Puan EL

17 3 1
                                    

Seorang wanita duduk termenung di balkon ruangan. Tangannya menari dengan manis di atas kertas. Saat itu, gerimis, namun gerimis membuatnya nyaman, tenang.

Krekk...

"El, ngapain sih di situ? Udah tahu hujan, bocah malah hujan-hujanan pula," kata Devina. Devina adalah sahabat wanita itu.

Ya, wanita itu. Riel. Mikaela Riel Kara. Wanita penyuka hujan. Yang saat ini tengah sibuk dengan penanya, merangkai kata demi kata pada kertasnya. Setiap dia menghadapi masalah, dia akan selalu seperti itu. Berkutat dengan pena dan kertasnya, tentunya dengan di bawah hujan.

Menurutnya, hujan adalah hal paling menyenangkan untuk menghapus sakit dan luka. Menutup jejak air mata, yang menurutnya haram untuk orang lain lihat.

"Hei! Dengar gak sih gue bilang apa tadi?" namun Riel tak bergeming. Devina menepuk bahu Riel.

Riel menoleh, "Ah! Sejak kapan lu masuk? Gue gak denger lu masuk," ucapnya.

"Gimana mau denger! Lu aja sibuk sama kertas lu. Ada apaan sih El? Ada masalah apa lagi?" jawab Devina.

Riel hanya menatap Devina, lalu tersenyum. "Kebiasaan banget dah lu, El. Kayak orang gagu, bege! Bukannya dijawab, malah senyum doang," ujar Devina lagi kesal.

Riel menatap secarik kertas yang tadi dia tulis. Riel menatapnya dengan rekat.


"Secarik kertas berucap bisu,

Tertulis pilu rindu.

Metetes air turun dari mata,

Mengingat rindu dari kita.

Seperti takdir yang mengada-ada

Tentang kamu dan dia.

Sebenarnya siapa tuan?

Yang dengan berani membuat puan merindukan."


Riel mengingat apa yang terjadi padanya lima tahun silam. Dia bertemua seorang pria yang berwajah angkuh namun bermata sendu. "Jangan bilang lu lagi mikirin cowok itu lagi! Udah deh, Riel, gak usah lu pikirin lagi. Ngapain sih lu pikirin? Segitu menariknya emang dia di mata lu?" ujar Devina menyadarkan Riel dari lamunannya.

"Gue gak mikirin dia, gue hanya inget sebentar doang," Riel berdalih. Karena sesungguhnya dia tidak bisa melupakan sorot mata itu.

"Yuk! Udah ditunggu sama yang lain di starbuck, gak enak kalau kelamaan mereka nunggunya. Btw, gue gak tahu jalan. Lu yang sebagai tuan rumah harus mandu jalan gue! Ok, nona hujan!" ucap Devina.

"Ho.. ho.. ho.. Siap ibu bos! Gue lagi mesen taxi onlinenya, sambil gue ganti baju. Lu tunggu di sebentar ya. Eh, sambil liatin handphone gue, takutnya abangnya chat ke gue," ucap Riel seraya bangkit dari balkon untuk ke kamar mandi berganti pakaian. Karena pakaiannya sudah basah karena gerimis.

"Iya, iya! Buruan yak! Jangan kayak sinden, lama!" cerewet Devina. Devina mentap kertas yang ditulis Riel tadi di atas nakas samping tempat tidur sambil menggelengkan kepalanya.

"Bodoh banget bocah! Hanya karena matanya doang, dia jadi segininya," lirih Devina sambil menyunggingkan bibirnya.

.....

"Hot americano, strong please," ujar pria itu kepada barista. Riel yang mengenali suara itu, mengdongakan kepalanya.

"Dia. Akhirnya bisa melihatnya lagi. Apakah aku salah kota? Bagaimana bisa Braga bisa pindah ke Kota Istimewa?" ujar Riel dalam hati. 

Dear(ga)Where stories live. Discover now