kisah raja berperut buncit yang membuang tahi sembarangan

14 3 6
                                    

Dulu sewaktu ayahnya masih hidup, Satria suka diajak ke kolong-kolong jembatan atau flyover dimana ada buku-buku bacaan gratis yang diperuntukan untuk masyarakat golongan dirinya. Majalah Bobo jadi bacaan favorit Satria, apalagi yang bertemakan sampah dan limbah. Entah sebab faktor dirinya yang tumbuh besar di lingkungan pembuangan atau sebab ia mengagumi pekerjaan sang ayah sebagai pengais botol dan gelas-gelas plastik.

“Butuh 100 tahun untuk plastik mengurai. Namun, jumlah sampah plastik semakin naik setiap harinya. Waktu penguraian yang terlalu lama dan jumlah plastik yang selalu bertambah dapat memunculkan banyak sekali dampak negatif. Barangkali, suatu hari kita bisa hidup bersisian dengan bukit-bukit sampah plastik.”

Satria membaca penggalan paragraf dari buku bertema lingkungan itu dengan nanar. Ia menutup buku, menyudahi kegiatan membaca, lantas kembali ke rumahnya. Sepanjang perjalanan pulang, penggalan paragraf itu terus terngiang di memori Satria. Langkah kaki Satria terhenti di depan sebuah gedung pencakar langit Jakarta. Sejak dulu Satria selalu bermimpi bisa mengajak ibu, ayah, dan adik perempuannya tinggal di lantai yang paling tinggi gedung tersebut. Mereka akan tidur di atas ranjang empuk, bukan tanah kotor yang dialasi kardus bekas mi instan; Mereka akan makan makanan empat sehat lima sempurna yang selalu dianjurkan oleh guru Satria di sekolah, bukannya makan nasi kering atau basi berbau busuk; Mereka nanti akan terlindungi dari panas, hujan, banjir, ataupun badai angin, tanpa takut rumahnya akan roboh karena tak lagi terbuat dari kardus, melainkan dari semen dan kaca-kaca tebal; Satria juga bisa melihat seluruh pemandangan Kota Jakarta dari atas sana. Barangkali ia bahkan bisa melihat temannya Edi yang tengah buang air, sebab jamban umum dekat rumahnya tidak punya atap.

Satria tertawa-tawa sendiri kala membayangkannya. Namun, penggalan paragraf yang ia baca dari buku tadi membuat tawanya terhenti. "Kalau nanti sampah makin banyak, berati nanti aku hanya bisa melihat pemandangan sampah dari atas gedung itu?" gumamnya. "Lalu apa bedanya dengan pemandangan yang biasa kulihat sehari-hari?"

Satria beranjak pulang ke rumahnya. Adiknya tengah bermain di kubangan air depan pintu rumah, senyum manis mengembang ketika atensinya menangkap presensi sang kakak. Satria berlari-lari kecil menghampiri adiknya, ia tarik ujung kaos bagian dalam yang dikenakan untuk membersihkan bercak-bercak noda di wajah adiknya. "Sudah makan, Dik?" Adik Satria mengangguk, lantas melanjutkan kegiatan bermainnya.

Remaja lelaki itu menjatuhkan bokongnya ke bangku panjang depan rumah, membiarkan atensinya menerawang memperhatikan sekitar. Truk-truk pengangkut sampah mengantre untuk mengosongkan bak-bak belakangnya, sedangkan bukit-bukit sampah semakin menjulang tinggi mengelilingi rumah Satria dan pengais sampah plastik lainnya. 'Barangkali, suatu hari kita bisa hidup bersisian dengan bukit-bukit sampah plastik'—lagi-lagi ia teringat akan penggalan kalimat itu, Satria menggeleng pelan mengeyahkan. Para pengais sampah plastik melewati rumahnya dengan berkarung-karung botol dan gelas plastik di punggungnya, beberapa dari mereka juga membawa kardus atau kaleng-kaleng. Satria segera berlari kala batang hidung ayahnya terlihat, anak lelaki itu segera meraih salah satu karung dari tangan ayahnya, lantas menyeretnya ke depan rumah.

Memilah dan menghitung gelas-gelas dan botol plastik sudah menjadi rutinitas Satria dan sang ayah di sore hari. Satria tidak pernah malu ataupun mengeluhi pekarjaan ayahnya yang hanya sebatas pengais plastik—selain ia tahu diri, Satria lebih berpikir bahwa pekerjaan ayahnya sesuatu hal yang keren dan mulia. Edi pastilah akan tertawa dan mengejek Satria bila mendengar pernyataan itu, teman yang tingginya hanya mencapai hidung Satria itu selalu berkata bahwa pekerjaan yang keren adalah menjadi tentara dan semua teman-temannya yang lain setuju dengan Edi. Biasanya, Satria akan memilih pulang dan bermain dengan sang adik bila Edi mulai asik membicarakan para tentara. Baik Edi maupun yang lainnya tak mengerti. Menurut Satria, pekerjaan kecil ayahnya sangat keren, karena sang ayah berani mendaki bukit-bukit sampah yang baunya sangat menusuk hidung, ayahnya bisa mengangkat berkarung-karung gelas dan botol plastik sendirian sambil menuruni bukit, dan yang paling Satria kagumi ialah sang ayah memiliki kontribusi dalam mengurangi jumlah sampah plastik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

istana kardus dan para ksatria plastikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang