08🥀 Computer Course

12 5 0
                                    

"Jalan yang ku coba tempuh, semoga adalah jalur yang sama yang menuntunku 'naik' dan 'pulang'"

Song Playlist :
Dreams Come True - Aespa

****

Aku menatap puluhan keping benda kecil di tanganku yang menjadi teman ku selama ini.

Silet.

"Aku harus benar-benar berhenti sebelum semuanya terlambat," monologku sendiri, menguatkan hati.

Entah kenapa, sebuah frasa yang terdengar punya makna tersirat layaknya siraman kalbu dari Harus kemarin, menggetarkan sudut kecil hatiku yang dingin.

Aku bertekad tidak ingin melakukan hal bodoh itu lagi.

Meski ragu aku tak bisa sepenuhnya lepas, tetap kutarik nafas panjang, lalu melemparkan lusinan benda tajam nan mungil itu ke dasar parit.

Aku menghembuskan nafas, melihat benda kecil itu hanyut, terombang-ambing hingga akhirnya lenyap menuju dasar parit kotor, ada bagian dari perasaanku yang seolah lepas dari belenggu dengan kepergiannya.

Tapi, sedetik kemudian ada perasaan aneh yang menjalar di dada.

Aku menyisingkan lengan jaket, menatap luka-luka gores yang sejatinya tak pernah kering karena selalu diberikan goresan baru. Dan ini, alasan mengapa aku selalu mengenakan baju lengan panjang baik di rumah maupun di luar.

Aku tersenyum miring, "Ayo liat dirimu! Setelah ini, seberapa lama kau bisa bertahan tanpa si teman kecil itu"

Aku harap, ketakutan ku tak menjadi nyata.

.....

"Ibu, Felix ingin ikut kursus komputer"

"Oh bagus itu. Ada uangnya, kan?"

Uang. Hah, satu kata itu luar biasa, mampu membuat gila manusia karena pentingnya nilainya.

Aku mengangguk saja, "Ada, Bu"

"Bagus. Siapa tahu dengan skill yang kamu peroleh nanti bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,"

Hm, ya Bu. Semoga saja. Aku juga inginnya begitu.

"Berapa biayanya? Perbulan? Perminggu? Atau tiap sesi jadwal?" Tanya ibuku dengan mata yang tak beralih dari televisi yang ia tonton.

Aku yang berdiri di sampingnya, menjawab pelan, "Empat ratus ribu. Itu untuk tiga bulan,"

"Oh, ya sudah"

Sudah? Begitu saja? Oh, astaga Felix, memangnya respon yang seperti apa yang kau harapkan?

....

"Sepertinya aku harus membeli kuota bulanan dengan giga yang lebih besar lagi,"

Ya, tentu saja. Untuk modal dasar searching ilmu komputer yang akan ku jabani selama tiga bulan ke depan.

"Untuk apa?"

"E buset!" Pekik ku kaget. "Kak Chandra! Jangan kayak setan, bisa?!"

"Enak aja tampang bule cakep begini di bilang setan," cebiknya.

"Abisnya gaib bener, sekalinya buka mulut main ngagetin orang"

"Oh ya, katanya kamu mau ngambil les komputer?" Tanya kak Chandra, mengabaikan keluhan ku, kemudahan menyedot pop ice rasa alpukat yang dibelinya.

Aku yang membersihkan blender, menoleh padanya yang duduk di kursi pelanggan, "Tahu darimana?"

"Ibu mu yang bilang. Kemarin ketemu papasan pas aku beli cincin di toko emas,"

Tak!

Huft, astaga. Beruntung blender yang baru saja ku cuci tidak jatuh dan pecah.

Tapi apa tadi katanya? Kak Chandra tahu dari ibu? Kenapa Ibu---uhm, maaf nih, tapi kok ember sekali sih? Dan mereka berpapasan di toko emas? Wah, ibu banyak duit rupanya.

"Hei, Felix! Aku ngomong loh!" Tegurnya padaku yang kusadari bahwa aku melamun.

"Ha? Apa? Apa?"

"Menurutmu dia bakal suka, nggak?"

"Siapa?"

"Cewek ku lah!"

Aku seketika mendecak, "Ya yang namanya emas, mahal, cewek mana emang yang nggak suka"

"Tapi kan, Lix---"

"Kak!" Aku menghentakkan kuat blender ditangan, berusaha meredam emosi agar tidak melemparkannya dengan benda berat ini, "Kalo kesini cuma mau cerita cinta---perbucinan---apalah itu, mending pulang dah!"

"Woah, ngusir?"

"Udah tau, kok nanya?!"

Bagus, semoga teriakan ku tidak terdengar Bu Nika. Jika tidak, bisa-bisa aku dipecatnya sebagai keeper stand boba karena mengusir pelanggannya---yang aslinya menyebalkan seperti kak Chandra.

....

Aku baru saja memarkirkan motor tuaku di garasi sepulang kursus, lalu terdengar derap langkah kaki mendekat.

"Gimana tadi lesnya?"

Belum ada sepuluh detik usai mesin motor mati, dan aku belum naik ke rumah, Ibu sudah bertanya dengan gaya yang layaknya polisi.

"Mm, lancar. Felix cukup bisa mengingat dulu di sekolah pernah menerima teorinya juga" jawabku sesuai fakta.

"Nggak ada kesulitan?"

"Ada sih, Bu. Agak susah karena aku masih kaku pegang cursor nya. Juga, ngedit format perapihan paragraf agak sedikit lama, aku belum terbiasa"

Iya, wajar kata bapak yang punya tempat les tadi. Katanya masih awal, semua orang juga begitu mulanya. Kan ini baru permulaan dasar.

Kulihat Ibu tersenyum, lalu mengelus lembut puncak kepalaku, "Ibu bangga padamu, nak"

Seketika perasaan hangat menjalar ke dada kala tangan ibuku dengan lembut mengusap kepalaku penuh sayang. Aku merindukan ini sejak lama.

Semoga saja, setelah ini aku benar-benar menempuh jalan yang tepat untuk membanggakan orang tua.

____________________

TO BE CONTINUE
____________________

HIS CHRYSANTHEMUM'S RED PETALS✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang