"Apa itu artinya kamu terima lamaranku?"Kami saling menatap setelah bibir kami terlepas. Tanganku masih mengusap rahangnya dan mengangguk. Ciuman itu terjadi lagi.
"Makan si-"
Bi Karti menginterupsi kami. Aku memperbaiki posisi dudukku dengan cepat sambil menunduk malu.
"Maaf, Neng. Bibik cuma mau bilang kalau makan siang sudah siap."
"Ya, Bik. Makasih."
Setelah makan siang, Fabian mengajakku ke makam Ibu. Dia menyesal tidak bisa mendampingi saat Ibu pergi. Dia juga ingin melamarku di depan makam Ibu.
Berhadapan dengan makam Ibu, air mataku kembali menetes. Lagi-lagi aku merasa bersalah pada Ibu. Ibu terbaring di sini karena aku. Jika saja aku tidak bersama Hasbi, mungkin Ibu masih bersamaku. Mungkin aku masih bisa membahagiakan Ibu di masa tuanya.
Maafkan aku, Bu.
Ibu, Ibu yang bersamaku sejak Ayah meninggalkan kami karena penyakit liver. Ibu yang berjuang memenuhi kebutuhanku, menjagaku dan selalu berusaha menuruti semua keinginanku. Ibu yang selalu bertutur kata lembut, tidak pernah membentakku ataupun memarahiku. Pantas Ibu tidak bisa menerima perlakuan mantan mertuaku itu. Ibu pergi dengan jalan yang membuatku menyesal.
Maaf, Bu, maaf.
Sampai detik ini, aku masih belum ikhlas dengan kepergiannya.
Sebuah genggaman tangan menarikku dari kesedihanku. Fabian tersenyum, menarikku berdiri. Tangannya menghapus air mataku.
Tuhan, benarkah dia jodohku?
Jika benar, maka buat kami selalu bersama dalam kebahagiaan.
Sampai kami menua.
Selalu bersama.
Kami langsung pulang setelah dari makam. Baik aku maupun Fabian terkejut menemukan Hasbi yang berdiri di teras rumahku. Entah sudah berapa lama dia menunggu di sana. Jujur, aku prihatin dengan keadaannya.
Dulu, Hasbi sangat menjaga penampilannya. Tubuhnya yang dulu proposional sekarang mengurus. Rambutnya mulai memanjang dengan penuh jambang di rahangnya.
Turun dari mobil, Fabian langsung menarikku mendekat. Menjaga jarak dengan Hasbi. Aku bisa melihat Hasbi menatapku kecewa. Sorot matanya begitu terluka.
"Aku ingin bicara sebentar, Leya."
Aku mematung.
"Masuk," perintah Fabian, mendorong tubuhku.
"Leya, please. Dengarkan aku sebentar saja."
Kakiku berhenti melangkah, berbalik menatap Hasbi.
"Masuk, Lily."
"Sebentar saja, Leya."
Aku menatap Hasbi dan Fabian bergantian.
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Mas?"
Pertanyaanku membuat Fabian berdecak kesal sedangkan Hasbi menghembuskan napas lega.
"Aku ingin bicara empat mata denganmu."
"Kalau mau ngomong ya ngomong aja langsung sekarang," sela Fabian geram.
"Gue nggak perlu izin dari lo."
"Perlu. Dia calon istri gue dan kami akan segera menikah."
Hasbi tampak tercengang tapi buru-buru menutupinya.
"Kenapa? Nyesel lo udah nyakiti dia?"
Hasbi menyesal?
Perlukah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine (End)
Любовные романыBertemu mantan bukanlah hal yang ku inginkan saat ini. Mengapa harus bertemu lagi dengannya sekarang? Lebih tepatnya, mengapa kami baru bertemu lagi? Seketika aku ketakutan. Takut, rasa yang ku kubur dalam-dalam kembali muncul di permukaan dan memb...