Dare tiga puluh sembilan

162 10 0
                                    

°°°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

Diam-diam Zehra memperhatikan tetangganya itu tengah merenung seorang diri. Bukan sekali melainkan berulang kali sudah hampir dua Minggu sejak kabar meninggalnya Giska. Dia tidak enak mendekati Alvin lagi dia pikir lelaki butuh waktu sendiri. Berbekal sebungkus roti selai strawberry dia mendekat menuju pinggir lapangan dimana lelaki itu duduk seorang diri.

"Tuhan lebih sayang sama dia, sekarang dia gak perlu nahan sakit lagi." Kata Zehra suaranya memelan menatap hampa lapangan luar itu banyak orang yang tengah bermain bola di sana. Alvin membuang muka, mengingat Giska begitu menyakitkan jika saja mereka memiliki waktu lebih banyak lagi mungkin dia akan menggunakan meluangkan waktunya untuk Giska.

"Lo udah makan belum? Roti terenak, nih?" Zehra menyodorkan sebungkus roti itu pada lengan Alvin tanpa menunggu sang empu menjawab. Alvin menoleh. Gadis itu tersenyum kecil. Hening menyelimuti mereka.

"Tunggu. Ada waktu gak? Gue punya cara biar Lo gak sedih lagi?" Zehra kembali membuka suara memikirkan hal yang mungkin sang teman lakukan. Bukan lagi soal perasaan, Zehra hanya ingin menghibur mengingat Alvin selalu menghiburnya saat dirinya sedih. Bukan itu gunanya teman?

"Apa?" Alvin beranjak dari duduk. Zehra ikut berdiri.

"Lo harus dateng gue tunggu di halte biasa jam sembilan," ujar Zehra tersenyum kecil. Alvin menganggukkan kepalanya lalu pergi biasa dia akan pergi ke perpustakaan setelah ini.

•••

Dua motor sport melaju memasuki halaman markas bahkan rumah itu sudah mereka anggap sebagai rumah kedua. Banyak hal yang mereka lewati termasuk kenangan tentang Gavin. Arlon dan Zidan memasuki markas berbarengan nampak empat motor lainnya terparkir di depan markas itu artinya markas sedang ramai.

"Dimana? Tanding lagi? Ogah, gue mah!"

"Anj*r Lon. Di kira cemen kita gak ikut tanding, elah..."

Pembicaraan keduanya seketika berhenti setelah membuka pintu kayu usang itu menampakan seorang pria patu baya bahkan wajahnya nampak awet muda. "Gin---"

"Pih?" Arlon menatap malas orang tuanya. Mengejutkan melihat ayahnya sendiri tengah bermain kartu bersama teman-teman selayaknya anak muda.

"Lon. Udah pulang kamu!" Sambut sang ayah sudah berada di depan ruangan tempat mereka biasa berkumpul bersama empat anggota lain sedang memegangi kartu mereka masing-masing. Arlon menghela napas dia tau jelas, pasti ada terjadi lagi pertengkaran sehingga sang ayah pergi dari rumah.

"Bokap lo seru juga. Andai bapak gue kaya bapak lon," bisik Aska sedari tadi berfokus memainkan kartu. Arlon pergi menuju lemari kayu yang tak jauh dari sana mengambil segelas air minum dari botol air mineral besar.

"Lon. Pipih bawain makanan di kresek sisa temen-temenmu udah di bagi-bagi ... " Kata pria paru baya itu memilih kartunya sembari melemparkan di antara tumpukan lainnya. Arlon segera menuju kresek putih besar, setidaknya ayahnya tidak pernah melupakan makanan.

ZERLON [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang