[2]

253 40 1
                                    

Happy Reading~

***

"Hai, Jevan."  

Setelahnya, pertahanan gue beneran pecah. Gue nangis ketika gue menghubungi mantan kekasih gue via telepon untuk pertama kalinya pasca putus. 

"Jel? Kenapa?  Lo kenapa?" 

Selama kurang lebih satu atau dua menit setelahnya, Jevan hanya diam mendengarkan suara tangisan gue yang cukup kencang. Entah dia terlalu kaget karena tiba-tiba gue menghubungi dia dan menangis seperti ini, atau karena dia mendengarkan gue dan menunggu gue tenang. 

"Maaf, Jev. Sekalinya gue ngehubungin lo malah gue nangis-nangis begini," ujar gue. Serius ini, gue agak menyesali apa yang barusan gue lakukan. 

"Enggak apa-apa, Jel. Ada apa kalau boleh tau sampai lo nangis begini? Cerita aja." 

Gue menarik napas dengan berat, "Lo ingat Opa gue yang dulu gue sering cerita?" 

"Hm." Dia berdeham. Dih, laki-laki bernama Jevan ini agaknya memang nggak bisa jauh dari sikap sok dingin. 

"Kritis, Jev. Di rumah sakit, peradangan pencernaan, Jev," jelas gue akhirnya. Dia diam, entah mencerna kata-kata gue, atau mencari reaksi yang pas untuk menanggapi gue barusan. 

Jevan dan sifatnya yang kaku dan sulit mengekspresikan perasaan melalui perantara kata-kata, gue menyadarinya sejak awal. Waktu menunjukkan pukul lima sore, belum memasuki waktu bagian gue overthinking atau menyesal, tapi gue baru saja merutuki perbuatan yang gue lakukan sendiri. 

"Sorry, Jev. Gue ngerepotin ya, hehe," kata gue memecah  kecanggungan. 

"Eh, nggak kok, Jel. Sorry, jujur gue bingung harus bereaksi gimana, takut salah bicara." 

Gue tertawa kecil mendengarnya, "Enggak, kok. Lagipula gue juga mendadak banget. Tangan gue barusan lagi cosplay jadi robot, tau-tau gerak sendiri telfon lo." 

Suara tawanya terdengar. Pelan, tapi gue bisa mendengarnya dengan jelas. Tawa yang sudah cukup lama gue nggak mendengarnya, suara tawa yang dulu pernah menjadi alasan gue untuk tertawa juga. 

Kalau boleh jujur, kadang gue kangen, sih. Sedikit. Sedikit doang, enggak banyak. 

"Gue nggak tau harus gimana, Jel, jujur. Tetap berdoa aja. Gue yakin semuanya bakal baik-baik aja. Lo jangan terlalu panik juga, malah lo sendiri nanti yang sakit," ujarnya.

Gue terdiam sejenak. Dari awal harusnya gue menutup pintu hati gue rapat-rapat tanpa satu persen celah sedikitpun kalau begini ceritanya. Jelita, camkan, jangan bawa-bawa perasaan lama. 

"Beberapa bulan yang lalu gue juga kayak lo begini, terpuruk banget tapi nggak bisa nangis. Ayah sakit, lumayan parah, harus karantina. Gue nggak bisa melakukan apapun selain berdoa, Jel," lanjutnya. 

"Hah? Kok lo nggak cerita ke gue?" Oke, Jelita bodoh, stop. 

Mata gue sedikit membelalak, menandakan kalau gue kaget dengan pernyataannya barusan, "Jev, gila. Gue berapa kali bilang, nggak baik memendam emosi. Masih aja ngeyel. Berapa kali juga gue bilang, lo bisa cerita ke gue, gue bisa jamin cerita lo aman." 

Jevan terkekeh, "Enggak apa-apa, Jel. Gue kan introver, haha. Gue merasa nggak terlalu perlu cerita aja.  Gue tertutup, Jel. Orang tua gue aja nggak tau banyak tentang gue." 

"Itu artinya gue tau banyak tentang lo sampai lo bisa percaya buat cerita ke gue?" Jelita, sumpah, mending lo diem aja. 

Dia nggak menjawab apapun selama beberapa detik, "Ya..iya, tapi nggak semuaya gue cerita, sih." 

[2] Hai, Jevan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang