Lembar ke-01

93 16 50
                                    

[ Bab 1

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[ Bab 1. Kharama, Pangeran Jogja Yang Gila Kelana.  ]

»»

“Murid tidak tahu sopan santun! Kembali ke sini kamu, Kharama!” 

Habis sudah kesabaran Noviska pada pemuda Yogyakarta yang ia agungkan namanya, wajah sang Ibu guru tersebut tampak merona, bukan karena  tersipu atau sedang memadu asmara, melainkan karena tumpukan buku yang ada di kedua tangan keriputnya telah bercumbu dengan keramik-keramik suci milik Pak Dzakaria—pemilik sekaligus pengelola Sekolah Menengah Atas Satya Parma.

Alih-alih mengindahkan, pemuda Yogyakarta itu justru mendeklarasikan pesonanya. Ia tersenyum sampai lubang di kedua pipinya unjuk diri, sembari mengedipkan sebelah netra legam miliknya pemuda tersebut berujar penuh tawa.

“Mengapa harus saya? Mengapa tidak Ibu Noviska yang ramping dan sangat cantik ini saja yang kemari—menghampiri saya? Pencuri itu seharusnya dikejar bukan mengejar.”

Sontak Noviska geram, wajah yang sebelumnya merona kini telah membara. Ia tahu ujaran Pemuda itu hanya sekadar sarkasan. Dirinya bukan wanita yang ramping ataupun cantik. Oh ayolah! Noviska adalah seorang Ibu yang memiliki lima orang cucu. Dari mana gelar cantik nan ramping itu berasal?

“Kharama! saya tidak akan melepaskan kamu!” Lagi-lagi yang diserukan tidak menggubris, lemparan senyum juga kekehan darinya pun sanggup membuat isi kepala Noviska meledak saat itu juga.

Kharama Adipati memang bedebah yang urakan, tidak beretika, dan bahkan nyaris mendekati kata ‘gila’ dalam kamus setiap orang yang berhadapan dengannya.

• • •

“Kali ini apa? Dihukum membersihkan toilet akibat menyembunyikan sepatu Pak Amar? atau... berjemur di lapangan karena berulah lagi dengan Bu Noviska?”

Akibat suara halus yang mengudara itu, Kharama seketika terbahak, gadis di depannya ini ternyata sudah hafal betul akan tingkah lakunya yang menjengkelkan dan terlewat batas. Sembari menegak sebotol air mineral dari rekannya, Kharama membalas santai.

“Adisya, kamu ini mengapa tamak sekali, sih? Memangnya... cantik, manis, dan lucu saja tidak cukup, ya? kenapa harus pintar meramal juga, hm?”

Adisya Kelana Putri, sosok gadis yang dikagumi hampir seluruh siswa SMA Satya Parma. Tubuhnya yang semampai, serta pahatan wajahnya yang rupawan sukses membuat siapa saja terkagum melihatnya. Tak sampai di situ, sisi dewasa juga kepandaiannya dalam menjadi pengibar sang saka pun telah menyempurnakan kharisma dari seorang Adisya.

Tidak terkecuali Kharama, pemuda Yogyakarta itu sudah terkagum-kagum pada gadis yang sekarang menyandang gelar ‘kekasih’ dari dirinya sendiri. Banyak yang bergunjing jika Kharama bisa begitu mudah mendapatkan hati Adisya karena ulah guna-guna, sogokan, atau hal kurang baik lainnya. Padahal, ada satu sisi tersembunyi dari Kharama yang hanya bisa dilihat oleh gadisnya—Adisya. Seperti sekarang ini, Kharama bisa dengan mudahnya membuat rona di pipi Adisya hanya karena sederet kalimat sarat rayuan itu.

“Rama, kamu—”

“—Iya, Aku, Kharama hanya cinta pada Adisya kok. Tidak ada yang lain.”

Sepertinya kalimat terakhir dari kamus Kharama memang benar. Dia itu pemuda yang nyaris mendekati kata ‘gila’. Adisya benar-benar dibuat frustasi setelah mendengar cuitan Kharama, ia menarik napas lalu membuangnya tak serantan. Wanita bermata cokelat itu mencoba terlihat garang, meskipun sebenarnya ia sedang berusaha keras menutupi tubuhnya yang ingin melayang detik ini juga. 

“Jika bercanda sekali lagi, akan kugantung kamu di tiang bendera, mau?!”

Kharama mendadak hilang energi, ia menggeleng. Namun, beberapa sekon setelahnya, dia tersenyum lagi—kali ini sampai eyes smile-nya timbul.

“Tetapi kalau habis digantung kamu peluk aku, aku mau deh, hehe.”

Sebenarnya Adisya ingin marah, tetapi karena Kharama berulang kali membalik keadaan, alhasil ia mengalah. Beradu argumen dengan sang kekasih memang tidak berguna sama sekali, hanya membuang waktu dan menghabiskan energi.

“Memangnya, apa yang sudah kamu lakukan pada Bu Noviska kali ini?” tanya Adisya pasrah.

Kharama memutar bola matanya, sok berpikir. “Tidak berlebihan sih, aku hanya bilang kalau Bu Noviska itu Cantik dan ramping.”

Adisya terbelalak, di samping kegiatannya yang sedang memantau junior Paskibra-nya berlatih baris-berbaris di lapangan sana.

“Jangan terbelalak seperti itu ah, mata cokelatmu semakin indah tahu! Aku, 'kan jadi makin sayang!” Adisya berdecak sembari melempar kekehan. “Lagipula, hukumannya mudah kok, hanya membuat puisi.”

Lantas, Adisya berbalik menghadap Kharama dengan cepat, dia terlihat antusias. Pasalnya, Kharama adalah laki-laki begajulan yang sangat pandai dalam merangkai kata dan mengekpresikan rasa. Laki-laki kesayangannya itu adalah cerminan pasangan yang aneh dan berbeda.

Dan ya... Adisya suka.

“Kalau begitu, ayo buat, dan bacakan di depanku sekarang!”

“Boleh, tetapi sebelum itu, bisa genggam tanganku lebih dulu, tuan Putri?”

• • •

—Watanabe Haruto as Kharama Adipati—

—Watanabe Haruto as Kharama Adipati—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Perkenalkan, saya Adipati. Pemuda penggila diksi, pengagum puisi, dan pencinta gadis bernama Kelana Putri.”

»»

—Kim Min Jeong as Adisya Kelana Putri—

—Kim Min Jeong as Adisya Kelana Putri—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Perkenalkan, saya Kelana Putri. Pemudi Bumi Pertiwi, sumbu cinta sang Adipati.”




Note :
1. Cerita 100% fiksi (Tidak ada hub. dgn real life pelakon di atas.)
2. Visualisasi bisa diubah sesuai imajinasi masing-masing.
3. Untuk cast akan bertambah seiring dg berjalannya cerita.
4. Mohon bijak dalam membaca, jika berkenan berikan vote, komentar, dan kriksar-nya ya!

Terima kasih♥️

©001Whitepaper
2022

Puisi Untuk Tuan Putri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang