PROLOGUE

292 37 0
                                    

"Selamat datang di ruang penuh luka yang dimana kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan kebahagiaan didalamnya."







Disebuah sekolah bergengsi yang kebanyakan siswanya adalah manusia ber-uang, kita terpusat pada seorang gadis yang sedang melihat ke arah luar melewati jendela. Duduk tepat didepan jendela dengan tirai terbuka yang membuat wajahnya terlihat lebih cerah, namun gelap secara bersamaan.

Rok pendek dengan kaus kaki hitam yang tingginya mencapai lutut. Sepatu sneaker putih. Baju seragam berlengan pendek yang sekarang sudah tertutup sweater.

Tatapannya selalu kosong dan tajam. Dia terlihat seperti orang yang tak perduli dengan sekitarnya, namun diam-diam memata-matai seisi sekolah.

Mata elangnya tertuju pada beberapa murid yang sedang berada di lapangan. Mereka terlihat begitu menikmati pelajarannya. Tertawa riang dengan sahabat karibnya.

Tubuhnya tersentak. Dia terkejut begitu seorang gadis jatuh tersungkur di lapangan akibat olahraga lari nya.

Seisi kelas menatapnya aneh serta kebingungan. Merasa bahwa dirinya sempat menjadi tontonan sesaat, dia kembali duduk di kursinya dengan tenang dan mata yang senantiasa terus melihat ke luar jendela.

Dia senang, namun juga sedih secara bersamaan. Dia senang melihat betapa cerianya senyuman orang-orang seolah tak ada hari esok. Tapi dia juga sedih, sedih karena dirinya tidak bisa seperti mereka.

Tertawa lepas... Tersenyum lebar... Tidak. Dia tidak pernah melakukan itu sedari kecil. Mulutnya selalu bungkam. Tak banyak bicara dan hanya bisa tersenyum paksa. Menyedihkan. Tapi dia selalu melakukan itu seolah itu sudah menjadi kebiasaan baginya.

Tidak ada yang menyadari seberapa banyak luka didalam maupun diluar dirinya. Mereka terlalu fokus melihat apa yang hanya bisa dicapai oleh indera penglihatannya saja.

Lagipula siapa dia? Dia hanya seorang gadis tertutup, penuh rahasia yang enggan untuk memberitahu siapapun.

Mereka selalu bertanya. Tapi bukankah mereka hanya penasaran? Tidak ada rasa perduli yang tersirat dari tatapan mereka.

Menyeramkan, tidak suka bersosialisasi, cupu, penakut, lemah, semua orang menganggapnya seperti itu. Selalu menjauh dan menatap aneh dirinya seolah dia adalah monster besar yang menyeramkan.

Banyak yang tidak mereka tahu, tapi mereka selalu berbicara seolah mereka mengetahui semuanya.

Pendengaran si gadis cukup bagus. Dia bisa mendengar apapun yang orang lain bicarakan sekalipun mereka hanya berbisik. Bisa dibilang dia cukup cepat tanggap lebih dari manusia biasanya.



  "Heii! Heii! Bukankah dia tampan? Benar-benar seperti malaikat!" Ucap seorang siswi. Tidak. Dia bukan berbicara pada si gadis, melainkan pada seorang gadis lainnya yang duduk disebelahnya.

Si lawan bicara melihat foto yang ditunjukkan oleh temannya. Matanya berbinar begitu melihat seorang lelaki berparas tampan dengan tubuh kekarnya.

  "Hm! Hm! Kau benar. Lihat tatapan matanya yang tajam ini. Bulu matanya yang lentik dan wajahnya yang tampan bak seorang malaikat yang turun dari surga!!"

Si gadis tertawa sarkas. Malaikat? Mereka selalu berbicara seolah mereka tahu seperti apa itu wujud malaikat. Bahkan bagi dirinya yang tak percaya dengan malaikat merasa lucu mendengar pembicaraan mereka.

   "Kau bahkan tidak tahu seperti apa wujud dari malaikat yang kau sebutkan itu. Lucu sekali" Gumam si gadis pelan.

Manusia selalu bersikap seenaknya. Terkadang mereka lupa bahwa ada hati yang mungkin terluka karena mulut pedasnya.

Mungkin saja ada seseorang yang sedikit-sedikit menangis dan sedikit-sedikit menangis. Tapi bukankah orang seperti itu luar biasa? Dia bisa melampiaskan apa yang dia rasakan lewat tangisan itu.

   "Bahkan untuk menangis pun aku tak bisa...."


Continued



DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang