"Sekolah tinggal setengah tahun aja, ada murid pindahan baru?"
Ruang kelas itu riuh ramai. Hari ini pelajaran jam pertama terlambat dari jadwal yang seharusnya, dan beredar rumor bahwa kelas ini akan kedatangan murid pindahan.
"Katanya ada tiga orang, dan pindahan dari luar negeri. Matanya berwarna biru."
"Tiga-tiganya pindah di kelas ini? Mana mungkin? Ini sungguh gila!"
"Kan kelas kita adalah satu-satunya kelas dengan murid bermasalah paling banyak. Di kelas kita ada empat bangku kosong, kau lupa?" bisik-bisik murid lainnya.
Entah bagaimana caranya berita itu bisa bocor untuk yang pertama kalinya dulu, lantas menyebar dengan cepat bak api melalap tumpukan ranting. Bahkan kelas lain juga sudah mendengar dan sangat penasaran karena berita murid baru yang super unik ini.
Tak lama setelah itu, anak-anak di kelas sibuk berlarian ke kursi masing-masing karena guru yang akhirnya datang juga. Irish menutup bukunya, menaruh di kolong meja dan memberikan atensi ke depan. Gadis cantik yang cukup pendiam itu selalu seperti itu. Pagi-pagi sekali sudah datang, lantas membuka bukunya, mempelajari rangkuman pelajaran di pertemuan sebelumnya seraya menunggu bel masuk berdentang.
Hampir seluruh orang di kelas itu ber-woah ria begitu melihat tiga orang pria dengan tinggi badan luar biasa, dan memiliki warna mata yang biru, masuk ke dalam kelas, berjalan di belakang sang bu guru. Sesuai dengan rumor yang beredar—yang kini tentunya sudah terpatahkan menjadi fakta. Perkiraan berikutnya adalah, satu sekolah pasti akan sangat heboh selepas ini.
Jenni, teman sebangku Irish, tak bisa menutup mulutnya, dia merasa sangat kagum. Mata Irish sendiri melebar, terkagum luar biasa. Ini pertama kalinya dia bertemu langsung dengan orang yang memiliki warna iris mata selain hitam.
"Hari ini kita kedatangan murid baru pindahan dari Norwegia. Silakan perkenalkan diri kalian masing-masing," ujar lembut guru wanita dengan rambut yang disanggul itu—menambah kesan kalem padanya.
Laki-laki yang berdiri di depan kelas itu kebingungan saat suasana kelas menjadi hening, dan semua mata tertuju pada mereka. Dua di antaranya saling sikut, dan satu sisanya, yang paling tampan sendiri hanya terdiam dengan tatapan yang tak tertarik.
"Kau saja yang mem ... perkenalkan ... diri? Ah iya, kau saja," bisik yang berambut ikal pada temannya yang memiliki rambut pendek-pendek tipis—bisa dikatakan semi botak.
"Harus mengatakan apa? Maksudnya, sebut identitas?" jawabnya dengan suara tak kalah pelan, tapi sebenarnya terdengar jelas di seluruh ruangan karena suasana yang hening.
"I-iya! Kita kan sudah belajar tentang ini sebelumnya."
Para perempuan menikmati pemandangan itu, tiga pria tampan yang dua di antaranya sibuk berdebat, sedang satunya tak acuh. Sedang para pria tak berkomentar karena diam-diam juga merasa kagum dengan mencoloknya mereka bertiga, terutama di bagian manik yang sangat unik itu.
Yang berambut botak berdehem singkat pada akhirnya, mengarahkan pandangan ke puluhan anak di depannya sana.
"Namaku Gura Sunnon dan bisa dipanggil Gura?" ujarnya tergagu tipis ragu seraya melihat ke arah temannya, seakan meminta pendapat apakah ucapannya sudah tepat atau belum. Temannya mendukung, menganggukkan kepala cepat dan mengarahkan tangannya ke orang-orang di depannya sana, menyuruh Gura dengan bahasa isyarat agar meneruskan kalimatnya.
"Aku pindah ke Indonesia karena ikut tinggal dengan ibu yang tanah kelahirannya di sini. Senang bertemu dengan kalian," lanjut Gura terlihat lebih percaya diri dan lancar. Senyum bangga terukir setelahnya, bersamaan dengan tepuk tangan yang terdengar sangat riuh sekali di kelas itu.
"Namaku Gala Sunnon, bisa dipanggil Gala. Aku adalah kembaran tidak identik Gura. Senang bertemu dengan kalian," ucap yang berambut ikal dengan riang. Tepuk tangan kembali terdengar. Lepas itu, manik mereka secara otomatis terjatuh pada satu laki-laki yang tersisa, membuat yang ditatap segera membuka mulutnya, bersiap memperkenalkan diri seperti yang dilakukan dua temannya.
"Aku Efron Sunnon."
Suasana mendadak hening—hening yang sedikit aneh. Tiga detik, empat detik, hingga sepuluh detik, itu adalah kelenggangan yang cukup lama. Efron menatap sedikit bingung dengan suasana yang tercipta sekarang. Sebenarnya, mereka semua menunggu jika saja ada perkataan lanjutan dari Efron. Karena ya, hei, apa memang sudah selesai? Begitu saja?
Gala dan Gura yang awalnya juga ikut-ikutan bingung, kini sadar bahwa Efron memang telah menyudahi kalimatnya. Jadi dengan agak canggung, mereka berdua bertepuk tangan terlebih dahulu, membuat isyarat halus pada calon teman-teman sekelasnya untuk mengikuti tepuk tangan keduanya.
Jadi, karena semuanya sekarang tahu jika Efron ternyata memang sudah selesai dengan sesi perkenalannya melalui kode dari Gala-Gura, mereka akhirnya bertepuk tangan kembali, dengan sangat meriah, lima kali lebih meriah dari pada sebelumnya karena ternyata ada banyak murid perempuan yang berjubel di luar kelas, melihat sesi perkenalan murid baru itu di balik jendela kaca yang terbuka. Mereka ikut bertepuk tangan yang akhirnya menyadarkan guru wanita itu bahwa murid kelas lain sedang begerombol di luar kelasnya.
Bu guru hendak melangkah keluar kelas, memarahi mereka saat para siswi itu sudah berhamburan sendiri, berlari ke kelas masing-masing, takut kena omelan, atau paling parah hukuman. Guru itu menggelengkan kepalanya, tak mengerti lagi dengan tingkah anak remaja zaman sekarang.
"Kalian ini bersaudara ya? Kok sama-sama Sunnon-nya?" celetuk salah satu siswi yang segera disetujui oleh sebagian besar teman-temannya karena mempunyai pertanyaan yang sama.
"Efron adalah sepupu kami," jawab Gura dengan senyumannya yang membuat sepasang maniknya tenggelam menyabit. Semua orang termangut-mangut.
"Baiklah, kalian bisa duduk di kursi yang kosong di sebelah sana," ujar Bu Guru memberi titah, menujuk ke arah dua pasang bangku yang kosong di deret belakang sendiri. Ketiganya mengangguk dengan hormat, dan seraya berjalan, mereka berdebat singkat siapa yang duduk di sana, siapa yang duduk di situ.
Akhirnya Efron duduk sendirian di tepi kanan, di belakang Jenni tepat. Gura dan Gala berakhir sebangku setelah sibuk berdebat ingin sebangku dengan Efron. Keduanya masih saling memunggungi, kesal satu sama lain.
"Mata mereka bertiga berwarna biru," bisik Jenni pada Irish seraya curi-curi pandang ke belakang. Alis Irish naik sebelah, satu jempolnya ia arahkan ke belakang seraya berujar, "Yang itu hijau."
Efron yang masih bisa mendengar bisik-bisik perempuan di depannya ini, mendelik tipis, terpaku singkat. Ia tak salah dengar, kan?
"Ah, mana ada. Tiga-tiganya biru," jawab Jenni tak acuh, tak terlalu menganggap serius perkataan Irish.
Merasa semakin aneh dengan pendapat dan respons Jenni, akhirnya Irish memutar badannya ke belakang, terang-terangan menghadap pada Efron yang menyenderkan punggungnya santai ke kursi, meski dengan mata yang masih membesar, terlebih saat Irish berkontak mata langsung dengannya.
"Warna matanya hijau, kok. Emerald," gumam Irish sendiri masih belum menerima kalimat Jenni.
Jenni yang mendengar itu akhirnya ikut memutar badannya, melihat ke arah Efron.
"Itu biru, Irish, kau ini buta warna apa bagaimana? Eh, hai Efron, salam kenal ya, aku Jenni," ucap Jenni ramah. Efron mengerjapkan matanya cepat, berusaha mengendalikan dirinya yang masih dilanda oleh efek kejut lumayan besar.
"Ah, iya, salam kenal," jawabnya seadanya. Jenni kembali menghadap ke depan. Tidak dengan Irish. Alisnya mengkerut, dan ia meniliki Efron dengan serius.
"Tapi kan, warna matanya sungguhan hijau emerald," gumam Irish tak bisa melepaskan pandangannya dari manik Efron.
Si pemilik manik berdehem singkat, salah tingkah ditatap terus menerus seperti itu. Karena itu pula, Irish akhirnya kembali menghadap ke depan meski rasa penasarannya belum terbayarkan.
Efron mengerutkan alisnya dalam-dalam. Bagaimana mungkin gadis bangku depannya ini bisa melihat warna asli matanya?
... Rizky W, 1/09/21. Revisi 15/16/22 ...
... 'Manik Emerald Itu' selesai ...
KAMU SEDANG MEMBACA
JAWEEY
FantasyManik emerald itu ... membawaku ke dunianya-dalam arti yang sesungguhnya, Dunia penuh bunga, penuh serbuk-serbuk berkilauan yang terbang dan terasa magis. Manik emerald itu ... sanggup menarikku dari semua beban yang tengah menggelayut. Membuat tubu...