3 - Sang penenang

62 6 0
                                    

Bara turun dari motornya setelah sampai tujuan. Matanya menelisik sekitar, sampai akhirnya ia menemukan seorang gadis dengan rambut setengah basah terlihat sedang duduk sendirian di bebatuan pinggir sungai. Ya, itu Rossa. Tepat di bawah matahari seperti sedang berjemur.

Bara tersenyum lega. Ia berjalan menghampiri Rossa yang sepertinya masih tak menyadari kehadirannya. Setelah semakin dekat, senyum leganya kembali menjadi raut cemas setelah melihat seragam basah dan kotor di balik cardigan yang Rossa kenakan.

Bara semakin merasa bersalah melihat raut mendung di wajah Rossa. Ia duduk di samping Rossa dan langsung merangkul bahu cewek itu agar bersandar di dadanya. "Maaf ya, aku telat lagi."

Rossa tersenyum dalam diam. "Bukan salah kamu. Justru kamu datang di waktu yang gak tepat, aku masih belum selesai padahal."

Entah mengapa, mendengarnya membuat Bara ingin sekali memeluk kekasihnya ini. Kata-katanya seolah menusuk hatinya dengan penuh penyesalan dan rasa bersalah.

"Jangan kayak gini terus, stop bikin aku khawatir. Kamu bikin aku merasa gagal jadi pacar yang baik."

Rossa menyembunyikan kepalanya dalam dekapan Bara. Ingin rasanya ia menangis dan mengadu pada Bara, tapi sayangnya ia tidak selemah itu.

"Kamu udah cukup jadi pacar yang baik buat aku, jangan pernah merasa kurang, ya?"

Bara memeluk erat Rossa. Ia sungguh tak kuasa mendengar setiap ucapan Rossa dengan suara sedikit serak yang sudah di yakini pasti cewek itu tengah menahan tangis. "Nangis aja, jangan di tahan. Aku gak liat kok,"

Mendengarnya malah membuat Rossa tertawa. Cowok ini sungguh pintar menghilangkan kesedihannya dengan cepat.

Rossa memejamkan matanya, menikmati hangat pelukan Bara yang sudah lama tak di rasakannya sejak ujian sekolah yang menyibukkan mereka. Jujur, ia merindukan Bara. Cowok itu terlalu sibuk hingga hampir tak ada waktu untuknya.

Cukup lama mereka berpelukan, Rossa akhirnya melepaskannya dan hendak pergi ke tengah sungai. Namun Bara refleks mencegahnya dan menarik tangannya lembut. Rossa memekik tanpa sadar, membuat Bara terkejut dan langsung menghampirinya.

"Buka jaket kamu. Aku mau liat tangan kamu,"

Rossa merutuki kebodohannya, dengan ragu ia pun melepas cardigan yang sejak tadi di gunakannya untuk menutupi seragam kotornya juga lukanya.

Mata Bara terbelalak saat melihat betapa kacaunya Rossa saat ini. Pantas saja cewek itu tidak pulang dan membohonginya agar mereka tidak bertemu.

Seragam Rossa basah kuyup dan kotor, bahkan bagian lengannya pun ada yang sobek sedikit. Dan yang membuat Bara menjadi murka adalah luka melepuh seperti terkena air panas di tangan Rossa, juga beberapa luka di tubuhnya. Rasa marah dan bersalah semakin menyelimutinya. Ia benar-benar lalai.

"Ini cuma ketumpahan kuah kok, Bar. Aku gak sengaja nabrak orang jadinya tumpah, aku yang salah kok. Beneran, aku gak bohong." Ucap Rossa selembut mungkin berusaha meredam emosi Bara.

Bara memegang tangan Rossa hati-hati, ia menatap Rossa dengan tatapan sulit di artikan. "Jangan nutupin apapun lagi, Ros. Aku gak bodoh. Apa yang mereka lakuin sampe kamu basah kuyup dan luka-luka kayak gini? Jangan bilang kamu jatuh atau semacamnya, aku gak akan percaya! Jawab yang jujur."

Rossa tersenyum berusaha meyakinkan Bara. "Aku emang jatuh Bar, aku tadi gak sengaja kepleset disin-"

"Jawab jujur atau aku kasih pelajaran mereka semua satu persatu!"

Rossa menelan ludahnya susah payah. Bahaya jika Bara sudah mengancam seperti ini, cowok itu tidak pernah main-main dengan ucapannya. "Aku jelasin, tapi kamu harus tenang. Jangan emosi kayak gini, ayo duduk dulu."

Bara menurut. Mereka kembali duduk di tempat semula dengan suasana penuh intimidasi. "Mereka minta aku putus sama kamu."

"Lagi?" tanya Bara seperti sudah menduga sebelumnya. Rossa mengangguk. "Gila ya, pada ngeyel banget sih. Gak ada kapoknya mereka udah aku hukum berkali-kali. Kamu jangan pernah turutin apa mau mereka, ya? Mereka gak berhak nentuin hubungan kita."

Rossa tersenyum mendengarnya. Ternyata cinta cowok itu lebih besar dari dugaannya, bahkan kini raut wajahnya benar-benar terlihat dongkol seperti sudah jengah dengan kelakuan cewek-cewek fanatik yang mengejarnya itu.

"Aku tau, Bar. Makanya aku lebih milih ngalah aja, aku gak segampang itu nyerah sama mereka. Apalagi ngorbanin perasaan kita? Aku gak setakut itu sama mereka."

Bara menatap Rossa penuh haru. Ia benar-benar bangga mempunyai kekasih sekuat Rossa. "Keren banget sih, cewek gue." Ucap Bara sambil mencubit gemas pipi Rossa, sudah kebiasaannya.

"Aduh aduh, sakit Bar! Coba deh sekali-kali gantian pipimu aku cubit, biar tau rasanya." Dan Rossa benar-benar mencubitnya meluapkan kekesalannya.

Namun Bara malah tertawa menikmatinya. Secepat itulah mereka melupakan rasa sakit penuh amarah sebelumnya, dan lagi-lagi itu semua karna Bara. Cowok itu benar-benar kebahagiaan Rossa yang sesungguhnya.

***

Pagi ini Rossa dan Bara berangkat bersama, dengan tangan bergandengan. Kali ini, Bara tidak akan melepaskan cewek ini sendirian lagi. Ia akan mengusahakan meluangkan waktunya untuk Rossa, dan tentunya ia juga harus menghukum para pembully Rossa kemarin.

"Hari ini pokoknya kamu harus ikut aku kemanapun aku pergi, setelah itu gantian aku ikut kamu kemanapun. Kamu gak boleh sendirian lagi." Ucap Bara menggebu membuat Rossa tertawa.

"Apa sih, Bar? Jangan segitunya ih, kalo kamu ada rapat osis lagi gimana? Trus kalo aku mau ke toilet masa kamu harus ikut?"

"Ya iyalah, aku tungguin kamu depan toilet. Kalo ada apa-apa sama kamu pasti aku denger dari luar, aku bakalan masuk gak perduli sekalipun itu toilet cewek. Dan kalo aku ada rapat osis kamu juga harus ikut, tungguin aku di dalem. Gak akan ada yang berani bantah, aku 'kan ketuanya."

Rossa tersenyum sumringah. Bara benar-benar memperlakukannya dengan baik. Memang sepertinya hanya Bara yang bisa mengerti dirinya, dan bahkan yang selalu ada untuknya. Rossa harap, ia tidak akan kehilangan cowok kesayangannya ini.

"Udah, ayok. Senyum-senyum mulu dari tadi, aku ganteng banget emang?"

Rossa tertawa renyah. Tawa merdu dengan suara khas serak basahnya yang menjadi salah satu daya tarik Rossa. Tawa yang membuat Bara jatuh cinta dan terpikat.

Mungkin siapapun yang mendengarnya pun merasakan hal yang sama seperti Bara. Namun cukup di sayangkan karna pemilik tawa itu adalah Rossa, cewek culun yang selalu di pandang jijik.

"Pede banget sih kamu Bar, untung beneran ganteng."

Bara ikut tertawa. "Jelas dong, pacarnya Rossa gitu. Eh, bentar, kita ke ruang guru dulu."

"Bar, udah. Kan aku udah bilang, gak usah di perpanjang lagi. Lagian aku juga gak kenapa-napa, aku gak mau ada masalah lagi."

"Gak bisa, Ros. Mau sampe kapan kamu diemin mereka terus? Selama ini aku cukup sabra buat gak laporin mereka ke guru, tapi kali ini kesabaran aku udah abis. Mereka harus di hukum."

Rossa tersenyum getir. "Tanpa kamu kasih tahupun, semua guru juga udah tahu, Bar. Dan apa yang mereka lakuin? Mereka cuma diem dan nutupin semuanya hanya karna uang. Di dunia ini, yang miskin akan tetap kalah, Bar."

Bara membenarkannya. Di manapun sama saja, semua akan tunduk hanya dengan uang. "Tapi kali ini, aku akan pastikan mereka di hukum. Aku juga bisa pake uang aku untuk membenarkan keadilan, kalo emang itu harus. Kali ini, aku gak akan bikin kamu ngalah lagi."

Bara menarik Rossa menuju ruang guru dengan pandangan menajam pada semua orang yang menatap keduanya. Baru kali ini mereka merasakan aura mencengkam dari Bara. Sudah bisa di pastikan sebentar lagi pasti ada kejadian seru.

***

Bantu share dongg

Tinggalin komen + Votenya dongg

Call Me RossaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang