"Lelah aku terjebak di bayang masalalu, tak banyak kenangan indah kekika aku bisa merasakan kehadiran nyatamu. Kini yang kulihat belum tentu di lihat mereka. Rasanya aku ingin mati untuk menjemputmu."
"Jeno anak Bunda kan?"
"Kapan Bunda sayang sama Jeno?"
"Jeno sayang Bunda."
"Makasih Bunda." Jeno tersenyum di akhir.
Mata yang semula terpejam itu kini terbuka lebar. Maniknya menatap penuh afeksi pada langit-langit putih diatasnya. Tatapan wanita itu tidak kunjung berpaling, bahkan ketika suara lembut di sertai panik mengalun menyerukan namanya Luna tetap diam.
Bayang seseorang yang tengah tersenyum manis kepadanya tak kunjung lenyap, membuat kesadarannya enggan kembali. Bahkan Luna tak peduli pada matanya yang kini terasa perih, sedari tadi tatapannya kosong tak berkedip dalam waktu yang cukup lama. Meski pun perih itu kini menyebabkan matanya mengeluarkan lahar, Luna masih tetap menbuka matanya seolah takut jika Ia mengedip atau menutup mata bayangan itu akan lenyap. Luna tidak ingin, tidak mau tidak melihat senyum yang selama ini begitu Ia rindukan.
Luna tersenyum, tangan nya yang terbebas dari selang infus terangkat mengudara. "J-jeno.." jari lentik itu menggenggam kosong udara hampa. Beberapa detik setelahnya tangan itu jatuh terkulai diikuti mata yang terpejam perlahan, Luna kembali kehilangan kesadarannya.
***
"Saya sarankan untuk membawa ibu Luna ke Pesikolog atau psikiater,".
Kata-kata dokter yang menangani istrinya itu terus terngiang. Dimas cemas, sedih dan kecewa.
Mengusap kasar wajahnya yang terlihat lelah, belum sembuh luka lamanya, kini luka baru teretak jelas menganga. Hidupnya benar-benar berantakan saat ini.
Kadang Dimas berfikir, andai saja Jeno masih ada, atau andai saja Ia bisa lebih sigap mencari donor, andai Ia tidak pasrah, keluarganya tidak akan hancur begini.
Jeno... Apa yang harus Ayah lakukan, nak?
Brukh...
Dimas menoleh, terkejut ketika melihat tempat sampah yang terletak beberapa meter darinya tiba-tiba saja jatuh menggelinding hingga sebagian isi nya terhambur. Tidak ada angin, dan tidak ada siapapun di lorong tempatnya duduk saat ini.
Heran, tapi ia memilih abai Dan kembali merenung, tidak lagi dapat membayangkan bagaimana hari-hari kedepan jika istrinya benar-benar..., Harus berurusan dengan seorang dokter kejiwaan. Rasanya Dimas ingin pergi, lari dari kenyataan. Tapi, Dirinya tidak ingin lagi menjadi pengecut. Yang terjadi saat ini adalah karma yang memang harus ia terima, walau pun sakit, ini balasan, timbal-balik dari perbuatan bejat nya di masa lalu. Harusnya Tuhan menghukum langsung pada dirinya, tidak ke keluarga, anak dan istrinya. Kini ia sungguh menyesal.
"Andai Ayah bisa memutar waktu, Ayah mau Jeno disini, sekarang."
"Ayah..?"
Panggilan itu...
Dimas membeku sesaat.
Suaranya mirip sekali dengan—, "Ayah ngapain di sini? Bunda udah sadar, nyariin Ayah." Suara anak bungsunya.
Dimas tersenyum, sebelah tangan nya mengelus surai hitam legam milik remaja yang kini duduk menatap nya sambil tersenyum, lembut.
"Manis sekali anak Ayah." Ucap nya kemudian. "Kamu sudah besar, Anak Ayah yang satu ini sudah bukan anak-anak lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET PAIN 2 || LEE JENO
Hayran KurguAku kembali berharap bisa merasakan sedikit bahagia yang dulu sempat tabu kurasa. Aku kembali dengan raga yang sama. Untuk kali ini, rengkuhlah aku yang rapuh ini. Berikan aku pelukan yang hangat.. yang tulus tanpa harus menyakiti. Berikan aku ke...