Dalam dua hari sebuah motor yang masih gress itu benar-benar datang ke rumah. Aku berdiri dalam beberapa jarak dari tempatku, melihat ayah mengelus motor itu dengan perasaan bangga dan bahagia mengingat motor yang tiap hari dipakai ke kantor adalah inventaris kantor. Aku seperti takut untuk melihat lebih dekat. Apalagi memegang-megang, mengelus-elus atau menaikinya sekalipun. Seolah motor itu punya daya magnet yang besar yang akan membuat hatiku terseret kepada si pemberi.
Tidak terlihat antusias dengan kedatangan motor dari mas Pijar, ayah dan ibu berusaha memahamiku dan tidak memaksa-maksa aku menerima pemberian itu. Aku mempersoalkan uang serta handphone dari mas Pijar. Aku tidak tahu alasan dia memberikan semua itu sebenarnya untuk apa. Karena itu aku masih menyimpan pemberiannya itu. Uang masih utuh di lemari, dan handphone masih di dalam kotak pembungkusnya. Aku tidak akan menggunakannya entah sampai kapan.
Aku dan ibu membuat nasi kuning untuk ulang tahun Alifa yang ke tiga dan membagikannya kepada tetangga di sekitar rumah. Dua hari setelahnya tidak ada yang menduga tiba-tiba mas Pijar kembali datang. Ia tersenyum pada Alifa saat kusuruh Alifa menyalaminya. Alifa menggenggam tanganku saat menerima elusan di kepalanya. Tatapannya yang lembut dan senyumnya yang hangat itu lalu berpindah ke arahku. Membuatku berusaha mempertahankan hatiku agar tidak goyah dari tempatnya.
Waktu ibu memberitahu mas Pijar acara ulang tahun Alifa kemarin, mas Pijar lalu mengajak kami semua untuk merayakan ulang tahun Alifa di sebuah restoran.
"Ah, nggak usah, Jar. Lagian ulang tahunnya sudah lewat beberapa hari," cegah ibu merasa mas Pijar telalu berlebihan karena harus ke restoran segala. "Yang penting dia selalu sehat dan kelak jadi anak yang sholeha."
"Nggak apa-apa, Bulik. Sekalian aku mau ngajak bulik, om Hari, Ai dan Alifa makan di luar. Sekali-kali," desak mas Pijar mempertahankan ajakannya.
Akhirnya kami pergi memenuhi keinginan mas Pijar. Saat tengah mengganti baju Alifa aku dengar mas Pijar menelpon sebuah restoran untuk membooking tempat.
"Alifa mau duduk di depan?" tawar mas Pijar penuh sayang saat kami menuju mobil yang terparkir di depan rumah. Alifa yang berada dalam gendonganku langsung mengangguk dan nggak sabar ingin duduk di dalam mobil.
"Sama ayah duduknya ya?" suruhku halus membujuknya.
"Nggak mau. Sama mama!"
Oh, bagaimana ini? Gumam hatiku.
"Ya udah kamu sama Alifa duduk di depan. Biar ayah sama ibu di belakang," kata ayah menuruti kemauan Alifa sambil membuka pintu belakang untuk ibu.
Mas Pijar membukakan pintu mobil untukku dan Alifa. Tangannya melindungi pucuk kepalaku saat aku masuk ke dalam mobil sambil menggendong Alifa. Aku duduk diam di samping mas Pijar dengan perasaan yang berkecamuk mengingat sikap mas Pijar yang begitu manis dan penuh perhatian itu.
Saat mobil mulai berjalan, Alifa di pangkuanku sibuk menatap ke depan, ke samping kiri dan kanan juga ke belakang ke arah ayah dan ibu yang terlihat melambai-lambaikan tangan.. Saat menatap ke arahku, senyumnya mengembang lalu perlahan disandarkan kepalanya ke dadaku.
"Mama, mau ke mana?" tanyanya lirih.
"Mau jalan-jalan," jawabku.
"Alifa, kamu seneng ya naik mobil?" tanya ayah dari belakang.
Ia bangun untuk menunjukkan anggukan pada ayah dengan senyum girang khas anak-anak.
"Kamu naik mobil siapa?" tanya ibu pula.
Pandangannya menoleh sosok di sebelah. "Om ..." jawabnya malu-malu.
"Om siapa?"
"Om ..." ia lupa atau mungkin susah ketika mau menyebut nama mas Pijar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati Ai [ Selesai ]
Roman d'amourSebenarnya cita-cita Tari sejak dulu begitu sederhana. Menjadi seorang ibu. Sebuah keinginan yang semua perempuan normal bisa menjalaninya. Dan sepertinya Allah menerima dan mengabulkan keinginan mulianya itu. Seorang bayi merah dan mungil tiba-tib...