"Dari mana lo? Tumben baru balik." Tanya Dion yang sedang memeluk gitar.
Ia memperhatikan wajah lesu sahabatnya itu. Arsen membantingkan diri di kasur yang tak beranjang.
"Sen, lo nggak apa-apa, kan?" tanya Dion lagi.
"Kagak."
"Terus itu muka lo kusut kenapa?"
"Belum ke laundry."
Dion memukul pelan punggung Arsen dengan sapu yang berada di sampingnya. "Yang bener kalau jawab, kuya!"
Arsen tak melawan, ia membalikan tubuhnya menjadi terlentang. Menatap langit-langit kamar kosnya yang hampir usang termakan usia.
Bayangan tentang Gio dan Vanya tadi membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Ia khawatir ada sesuatu yang tidak beres di antara keduanya.
"Malam nanti gue sama anak-anak mau ke lapang futsal. Lo ikut kagak?"
"Ngapain ke lapang futsal?" tanya Arsen dengan polosnya.
"Mau tahlil! Ya mau main bola lah. Pake nanya." Sewot Dion.
"Yon, apa pendapat lo tentang persahabatan cewek sama cowok?" tanya Arsen yang mengabaikan perkataan Dion tadi. Di kepalanya terbayang wajah Vanya dan Gio.
"Nggak ada namanya persahabatan antara cewek sama cowok. Pasti ujung-ujungnya ngelibatin perasaan." Jawab Dion. "Lo pernah nonton film Teman Tapi Menikah, nggak?"
"Pernah."
"Nah itu kayak gitu sih menurut gue. Mereka tuh di film itu udah sahabatan dari kecil, walaupun sama-sama punya pacar tapi tetep aja kan ujungnya mereka nikah."
Arsen beranjak duduk, ia merasa khawatir dengan jawaban Dion. "Kan itu film, Yon, jangan nakut-nakutin gue lah." Protes Arsen.
Dion mengerutkan keningnya heran, "Lah gue kan cuman jawab pertanyaan lo, kenapa lo sewot sih? Itu bukan cuman film aja, itu kisah nyata yang ditulis jadi novel terus diadaptasi menjadi sebuah film."
"Lo tau kan Gio?"
"Anak fakultas Hukum itu?" tanya Dion yang diangguki Arsen. "Kenapa emang?"
"Gue pernah cerita kan sama lo kalau pacar gue sahabatan sama dia?"
Dion mengangguk-anggukan kepalanya, "Oh jadi gara-gara itu lo jadi sad boy gini? Balik-balik muka kusut kayak cucian kering yang ditumpuk. Kenapa emangnya? Ada masalah?"
Arsen tak lagi bersuara. Ia bingung harus mengatakan apa yang ia rasakan sebenarnya bagaimana. Gio dan Vanya sudah lebih lama saling mengenal, namun entah kenapa meski ia dan Vanya sudah jalan satu tahun, tetap saja ia belum bisa menerima kedekatan Vanya dan Gio, meski itu hanya sebatas persahabatan.
Ia selalu cemburu ketika gadis itu lebih memprioritaskan Gio daripada dirinya. Namun ia tak bisa menyampaikan rasa itu, ia lebih memilih memendam.
......
Malam ini Arsen dan teman-temannya pergi ke GOR futsal. Dion dan yang lainnya ikut bermain, kecuali Arsen yang lebih memilih duduk di bangku tribun sembari memeluk satu lututnya.
Dion menyikut lengan Arsen, "Jangan ngelamun mulu. Kalau kesambet gimana? Berabe tau ngadepin setan atlet futsal tuh. Ntar muka gue yang mirip oppa Korea ini kesepak." Ujar Dion bercanda.
Niatnya agar sahabatnya itu terhibur, namun gagal.
"Gue putus aja gitu, Yon." gumam Arsen yang lebih ke pernyataan dibandingkan pertanyaan.
"Ya kalau lo siap, akhiri semua dengan baik-baik. Jangan pake emosi."
"Tapi gue sayang sama, Vanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]
Teen FictionBifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah r...