16 - Is This Our End?

310 28 6
                                    


Kesalahan, kebodohan, dan penyesalan. Tiga hal itu nggak akan bisa diperbaiki jika telanjur terlewati. Tapi, Rinaldy? Gue harap, keputusan Rinaldy kemarin malam nggak akan menjadi sebuah kesalahan dari kebodohannya yang nantinya akan mengantarkan dia pada titik penyesalan.

Seharusnya dia langsung menghampiri Shandy begitu mendapat kabar itu. Seharusnya dia ada memberi semangat, menyalurkan ketenangan, juga menumpahkan banyak pengertian. Seharusnya dia nggak perlu merasa keberatan meniggalkan gue sendirian. Seharusnya seperti itu, 'kan?

Atau seharusnya gue juga-oh, nggak. Sepertinya tambah nggak akan baik-baik saja kalau gue juga ikut bersamanya. Shandy pasti butuh seseorang yang menemani saat berada di titik terendahnya. Terlebih orang itu adalah Rinaldy, orang terkasihnya.

"Ngelamun apa sih, lo?!" Sentakan Suketi sukses mengaburkan lamunan gue.

"Lo dengerin gue cerita nggak, sih?"

Ah ... jangankan suaranya, riuh orang-orang di kantin saat jam makan siang begini saja cuma terdengar redam di telinga.

"Woi, lo mikirin apa?" Suketi kembali mencecar. Kini dengan alis yang menukik tajam. Kesal sepertinya.

"Adhy."

Cewek super berisik di samping gue ini melotot tiba-tiba. Dua tangannya kompak menutup mulut yang menganga. Ck, lebay. Apa-apaan reaksi itu?

"Wah ... plot twist. Adhy? Lo dari tadi bengong, ngelamun, mikirin cowok itu?" tanyanya dengan nada meninggi yang terkaget-kaget. "Gue kira lo galau gitu karena belom ketemu Rakanebo. Adhy? Seriously?"

Seriuosly? Gue juga nggak nyangka sama diri gue sendiri. Bukan karena apa-apa, hanya saja ada rasa nggak enak hati jika Shandy sampai berpikir yang bukan-bukan.

"Nggak gitu, Suk. Gue ... cuma ngerasa nggak enak aja."

"Why?"

Kalau Rinaldy bersama gue, itu menyakiti Shandy. Kalau dia bersama Shandy, nggak akan ada yang tersakiti. Bukannya begitu?

Ah, what the fuck I was thinking.

Gue diam, berpikir. Ini ranah privasinya bukan lagi masalah gue seorang, tapi juga ada orang lain yang bersangkutan. Rinaldy, Shandy. Apa nggak masalah gue menceritakannya pada Suketi? Rasanya kurang etis.

"Nggak, sih, bukan masalah besar." Gue menjawab sekenanya.

Mata Suketi memicing, seperti mencoba menelisik-atau menebak-nebak-apa yang barusan gue pikirkan. Coba saja. Dia bego dalam hal itu.

"Udah hampir jam satu. Ke kelas aja yuk, lah!"

Buru-buru gue menarik lengannya sebelum dia bertanya lebih lanjut.

Sepanjang jalan menuju kelas, Suketi memang diam, maksudnya nggak lagi banyak mengoceh, tapi sepertinya dia masih kepikiran. Sampai akhirnya langkah gue terhenti ketika menangkap sosok yang setengah bersandar di samping pintu sambil menunduk fokus pada ponselnya. Raka.

"Gue duluan," kata Suketi sambil berlalu masuk kelas.

Mungkin karena mendengar suara Suketi, sosok yang hari ini menawan dalam balutan kemeja batik itu mendongak, lalu tersenyum manis saat bertemu tatap dengan mata gue. Langkahnya mendekat, berhenti, dan menyisakan jarak beberapa jengkal saja, kemudian tangannya terulur mengacak rambut depan gue.

Gue balas senyum itu meskipun beberapa hari ini masih ada rasa dongkol sebab perginya dia tanpa pamit waktu itu. Rentetan chat darinya pun cuma beberapa yang gue balas sekenanya. Namun, senyumnya, sorot matanya, sentuhannya, seolah-olah meruntuhkan rasa dongkol itu.

The Freaky WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang