Bab 11 Anak?

114 7 1
                                    

“Bagaimana wanita yang dikenalkan kemarin?” Tanya Dini, ibu Dion.

Dion menghela napas. Ia teringat perjanjian yang ia buat dengan Adisti malam itu.

“Jika kita sama-sama tidak bisa menolak, bagaimana kalau kita membuat perjanjian?” usul Dion akhirnya.

“Perjanjian?” tanya Adisti tidak mengerti.
Dion mengangguk. “Iya, kita tetap menyetujui perjodohan ini, tetapi ada hitam di atas putih. Kita buat perjanjian apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan selama pernikahan.”

Adisti terdiam sejenak. “Sampai kapan?” tanyanya.

“Aku tidak tahu.” Dion berharap Adisti menyetujui usulnya, sehingga ia bisa dengan mudah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Adisti saat ini.

Adisti diam, memikirkan setiap ucapan Dion. Jika menolak, tentu saja ia tidak tega pada kakeknya. Menerima perjanjian itu, sama saja membuka diri agar orang lain tahu hubungannya dengan Abimanyu.

Memikirkan hal itu membuat Adisti semakin pusing. Hingga akhirnya sebuah keputusan diambilnya dengan terpaksa.

“Baiklah! Tetapi aku tidak mau bersentuhan denganmu selama menikah,” ucap Adisti akhirnya.

Dion tidak menimpali ucapan Adisti. Ia terus menatap gadis yang memiliki aura gelap dengan saksama. Mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Sayangnya, ilmu Dion belum seberapa. Ia hanya bisa merasakan aura seseorang, tetapi tidak bisa melihat dan mencari tahu kebenarannya.

“Dia baik, Bu.” Hanya itu yang bisa Dion ucapkan. Memikirkan Adisti membuatnya lumayan berpikir keras. Pernikahan bukan hal yang main-main baginya.

“Apakah kalian cocok satu sama lain?” tanya Dini lagi. Wanita tua itu berbaring di atas tempat tidur dengan selang infus yang menancap di punggung tangan. Kesehatannya melemah beberapa hari ini memikirkan Dion yang tidak juga menikah di usianya sekarang.

“Alhamdulillah, cocok kok, Bu. Kami masih saling mengenal satu sama lain.” Dion mengelus punggung tangan ibunya yang bebas dari selang.

Dini mengangguk. Senang akhirnya Dion mau membuka hati. Ia ingat betul anaknya sangat terpukul saat kehilangan istri dan calon anak di waktu yang bersamaan. Ya, istri Dion meninggal saat hamil anak mereka.

“Lain waktu, ajaklah dia kemari, Nak.”
Dion hanya mengangguk sebagai jawaban. Diciumnya punggung tangan wanita yang telah memberi dukungan padanya selama ini. Wanita yang mulai sakit-sakitan.

“Ibu akan sangat bahagia jika bisa melihatmu menikah, Nak. Segerakan jika itu niat yang baik.”

Lagi-lagi Dion hanya mengangguk. Tidak mungkin ia memberitahu Ibunya bahwa Adisti memiliki masalah. Walaupun Dion belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, ia yakin Adisti sedang tidak baik-baik saja.

---
“Ah, Sayang. Kamu benar-benar luar biasa.” Adisti melenguh puas setelah percintaannya dengan Abimanyu mencapai puncak. Suaminya mampu memuaskan dirinya yang selalu haus belaian.

“Tentu saja. Aku bukan seperti manusia yang lemah, Sayang.” Abimanyu membelai pipi Adisti pelan. Rasanya ia selalu tidak puas bercinta dengan Adisti yang selalu liar dan menggairahkan saat bercinta.

“Aku percaya,” bisik Adisti. Tangan kanannya membelai dada Abimanyu yang memiliki rambut lebat. Ia menyukai Abimanyu karena fisiknya yang nyaris sempurna dan permainan di ranjang yang menggairahkan. Seolah tidak memiliki lelah barang satu menit saja.

Mereka kembali melakukan pergumulan dahsyat. Berkali-kali Abimanyu melenguh dan mendesah nikmat tanpa berpikir jika perbuatannya adalah salah.

Tiba-tiba suara pintu rumah Adisti diketuk kencang. Suara Kartilan terdengar nyaring memanggil nama Adisti.

Adisti dan Abimanyu menghentikan kegiatan mereka lalu saling berpandangan. Adisti bergerak cepat menghentikan pergumulan mereka. Segera ia memakai daster lalu mengenakan jaket untuk menutupi lekuk tubuhnya yang tidak memakai apa pun.

Sebelum membuka pintu, Adisti merapikan anak rambut yang mengganggu mata. Setelah memastikan penampilannya tidak mencurigakan, barulah ia membuka pintu.

Ceklek!

Tampak Kartilan menatap cucunya curiga. Samar ia mencium bau sangat harum dari rumah Adisti. Sejak beberapa hari yang lalu, Kartilan mencium bau harum dari rumahnya yang berada di sebelah kanan rumah Adisti. Bau harum menyengat seperti bunga melati dan kamboja.

“Ada apa, Mbah?” tanya Adisti mencoba bersikap tenang.

Kartilan melongok melihat isi rumah Adisti. Tidak ada apa pun yang mencurigakan di sana. Ia menghela napas, lalu bertanya, “Aku mencium baru harum akhir-akhir ini dari rumahmu. Apakah kamu tidak apa-apa?”

Adisti terperanjat. Mungkinkah Abimanyu sumber bau wangi itu? Pikir Adisti cemas.

“Bau harum?” tanya Adisti memastikan. Ia sedang mencari alasan yang tepat agar kakeknya percaya.

“Iya. Biasanya bau ini dari makhluk tidak kasatmata, alias bangsa demit.” Kartilan duduk di kursi yang berada di teras. Adisti mengikuti duduk di seberang.

“Gak ada, Mbah. Itu ... bau parfum Adisti. Ya, itu bau parfum terbaruku, Mbah.” Adisti bersorak senang telah menemukan jawaban yang tepat.

“Benarkah itu?” tanya Kartilan memastikan. Walaupun ada keraguan dari suaranya, ia mencoba percaya dengan ucapan cucunya.

“Benar, Mbah. Adisti suka bau harum itu, jadi sebelum tidur biasanya aku semprot ke seluruh kamar,” jawab Adisti tenang. Ia mulai bisa mengontrol dirinya setelah menemukan alasan yang tepat. Adisti merahasiakan keberadaan Abimanyu pada siapa pun.

Kartilan mengangguk-angguk. “Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa, Nduk.”

Kartilan beranjak dari tempat duduknya. Laki-laki tua berumur 60 tahun itu pulang, yang berjarak lima langkah saja dari rumah Adisti.

Adisti membuang napas lega. Segera ia masuk lalu mengunci pintu. Abimanyu telah berdiri di tengah pintu kamar dengan pandangan kesal.

“Lama sekali sih?” keluh Abimanyu. Ia meraih tubuh mungil Adisti ke dalam pelukan lalu menggendongnya.

“Maaf, Mbah Lan memang begitu.” Adisti mengalungkan tangan ke leher Abimanyu. Ia bisa mencium bau harum dari tubuh suaminya itu.

Abimanyu merebahkan Adisti di atas ranjang. Dengan kasar ia merobek daster dan memaksa istrinya itu melepas daster dari tubuhnya.

“Cepatlah, Sayang. Aku sudah tidak sabar.” Abimanyu sudah siap kembali bercinta. Ia merebahkan tubuh di atas ranjang sembari menunggu Adisti membuka baju.

“Kau dihukum. Puaskan aku, Baby,” bisik Abimanyu di telinga Adisti yang sudah berada di atas tubuhnya.

Adisti menuruti ucapan Abimanyu yang meminta dipuaskan. Hanya dirinya yang bisa melihat keberadaan suaminya itu. Karena Abimanyu bukanlah manusia.

Adisti tidak menyadari jika itu salah dan berdosa. Yang ia tahu, dirinya sudah menikah dan sah sah saja berhubungan badan dengan Abimanyu seperti beberapa waktu terakhir setelah mereka menikah di alam Abimanyu.

“Aku ingin segera memiliki anak darimu, Sayang.” Abimanyu terlentang di samping Adisti yang menutupi tubuh polosnya menggunakan selimut.

“Anak?”

“Ya, anak. Aku ingin anak darimu.”

Adisti hanya diam. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Menikah saja tidak terpikirkan olehnya, apalagi memiliki anak.

“Kamu tidak mau?” tanya Abimanyu saat melihat Adisti terus diam.

“Bukan begitu. Hanya saja aku belum siap mempunyai anak. Entah bagaimana aku merawatnya nanti.”

“Tenang saja. Anak kita nanti, biarlah dia berada di alamku karena hanya kita berdua dan bangsaku yang bisa melihatnya,” jelas Abimanyu meyakinkan Adisti. Tentu saja selama berhubungan ia selalu sengaja menanam benih pada Adisti.

“Entahlah. Aku belum memikirkannya.” Adisti merebahkan diri lalu memejamkan mata. Bercinta dengan Abimanyu membuatnya merasa kelelahan. Lagi pula, besok ia masih harus bekerja.

Abimanyu kembali memantrai Adisti, ia berharap wanita itu berubah pikiran dan mau mengandung anaknya. Sebelum pergi, ia mengecup kening wanitanya dengan lembut. Ia begitu mencintai Adisti dan tidak akan membiarkan wanita itu terpikat laki-laki lain.

“Selamat tidur, Sayang.”

---
Adisti berlari menuju ruang satpam untuk presensi masuk pabrik. Ia sedikit terlambat beberapa menit karena bangun terlalu siang.

“Kamu terlambat?” sapa Dion yang berada di belakang Adisti.

“I-iya, Pak. Saya bangun kesiangan.” Adisti menunduk sambil memainkan jemarinya. Ini pertama kali dirinya terlambat selama bekerja di pabrik.

Dion menatap Adisti saksama. “Sepulang bekerja ikut saya ke rumah. Ibu saya ingin bertemu. Langsung berangkat. Motor dititipkan di pabrik saja, besok saya jemput ke rumah.”

Dion segera berlalu sebelum Adisti menyahut. Wanita itu tampak kebingungan, bagaimana jika malam nanti Abimanyu datang dan melihatnya tidak di rumah?

PERNIKAHAN DUA ALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang