7. Rest Area 456

1.2K 170 49
                                    

Canggung adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan keadaan mereka dalam perjalanan pulang. 15 jam waktu yang harus mereka tempuh untuk kembali ke Jakarta, namun saat ini baru 1 jam berlalu semenjak mereka meninggalkan Pulau Tabuhan.

Seulgi berdehem pelan untuk menarik perhatian Irene yang sedang fokus mengemudi, "Kenapa lo? Aus?" Tanya Irene.

"Laper sih," Jawab Seulgi. "Kita mau makan di mana?"

Keduanya memang belum sarapan. Mereka sibuk menata isi pikiran masing-masing, sibuk menenangkan debaran jantung, juga sibuk packing barang-barang. Tidak tahu apa yang harus mereka bicarakan. Karena jujur saja, bagaimana memulai percakapan dengan teman perjalananmu selama dua minggu yang menghabiskan malam terakhir dengan bercinta? Haruskah salah satu di antara mereka mengucapkan terima kasih? Jika iya, bagaimana? 'Hai, terima kasih sudah memberikan orgasme terbaik tadi malam, dan sekarang saatnya kita pulang', begitu?

Irene dan Seulgi bukan tipe perempuan yang gemar melakukan one night stand atau penganut friend with benefits. Mereka menghargai komitmen dan percaya hubungan yang baik harus dimulai dengan baik juga.

"Nasi tempong aja kali ya?" Ujar Irene setelah beberapa saat.

"Sambelnya pedes anjir!" Keluh Seulgi.

"Ya nggak usah pake sambel."

"Tapi kurang nikmat kalo nggak pake sambel."

"Ribet lo."

Seulgi mendengus, "Ya udah. Nasi tempong deh."

"Kalo sama lo jadinya nasi rempong."

"Ini gue udah mau loh..."

Irene tersenyum kecil, "Ya."

Mereka tidak mengobrol banyak, tapi setidaknya kecanggungan di antara mereka sedikit mencair. Seulgi menyetel radio dan mencari-cari stasiun yang pas. Cinta satu malam, oh indahnya, cinta satu malam buatku melayang... Tiba-tiba mengalun lagu dangdut yang seolah menyindir mereka.

"Apaan sih? Nggak banget lagunya!" Dengus Irene sebal.

"Kita tuh harus menghargai karya lokal, Rene. Dangdut is the music of my country." Goda Seulgi.

Walau satu malam, akan selalu ku kenang, selama-lamanya...

"Gi!" Irene mendelik sinis dan tanpa kompromi mematikan radionya.

"Kenapa sih? Sensi amat!" Seulgi mendengus kasar. "Lo kebanyakan dengerin lagu barat apa k-pop, ya? Sampe anti banget sama dangdut."

"Nggak gitu, anjir!" Gusar Irene.

"Ya terus kenapa?"

"Lo nggak dengerin liriknya tadi?!"

"Kenapa sama liriknya emang?"

"Pikir aja sendiri!"

"Apa sih? Cinta satu malam? Kenapa sama –" Seulgi terdiam, "Oh..." Mukanya jadi memerah.

Dia meliriknya sekilas. Bisa-bisanya dia lupa, bangsat! Batin Irene kesal.

"Mau ngomongin itu nggak?" Tawar Seulgi ragu-ragu.

"Nggak. Gue laper." Tolak Irene judes. Dia berhenti di warung tenda yang bertuliskan 'Sego Tempong' di pinggir jalan. Dia mematikan mesin mobilnya lalu melepaskan sabuk pengamannya. Saat dia akan membuka pintu, Seulgi menahan tangannya. "Apaan sih?"

"Eh, anu, Rene, itu..."

"Apa? Kalo ngomong yang jelas!"

"Leher lo banyak merah-merah." Seulgi memberitahunya pelan. "Maaf."

NebengersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang