BAB 14 | Nyali Ciut!

251 42 7
                                    

Langit pagi masih terlihat sangat gelap, bahkan bintang-bintang semalam masih bisa di saksikan. Aza keluar dari pagar lalu perlahan menutup pagar. Gadis itu berjalan sedikit dipercepat menuju tempat dimana ia biasa dijemput Rayen. Langkahnya menjadi perlahan, senyumnya mengembang seketika setelah melihat raut wajah Rayen yang tersinari lampu jalan.

"Aza kira Rayen kemarin bercanda kalau mau berangkat jam setengah enam." Senyumnya masih berbinar mengingat kata-kata Rayen semalam.

Setelah dari dermaga Rayen segera mengantar Aza untuk pulang, laki-laki itu tak mau jika nantinya Aza akan kena marah orang tuanya karena pulang terlambat.

"Rayen hati-hati ya." Tersenyum seraya menyodorkan helm.

"Loe besok harus bangun pagii banget ya." Titah Rayen.

Aza mengerutkan dahinya sejenak. "Buat apa?"

"Besok gue jemput jam setengah enam, loe harus udah siap di tempat biasanya."

Rayen memakaikan helm perlahan kepada Aza. Tatapan mereka saling bertemu pandang. Bahkan dinginnya pagi itu tak mereka hiraukan.

"Emang gak boleh?" tanya Rayen dengan gerlingan matanya.

Aza menggeleng. "Boleh, tapi kenapa?"

Rayen tersenyum lalu bersiap menyalakan motornya. "Biar kita ada waktu buat berdua." Tersenyum. "Kan lumayan ada sekitar satu jam sampai jam setengah tujuh."

Aza saat ini sudah tak bisa menahan senyuman yang begitu saja mengembang dari sudut bibirnya. Rasanya begitu menggebu-gebu, batinya ingin sekali berpesta saat ini, jantung seperti sedang tarik ulur dengan darah.

"Oya, loe udah sarapan?" tanya Rayen.

Aza menggeleng samar. "Belum."

Laki-laki itu nampak tersenyum dengan senang hati. "Nanti kita sarapan bubur bareng ya."

"Kok bubur?"

"Emang kenapa kalau bubur? Oooh, bubur itu makanan orang sakit?" pertanyaan macam apa itu, Rayen menggaruk dagunya sekilas. "Iya, bener banget, bubur itu makanan orang sakit. Sama kayak gue."

"Lho, Rayen sakit?" tangannya otomatis sendiri memeriksa dari Rayen begitu saja, nalurinya sangat takut jika laki-laki itu benar-benar sakit.

Rayen menggeleng samar. "Bubur itu buat orang sakit, sama kayak loe yang buat ngobatin rindu aku kekamu."

Ya, buset! Gombalan macam apa itu Rayen Bagus Adiputra? Bahasanya saja disatu-satukan, antara loe-gue dan aku-kamu.

Aza ingin sekali tertawa dengan keras namun ia tahan dan cukup tertawa lirih. "Kok, Aza geli ya, denger Rayen ngegombal kayak gitu, rasanya kayak bukan Rayen." Masih dengan tawa.

Wajah laki-laki itu menjadi datar seketika. "Berusaha jadi pacar normal malah di ketawain, terserah. Buruan naik nanti keburu siang." Sungutnya.

Aza masih tertawa. "Maaf, abisnya Aza kaget sama Rayen yang tiba-tiba bisa kepikiran kayak gitu." Perlahan menaiki motor Rayen. "Rayen gak perlu berusaha jadi pacar normal. Karena Rayen tahu? Rayen itu udah yang terbaik bagi Aza, Aza suka caranya Rayen ngajak Aza pacaran."

Kini bergantian, jantung Rayen yang dipompa begitu cepat, bahkan tubuhnya sekarang terasa lemas tak berdaya, untuk mendengar perkataan Aza. Sebisa mungkin ia menetralkan semuanya. Namun sesuatu merambat untuk melingkar di perut laki-laki itu.

"Aza bolehkah pegangan Rayen?"

"B-boleh."

Angin pagi yang menusuk kulit mereka terjang dengan perlahan, suara burung-burung yang telah terbangun dari tidurnya menjadi musik dipagi hari, para manusia juga sudah ada yang memulai aktifitas paginya. Bahkan mentari dari ufuk Timur sudah perlahan naik menyapa dunia.

Kamu Milik 'Ku [On Going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang