Happy Reading!
Jangan lupa apresiasi penulis dengan vote dan comment, guys. Love ya <3
"Buruan, Jel. Pegel tangan gue ngerekam lo," keluh Ayu.
Dua hari setelahnya, disinilah gue dan Ayu, lapangan dekat rumah gue demi mengerjakan tugas video sialan ini. Mana memori ponsel gue mepet, dan tugasnya memakan durasi cukup lama. Belum lagi stamina gue yang sulit diajak kerjasama, baru muter lapangan tiga kali aja udah engap.
"Gue lebih pegel, Yu. Cobain aja deh lo habis ini," jawab gue dengan napas terengah-engah.
"Udah, lo coba lagi sekali. Kalau masih gagal gue duluan aja, Jel. Lo istirahat dulu," katanya. Gue mengangguk.
Gue harus mengakui kalau seberapa keras gue mencoba mendapat nilai bagus di mata pelajaran olahraga, memang lebih baik kalau gue menyerah aja. Mau praktik atau teori, nilai gue sama-sama selalu pas-pasan di mata pelajaran ini. Mending gue belajar yang lain aja kalau tahu begitu dari awal.
Beruntungnya, kali ini gue berhasil. Jadi gue nggak perlu capek-capek berlari lagi demi tugas video sialan ini.
Kita semua adalah pembenci tugas video. Kalau ada yang bilang dia suka tugas video, ingat, dia adalah pembohong besar.
Ayu selesai dalam dua kali percobaan. Gue bilang apa. Bukan tugasnya yang susah, tapi kemampuan berolahraga gue aja yang nol besar. Tugas selesai, kami memutuskan untuk duduk di pos kamling dekat lapangan.
"Yu," panggil gue setelah meneguk air dari botol.
"Jevan ngapain lagi?" Tebakannya benar, gue akan membicarakan Jevan.
"Seandainya satu hal berubah dulu, sekarang semuanya bakal tetap kayak gini atau beda ya, Yu? Apa mungkin gue sama dia masih pacaran kalau aja dulu dia adalah laki-laki yang lebih baik?"
Ayu terdengar menghela napas, "Ini, nih. Alasan kenapa gue nggak pernah sekalipun percaya kalau lo bilang udah move on."
"Gue udah pernah move on," bantah gue. Walaupun sebenarnya gue juga nggak yakin sama diri gue sendiri.
"Lo belum move on, Jel," katanya kemudian memegang pundak gue, "Kalau lo udah move on, lo nggak mungkin bingung sama perasaan lo sendiri kayak gini."
Perkataannya barusan membuat gue terdiam. Benar, gue nggak mungkin bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya gue rasakan sekarang kalau gue memang udah move on. Tapi kenyataannya, gue beneran kebingungan sekarang. Gue nggak bisa mengekspresikan atau mendeskripsikan apa yang gue rasakan.
"Soal panic attack lo gimana? Belakangan ini membaik atau makin parah? Soalnya mungkin lo ketrigger sama beberapa hal semenjak Opa lo sakit kan?" tanyanya.
Sekitar satu setengah tahun belajar dari rumah membuat gue jarang bersosialisasi dengan orang lain. Kayaknya Jevan juga tahu soal ini, gue kalau nggak bersosialisasi, itu gampang banget jadi stress. Sayangnya, situasi kali ini memang mengharuskan gue untuk tetap berada di rumah sepanjang waktu. Benar aja, stress berkepanjangan yang nggak tertangani dengan baik ini menjelma jadi gangguan mental. Gue didiagnosis menderita gangguan panik sejak setahun yang lalu, syukurnya sudah berangsur membaik.
"Membaik, kok. Kemarin pas pertama kali Opa dikabarin kritis, beberapa jam setelahnya sempet kambuh, makanya gue hubungin Jevan itu," kata gue. Gue menatap Ayu, dan gue nggak bisa membaca maksud tatapan matanya sekarang.
"Gue nggak bilang kalau gue membaik karena Jevan, ya," lanjut gue sewot.
Emang, ngomong sama Ayu tuh nggak bisa kalau nggak sewot.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Hai, Jevan.
FanfictionSatu setengah tahun pasca berakhirnya hubungan mereka, Jelita memutuskan untuk kembali dengan setumpuk tawa, tangis, dan kecewa untuk diabadikan dalam momentum masa muda. Start : 06 - 06 - 2022. ©cheezha, 2022.