah sakit karena masalah pencernaan yang dideritanya. Gue juga kurang paham tentang penyakitnya, mau tanya sama keluarga besar juga nggak enak, mereka semua sedang sibuk mencari transfusi darah. Tak terkecuali gue.

"Kamu berjemur dulu, sana. Jangan panik, berdoa aja. Opa pasti baik-baik aja," ujar beliau menanangkan gue yang memang terlihat jelas kalau panik.

"Ya, Bu."

Ah, gue ingat satu hal.

Oma bekerja di kantor yang sama dengan Ayahnya Jevan. Jadi, minta bantuan dia untuk membagikan info mencari donor darah kayaknya bukan pilihan yang salah, kan? Lagipula, gue sama dia baik-baik aja sekarang.

Berhasil, dia dengan senang hati mengiyakan permintaan gue. Tapi, satu pesan dari dia justru bikin gue bertanya-tanya.

"Kamunya jangan panik. Dulu cita-citamu jadi psikiater, kan? Aku tau susah, tapi masa seorang Jelita nggak bisa ngatasi?" gumam gue pelan membaca pesan dari dia.

Gila, ini Jevan? Nggak salah baca gue?

Bukan apa-apa, sih. Kaget aja ternyata Jevan ingat sama cita-cita gue. Gue kira udah lupa.

"Iya... Jev... Makasih..ya..." kata gue pelan sambil mengetikkan pesan, balasan dari pesannya barusan.

Waktu berjalan sebagaimana biasanya. Mengikuti pembelajaran daring, satu rapat daring untuk membahas acara dalam rangka HUT RI, makan siang, mengerjakan tugas, setelahnya, gue tidur siang. Gila, gue nggak nyangka kalau pembelajaran daring tuh juga bikin capek. Bukan cuma capek fisik, tapi capek mental juga.

Sampai akhirnya Ibu pulang kerja, dengan kabar kalau keadaan Opa masih kritis, dan cenderung memburuk.

Pertahanan yang gue bangun sejak tadi pagi runtuh juga. Akhirnya, gue nangis.

Gue nggak paham gue kerasukan, udah gila, atau gue kenapa. Mata gue memang menitikkan air mata, pandangan gue buram, badan gue gemetar, tapi gue sepenuhnya sadar. Gue yakin gue benar-benar sadar. Gue nggak pingsan, apalagi mabuk.

Jari-jari gue rasanya bergerak sendiri tanpa gue sadari untuk mengambil ponsel. Dalam keadaan sadar penuh, tapi kayaknya setengah gila, jari gue menekan tombol panggilan.

Dia mengangkatnya.

"Hai, Jevan."

Setelahnya, pertahanan gue pecah sekuat apapun gue menahannya. Gengsi sebenarnya. Tapi, tangis gue pecah sembari menghubungi mantan kekasih gue, Jevan.

***

Haaai

Gimana chapter satu?

Reviewnya dong HAHAHAHA

[2] Hai, Jevan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang