Saklar Emosi (2)

31 1 0
                                    

Dahulu sekali, aku pernah menjadi pusat perhatian karena suaraku dipuji oleh guru seni. Kepercayaan diriku meningkat drastis hingga aku memberanikan diri masuk grup paduan suara. Itu momen langka dan amat singkat bagiku karena setelah beberapa kali pertemuan, aku digantikan oleh orang lain. Alasannya? Ada anak lebih hebat dariku.

Aku memang tidak berbakat.

Aku tidak punya kelebihan apapun sejak awal. Cantik tidak, pintarpun tidak. Orangtuaku saja tidak pernah memujiku cantik atau menaruh harapan dengan prestasiku. Bagi mereka, asal aku tidak membuat masalah saja sudah cukup. Prinsip yang sama juga kuterapkan dalam hidupku. Tanpa ekspektasi, hanya melewati hari-hari yang monoton ini. Menyaksikan orang lain yang lebih pintar, cantik, atau berbakat mendapat pujian serta pengakuan, seraya terus merapal mantra yang sama: Jangan rasakan, jangan pedulikan. Itu dunia mereka, bukan duniamu.

Aku kira mantra tersebut akan bertahan selamanya. Namun gadis itu, Maya, mencoba mengguncang zona nyamanku ini.

"Hei, kenapa kalian tidak menunjuk Nanda saja? Suaranya bagus lho!"

Saat itu, kelas sedang heboh berdebat tentang siapa pemegang posisi penyanyi di drama musikal nanti. Aku yang sedang mendengarkan musik langsung menegakkan kepala. Astaga, Maya! Apa yang kau lakukan? Lihat, semua orang menatapku karenamu!

Sejurus mereka nyengir dan terkikik, berpikir Maya sedang bergurau. Tapi nyatanya mereka tetap mendukung saran tersebut—entah penasaran atau sekadar iseng. Mereka menyorakkan namaku dengan keras, "Nanda! Nanda! Nanda!"

Sial. Aku berharap untuk tenggelam saja ke dalam ubin tempatku berpijak sekarang.

Aku melempar tatapan kesal kepada Maya. Namun gadis itu malah membalas dengan senyuman tertulus yang pernah kulihat. "Ayolah, kamu pasti bisa."

Aku menatap sekeliling, sadar tidak ada pilihan lain. Aku akhirnya memberanikan diri menyanyikan lirik yang kuingat dari drama musikal kami.

"Somewhere over the rainbow~
Way up high
There's a land that I heard of
Once in a lullaby~"

Baik-bait bernada pun meluncur. Tanpa sadar aku menyanyikan lagu tersebut separuhnya—sebelum tenggorokanku tercekat akibat rasa malu. Ada jeda sepersekian detik sampai seseorang bertepuk tangan, memicu tepukan berantai yang bergemuruh di penjuru kelas.

"Astaga, suara Nanda bagus sekali!"

"Pantas saja dia pendiam. Ternyata demi menjaga suara emasnya."

"Mungkin inilah yang disebut 'diam-diam menghanyutkan'."

Pujian demi pujian kuterima. Ada perasaan menggelitik yang merayapi wajahku saat itu, membuatku spontan tersenyum. Terasa malu, tetapi tidak memalukan. Bagaimana menyebutnya ya?

"Sudah kubilang dia bisa," timpal Maya menambah keriuhan. "Dia bahkan sudah hafal lagu musikal 'The Wizard of Oz' sebelum kita latihan. Siapa lagi kandidat yang lebih pantas darinya?"

Di kejauhan, beberapa siswi hanya menatap dengan sorotan tajam.

***

Aku seharusnya tahu bahwa keriuhan tadi tak lebih dari euforia sesaat, yang dapat lenyap dalam sekejap mata seakan tidak pernah terjadi.

Sepulang sekolah, aku mendapati isi lokerku berantakan. Aku menatap sekitar, menduga-duga siapa pelakunya. Aku bahkan tidak perlu bertanya karena beberapa siswi menanggapi kebingunganku dengan wajah mengejek. Detik itu juga aku mengerti. Ada oknum yang kesal karena aku, si murid yang kehadirannya antara ada dan tiada, dengan lancangnya mengambil ketenaran yang (seharusnya) mereka dapatkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BaurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang