Inara 2

511 86 6
                                    


Zain sampai di rumah sebelum azan magrib berkumandang. Zain mendapati ayahnya sedang mengangkat jemuran di halaman samping rumah. Ayah Zain, Pak Oji, selalu pulang lebih awal dari Zain. Sejak laki-laki itu ditarik menjadi supir ke perusahaan karena Inara sudah menyetir sendiri ke kampus, Pak Oji memiliki jam kerja sampai waktu asyar.

“Assalammualaikum, Yah.” Zain mengucapkan salam seraya mengambil tangan sang ayah. Diciumnya dengan penuh kasih tangan laki-laki lima puluh dua tahun itu.

“Waalaikumsalam, Nak.” Pak Oji mengusap kepala Zain dengan lembut. 

“Ibu dan Ayunda mana, Yah?” Zain mengiringi langkah kaki ayahnya masuk ke dalam rumah. 

“Ibu lagi istirahat di kamar, dari tadi siang kurang enak badan. Ayunda belum pulang dari kampus. Katanya ada praktikum, jadi pulang setelah magrib.”

“Oh, iya, Yah.” Zain meletakkan tas laptopnya di kursi tamu lalu bergegas masuk ke kamar sang ibu. 

“Ibu sakit?” Zain mengambil tangan perempuan yang sangat dicintainya itu. Mencium tangan yang sudah mulai keriput itu dengan sayang.

“Nggak, Nak. Cuma agak lelah aja.” Bu Tina mencoba untuk duduk.

“Ibu tidur aja.” Zain menahan tangan ibunya agar tetap berbaring.

“Sudah mau magrib, Nak. Ibu mau sholat.”

“Ibu kuat?”

“InsyaAllah kuat.” 

Bu Tina tersenyum setelah berhasil duduk bersandar di kepala tempat tidur. 

“Alhamdulillah.” Zain membelai rambut ibunya dengan lembut.

“Zain mandi dulu, ya, Bu. Nanti kalau Ibu nggak kuat makan di luar, biar makan malamnya Zain antar ke kamar.” 

“Ya, Nak.” Bu Tina mengangguk. Zain bangkit dan berjalan ke luar kamar menuju kamarnya.

Setelah mandi dan sholat magrib, Zain dan Pak Oji duduk di meja makan. Zain telah mengantarkan nasi lengkap dengan lauknya untuk sang ibu ke kamar. Zain ingin menyuapkan ibunya itu, tetapi Bu Tina menolak. Perempuan lembut itu mengatakan bisa makan sendiri. Akhirnya Zain mengajak ayahnya untuk makan malam.

 

Zain menyendokkan nasi dan lauk ke piring sang ayah. Sejak duduk di bangku SMA, Zain sudah terbiasa mengurus dan melayani keperluan kedua orang tuanya.

“Makasih, ya, Nak.” Pak Oji menerima piring nasinya dengan suka cita. 

“Makan yang banyak Ayah, biar selalu sehat dan kuat.” Zain berkata seraya menyendok nasi ke piringnya sendiri.

“Kamu juga, makan yang banyak biar cepat besar.” Pak Oji berkata dengan tawa di ujung ucapannya.

“Ayah, aku sudah besar sekarang. Sudah tidak bisa lagi bertumbuh.” Zain ikut tertawa mendengar ucapan ayahnya. Ayah dan anak itu tertawa bersama.

Meski rumah mereka kecil dan sederhana, tetapi selalu terasa hangat dan penuh tawa. 

Setelah itu, mereka makan dengan nikmat. Padahal hanya menu sederhana. Goreng ikan gembung dan sayur asam. Begitu selesai makan, Zain segera membereskan meja makan. Sementara Pak Oji masuk ke kamar untuk melihat sang istri. 

Hijrah Cinta InaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang