"A untuk Angkasa, dan Z untuk Zeya. Maka di kisah ini Angkasa terlahir untuk Zeya."
Si pencinta hujan.****
15 Februari 2014.
Bagi anak pelajar, hari ini adalah hari istimewa karena hari ini tanggal merah.
Terutama Zeya, gadis itu sibuk membersihkan rumahnya. Semua ia lakukan mulai dari menyapu, mengepel, mencuci piring, dan masih banyak tugas lagi.
Gadis itu sangat pandai memasak, hari ini ia memasak pizza makanan khas Italia itu mampu ia buat. Jari-jemarinya terlihat sangat lihai dalam memasak. Membuat gadis itu menjadi cewek limited edition.
"Chef Zeya nggak pernah gagal dalam memasak." Monolog Zeya membanggakan dirinya.
Pizza pun siap, harum menyeruak di dalam ruangan ini. Zeya memang handal dalam memasak.
Seketika otak Zeya terlintas Angkasa, cowok itu sangat menyukai makanan Italia.
"Gue baru inget, Angkasa suka makanan Itali. Yaudah gue anterin aja ke rumahnya." Ucap Zeya berbinar.
Zeya mengeluarkan motornya dari bagasi. Berniat mendatangi rumah Angkasa.
Tampilan cewek ini sangat cantik, Hoodie berwarna coksu dan kulot hitam ia padukan, menambah kesan manis dalam dirinya.
Selama di perjalanan tak henti-hentinya Zeya tersenyum.
***
"Angkasa!" Panggil Zeya dari luar pagar rumah Angkasa.Satpam pun keluar, ia sedikit membuka pagar untuk melihat Zeya. "Ada apa Mbak?" Tanya satpam itu.
"Saya mau ketemu Angkasa Pak." Jawab Zeya.
Satpam itu mengangguk. "Tunggu sebentar ya Mbak, saya panggilkan tuan dulu." Ujar satpam itu yang dibalas anggukan oleh Zeya.
Tiga menit Zeya menunggu Angkasa dari luar pagar. Sebenarnya ia sudah bosan. Tetapi Angkasa pun datang dengan setelan serba hitam.
"Ngapain lo kesini?" Tanya Angkasa.
"Ini gue tadi abis bikin pizza, gue keinget lo yang suka makanan Itali. Gue mohon kali ini jangan ditolak, gue udah jauh-jauh kesini Angkasa." Zeya berucap pelan sambil menundukkan kepalanya.
Angkasa menerima kotak pizza yang diberikan Zeya, ia juga tak tega melihat gadis di depannya ini.
"Oke thanks. Jangan nunduk gitu. Nggak enak dilihatnya." Angkasa menyuruh Zeya agar tidak menunduk.
Zeya mendongak, harapan pun terpancar dari mata indah Zeya. Senyum manis pun tercetak di bibir Zeya, membuat kedua lesung pipinya tercetak jelas.
Langit yang semula terang benderang, kini mendung kehitaman. Langit sepertinya akan menumpahkan isinya dengan sangat deras.
Kilat dan petir pun ikut hadir, membuat Angkasa dan Zeya sedikit cemas. Zeya sangat menyukai hujan, entah apa yang membuat gadis itu menjadi penyuka hujan.
Berbeda dengan Angkasa, cowok itu terlihat sangat takut, keringat dingin mengucur di pelipisnya.
"Gue benci hujan... Langit tolong jangan turunkan hujan sekarang... Gue benci hujan dan segala peristiwa nya." Angkasa berucap di dalam hati.
"Angkasa hujan! Kita mandi hujan sekarang." Ajak Zeya yang begitu semangat.
Ketakutan Angkasa pun bertambah. "Nggak! Gue benci hujan! Gue benci hujan turun!" Teriak Angkasa yang membuat Zeya terdiam.
Cewek itu masih mencerna perkataan Angkasa barusan. Apa katanya benci hujan?
Zeya maju satu langkah agar lebih dekat dengan Angkasa. "Lo kenapa Angkasa? Hujan nggak seburuk itu, hujan itu indah Angkasa." Ujar Zeya mencoba meyakinkan Angkasa.
Angkasa tetap merasa takut, punggung nya juga bergetar hebat.
"Hujan itu jahat Zey... Hujan itu buruk, hujan itu membawa petaka Zey..." Sendu Angkasa menatap teduh Zeya.
Bulir air mata pun mengalir di pipi Angkasa, bersamaan dengan itu hujan turun dengan derasnya.
"Angkasa, are you okay? Ya udah kita masuk sekarang ya?" Pinta Zeya yang langsung diangguki Angkasa.
Kali ini Zeya menemukan sosok lain dalam diri Angkasa.
***
Di dalam rumah bernuansa dark itu terdapat Angkasa dan Zeya tengah duduk di sofa, dirasa sudah tenang, Zeya mencoba menanyakan apa yang terjadi pada Angkasa.
"Memangnya kenapa Angkasa, lo benci hujan?" Zeya mencoba bertanya walau sedikit takut.
Angkasa menatap Zeya Lamat, ia menarik nafas dalam sebelum berbicara. "Karena hujan itu sangat kejam, andai waktu itu hujan nggak turun. Mungkin gue gak merasa bersalah Zey."
Zeya menatap mata biru safir itu, disana terdapat penyesalan yang mendalam.
"Kita memang jauh berbeda Angkasa... Gue pencinta hujan, dan lo pembenci hujan." Ucap Zeya dalam hati.
Cewek itu masih setia menatap mata Angkasa, seperkian detik bertatapan akhirnya Angkasa memutuskan kontak mata sepihak.
"Mending lo pulang Zey, nanti ortu lo nyariin." Saran Angkasa.
Zeya mengangguk. "Ya udah gue balik dulu ya. Nggak usah dipikirin tentang hujan yang begitu kejam."
***
"Dari mana kamu?! Anak sialan! Jam segini baru pulang. Kamu nggak tahu? Saya hari ini kedatangan tamu, tapi kamu malah keluyuran. Bukannya nyiapin makanan, malah jalan-jalan kamu!" Zilva membentak Zeya begitu keras sampai gadis itu memejamkan matanya.
Zeya benci jika harus pulang ke rumah dengan omelan setiap harinya
"Zeya bukan pembantu Ma... Zeya cuma siswi pelajar, Zeya juga mau bebas Ma. Mama nggak pernah ngertiin Zeya." Cewek itu menunduk dalam, hatinya berdenyut nyeri.
Zilva membanting vas bunga yang ada di sebelahnya, vas bunga itu pun hancur berkeping-keping.
"Anak gak tahu diri! Sini kamu!" Zilva menarik tangan Zeya menuntun gadis itu berjalan. Zilva pun berhenti di gudang, ia mendorong Zeya untuk masuk ke dalam.
"Saya masih berbaik hati untuk tidak mengurung kamu di toilet. Malam ini kamu tidur di gudang!" Bentak Zilva kesekian kalinya.
Masih tetap sama, Zeya hanya bisa menunduk. Ia mencengkram Hoodie nya melampiaskan rasa sakit.
Pintu gudang pun tertutup. Yang ada hanya keheningan dan kegelapan, tak ada cahaya sama sekali di gudang ini.
Zeya terduduk, ekor matanya menyusuri setiap sudut di gudang ini. Sebenarnya Zeya adalah gadis yang penakut, suasana seperti ini membuat Zeya merinding.
Bukannya menangis, cewek itu justru tersenyum simpul.
Sudah dikatakan bahwa Zeya itu jarang sekali menangis. Air matanya terlalu berharga.****
Tandai typo.
Vote nya kakk ❤️
Comment juga ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa Zeya [ A & Z ] (TERBIT)
Teen FictionIbarat A dan Z terlalu jauh bagi mereka untuk bisa disatukan. Tak pernah terpikirkan oleh cowok bernama Angkasa Frakinlyon, yang selalu dikejar-kejar oleh cewek bernama Zeya Primlya Quenna. Selama dua tahun bersekolah di SMA Antariksa, Zeya selalu m...