sebuah analogi

10 1 0
                                    

Apakah sudah kukatakan bahwa ini adalah ungkapan kata berkedok cerita.
Ini adalah sebuah ungkapan yang tidak kupendam, tidak juga dengan lantang kuucapkan. Aku tidak menutupi apa apa kecuali memang kalian yang tidak mengerti tentang apa.

Bisa dibilang aku adalah manusia, manusia biasa biasa saja yang kebetulan sedang membutuhkan tempat. Aku tidak tau kalian mengartikan sebagai  tempat apa, tapi yang paling penting aku hanya mengungkap kata yang hampir hanyut dalam genggaman.

Aku tidak ingin membeberkan apa apa,  tapi aku juga tidak ingin menyembunyikannya. Jadi nikmatilah beberapa kata yang kugenggam.

Jika kalian bertanya aku sedang apa, saat ini aku sedang duduk di sudut perpustakaan. Memecah semua pemikiran yang sudah menumpuk dalam kepala.

Mungkin menunggu adalah kata yang lebih tepat untuk mendeskripsikannya. Menunggu, apakah analogi menunggu selalu berharap, menanti, dan membosankan. Kata menunggu terkadang membuat orang kesal, seolah dia bukan prioritas. Menunggu adalah hal yang membosankan, apalagi menunggu hal yang semu.

Seperti harapan yang memilih membuat orang menerka nerka, menunggu lebih membuat orang penasaran karena hal yang ditunggu tak kunjung datang.

Bisa dikatakan aku sedang menunggu, menunggu prioritas. Sembari menatap lalu lalang kendaraan dari balik jendela. Tapi untungnya peredam suara mampu meredam kebisingan di luar. Seperti memakai mantra yang membuat kita seolah tentram sesaat.

Menurutku, tempat yang paling tenang selain tempat ibadah adalah perpustakaan. Disini adalah tempat merenung dan mencari pengetahuan yang terbaik.

Mungkin sebaik kita berjalan tapi tidak tersesat dan mempunyai tujuan yang jelas.

Ketukan meja membuat pandangan ku teralihkan, aku memandang wajah yang membuat ku menunggu tapi tidak mengecewakan seolah dia sudah tau akan tempat kembali.

Ia menarik lenganku lalu membawa diriku keluar dari tempat yang membuat pikiranku tentram sesaat. Aku menghela nafas. Aku ingin lebih lama berada di sana, tapi aku sadar menunggu adalah hal yang paling membuat si penunggu kesal.

Apakah kalian berharap yang membuat ku rela menunggu adalah pangeran berkuda putih yang memakai baju zirah, seperti di dongeng dongeng, sebenarnya kalian tidak salah, hanya saja dia tidak memiliki banyak uang untuk membeli sebuah kuda, dan tidak sekuat kesatria yang memakai baju zirah.

Dia hanya memakai kemeja biasa dan menunggangi mobil tua peninggalan orang tua. Maksudku dia memang mengendarai mobil peninggalan kakeknya.

Seperti yang kukatakan dari awal, dia tidak sekaya pangeran atau anak pejabat. Dia adalah manusia biasa sama seperti diriku, hanya bedanya dia adalah seorang pria.

Dia melepaskan lenganku saat membukakan pintu mobil yang sudah sangat tua itu, mobil itu seolah berkata bahwa dia ingin beristirahat seperti pemiliknya yang lebih dulu beristirahat dalam artian sebenarnya.

Aku jadi teringat saat pemiliknya masih bugar dan sehat. Mobil ini seperti sahabatnya kemana saja pasti dibawa, walau akhirnya ditinggal di parkiran.

Aku berdiam diri saat mobil sudah dikendarai. Ini adalah hal yang biasa karena aku seolah hal yang tak kasat mata bagi dia yang sedang membelah jalan.

Aku duduk diam seperti patung porselen yang dipajang di salah satu museum yang pernah kukunjungi. Bisa dibilang aku sedang memeragai cara duduk nya, kaki di silang lalu kedua  tangan memegang cangkir teh dan piringnya.

Bedanya aku tidak memegang cangkir dan mengenakan gaun pesta dengan topi lebar, aku hanya menggunakan dress selutut bunga bunga, seperti pakaian musim panas. Padahal cuaca agak dingin, aku memang sengaja memakai baju ini karena aku teringat salah satu film yang menayangkan latar musim panas lalu pemerannya memakai baju seperti ini. Maksudku dia tidak memakai pakaian persis seperti yang kukenakan tapi semacam itu.

Saat mobil berhenti seolah ada suara gelembung yang pecah di kepalaku, atau suara alarm aku tidak tau yang mana. Tapi itu adalah sebuah peringatan bahwa aku harus diam dan menunduk sepanjang hari. Seperti seorang penyusup yang ditangkap membuat dia menunduk dan tangannya di gembok ke depan.

Aku tidak ingin digandeng seperti saat keluar dari perpustakaan tadi, aku merasa seperti wanita tua yang sudah bungkuk dan membutuhkan bantuan orang lain untuk berjalan karena tidak ingin naik kursi roda. Jadi aku berjalan dibelakang sambil menatap ubin ubin lantai. Aku berharap tiba tiba ubin ini runtuh lalu aku jatuh bersama mereka dan tidak perlu menghabiskan hari di rumah yang menjadi mimpi burukku setiap hari.

Tapi sayangnya itu semua tidak terjadi, tepat saat daun pintu di depan ku terbuka dan wanita tua dibaliknya tersenyum lebar penderitaanku dimulai. Aku hanya bisa terdiam, seperti kata di tenggorokan ku malu dan takut untuk keluar dia seolah takut ditelan oleh wanita itu.

Mungkin benar juga, karena pita suara ku seolah barang berharga yang membuat mereka membayar mahal saat aku melepaskannya.

Hujan mengguyur tepat saat pintu tertutup dan dia meninggalkan ku pada wanita ini. Hujan seolah mewakilkan perasaanku yang tidak bisa kuungkapkan, dia ikut bersedih karena aku juga sama sedihnya saat ini.

Walaupun sudah diberi pengertian bahwa dia akan menjemputku lagi, tetap saja aku takut, dia memang selalu menepati janji, setiap hari dia akan menjemputku di pukul delapan malam, tapi tetap saja aku takut harapan itu mengkhianati ku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AnalogiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang