Bab 13.

459 25 1
                                    

Hari Minggu, Kirana bahagia bisa tidur sampai siang. Memeluk boneka kesayangan, guling yang empuk. Dengan wajah tidak bisa diartikan lagi. Setelah perbincangan dengan orang tua yang akan menyampaikan kepadanya. Kirana tidak sabar untuk segera mengakhiri kuliahnya. Dia tidak akan pernah lagi bertemu para dosen-dosen muka kayak papan tembok yang kokoh.

Kirana memang benci kuliah, tetapi selama nilai dia selalu bagus, dia tidak akan merasa disaingi. Hanya saja, dia takutkan buat menyelesaikan skripsi. Sampai sekarang dia belum melakukan apa pun, skripsinya. Dia bingung.

Belum lagi tugas dari dosen sialan itu. Kirana hampir stres dibuatnya. Dia pun bangun dengan muka bete banget. Lalu, Ocha, si PRT buka pintu sudah pegang sapu dan kain di bahunya.

"Pagi, Ocha!" Kirana menyapa Ocha dengan suara kodok.

Ocha senyum, dia pun izin masuk buat sapu dan membereskan barang-barang Kirana yang sungguh berantakan banget. Kirana mengamati PRT itu. Ocha sudah lama kerja di rumah orang tuanya. Dimulai dia lulus sekolah sampai sekarang masih betah. Umur Ocha dengan Kirana cukup beda dua tahun saja. Tetapi melihat kegigihan dia kerjakan. Kirana merasa iri.

Dia sendiri, belum bisa melakukan apa pun seperti Ocha. Kirana mulai berpikir, apakah setelah dia selesai kuliah. Dia kerja, bakal mendapatkan perlakuan baik seperti papanya. Kirana sempat berpikir seperti itu. Memang dia sudah terlanjur buat setuju, dia akan kerja di sana sebagai pengganti papanya.

"Cha! Kamu sempat kepikiran pengen lanjut pendidikan, gak?" Kirana tiba-tiba bertanya pada Ocha yang lagi membersihkan meja dan lemari pakaian.

Dapat pertanyaan dari Kirana. Dia pun menoleh. "Kenapa, Mbak?"

"Gak, cuma tanya doang. Soalnya lihat cara kamu lakukan pekerjaan seperti ini. Rasanya butuh kegigihan, ya?" kata Kirana. Entah apa yang dia bicarakan. Seakan tidak ada hubungannya dengan profesi dirinya dengan profesi Ocha sekarang.

"Kalau soal pendidikan, kepikiran sih, Mbak. Cuma, karena lihat kondisi keuangan, jadi saya lebih baik memilih cari pekerjaan biar gak membebankan yang lain," kata Ocha.

Kirana tertegun mendengar kata-kata Ocha. Dia seperti tertampar banget. Kirana tidak merasa jika dirinya itu sangat beruntung. Kenapa dia merasa kurang banget dari apa dia dapatkan.

"Kenapa, Mbak? Kok tiba-tiba tanya seperti itu? Saya dengar, habis selesai kuliah. Mbak langsung kerja di kantor Bapak Santo?"

Kirana mengangguk. Tetapi dia merasa kurang yakin. Ocha melihat raut wajah Kirana. Seperti ada yang mau disampaikan.

"Pelan-pelan saja, Mbak. Sebuah pekerjaan itu banyak tahapnya. Awalnya saya juga kurang yakin memilih pekerjaan seperti ini. Karena melihat kondisi keuangan keluarga. Apalagi saya harus membiayai sekolah adik saya. Saat dapat ada lowongan pekerjaan mencari pembantu rumah tangga. Tanpa keputusan atau persetujuan dari orang tua. Saya harus mengiyakan," ucap Ocha, memberi sedikit motivasi buat Kirana.

Perasaan Kirana yang tadi kalut, sekarang sudah merasa tenang. Setelah apa yang diberikan dorongan oleh Ocha. "Kamu benar, Cha. Semoga saja tahun depan berikutnya, pekerjaan itu tidak memberatkan fisik ku," senyumnya.

Ocha juga senyum. Suasana kamar pun jadi hangat. Sedangkan di dapur Erika sudah sibuk sama bahan masakan. Santo sudah bangun pagi sekali, sambil menyesap kopi hitam kesayangan. Kirana beranjak keluar dari kamar bersamaan dengan Ocha yang sudah selesai membersihkan kamar Kirana.

Kirana menuju ke dapur buat minum. Tenggorokannya sakit banget. Pasti dia gorok gara-gara nyenyak banget. Suasana dapur sepi, tidak ada suara apa pun. Beginilah hari-hari libur. Saat malam saja santai dan menyenangkan. Masih pagi juga, wajar kalau penghuni di sini pada masih malas buat bersenandung.

"Baru bangun?"

Kirana dapat teguran dari mamanya. "Iya, Ma. Sudah lama gak tidur di kamar sendiri," jawabnya.

"Memang di rumah sana kamu tidak nyenyak?" Erika bertanya.

"Hah? Nyenyak kok, cuma agak berisik," jawab Kirana seperti menyembunyikan sesuatu.

Kirana teringat soal pembayaran rumah sewa dia tinggal. "Ma, Pa, aku ingin tanya sesuatu," ucapnya.

"Apa itu?"

Erika dan Santo siap mendengar. "Soal rumah sewa yang aku tinggal. Memang pemilik rumah itu benar-benar gak ada niatan minta pembayaran yang sudah menunggang beberapa tahun?"

Santo dan Erika menatap satu sama lain. Santo meletakkan kopi hitamnya. Lalu menatap serius ke Kirana. "Sebenarnya, rumah itu, juga sempat Papa tanya, kan. Tetapi beliau masih sibuk di luar negeri. Jadi masih susah dihubungi," kata Santo.

"Memang mereka sepenting apa sih? Apa gak masalah kalau aku pakai rumahnya seperti rumah sendiri. Memang sih, rumahnya gak besar amat. Rumah biasa, tapi, tempat sekitar yang aku tinggal itu sedikit ...."

Kirana tidak bisa menceritakan soal daerah tempat dia tinggal. Banyak gang sempit. Apalagi buat cari jalan pintas biar bisa sampai. Itu juga bahagia banget. Belum lagi, sering ketemu sama anak berandalan di sana.

"Ada apa?" Santo bersuara.

"Ah? Gak apa-apa, Pa. Sekiranya, Pa. Kalau aku sudah selesai kuliah. Aku boleh pindah cari tempat lain, gak? Soalnya jarak posisi lokasi tempat tinggal sama pekerjaan Papa, kan, cukup jauh. Masa aku mesti naik kereta api ke..."

Santo tertawa kecil. "Tidak perlu, Kira. Tempat kantor Papa itu adalah anak cabangnya. Kamu akan kerja di pusatnya. Pusat kantornya ada di tempat kamu tinggal, tempat kamu tinggal."

Kirana bengong seakan bloon. "Hah? Masa sih, Pa?"

"Kamu sering lewat, kamu tidak tau?" Santo kali ini bertanya serius.

Kirana menggeleng. "Memang selama tiga tahun ini kamu dimana saja, Kira? Gedung yang begitu besar. Sering lewat, kamu tidak memperhatikannya?"

Dia memang tidak terlalu fokus daerah pergedungan, dia bahkan buat lihat gedung saja sudah malas banget. Apalagi jalanan suka macet mulu.

"Ya sudah, tidak apa-apa. Papa tau, kamu terlalu sibuk sama perkuliahan. Papa harap setelah selesai kuliah. Pekerjaan ini bisa kamu kuasai sepenuhnya. Mungkin karena usia Papa sudah waktunya pensiun. Jangan buat orang kecewa. Papa mengandalkan kamu. Papa yakin kamu bisa membesarkan nama keluarga kita," ucap Santo.

Kirana mendengar ucapan dari papanya. Seakan itu berat banget untuk mengabulkan. Apalagi, dia tidak mempunyai skill soal pekerjaan kantor. Perusahaan swasta, siapa pula yang bisa membayangkan soal itu. Apalagi profesinya sekarang. Kirana juga tidak ingin mengecewakan kedua kalinya. Dia sebentar lagi selesai kuliah dan mendapatkan gelar sarjana. Gelar sarjana yang diinginkan oleh orang tuanya.

"Aku gak janji, Pa. Tapi, aku akan berusaha, pasti aku akan lakukan terbaik. Supaya melihat wajah Papa sama Mama bangga," ucap Kirana, dalam hati dia belum yakin. Masih banyak keraguan dia jalankan.

Tetapi, dia sudah janji. Janji tetap harus ditepati. Seberat apa pun nanti dia jalani. Dia tetap harus berusaha. Agar mereka tidak memasang wajah sedih hanya karena dirinya tidak becus bekerja.

***

Bagaimana? Sudah waktunya belum keluarin semua peran tokoh-tokoh pemain di bab berikutnya?
Yuk, lah! Mana nih? Hehehe.

√TERJEBAK KARENA NAFSU (21+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang