Aku melirik jam besar di dinding ruang gawat darurat puskesmas ini. Jam 23.30. Hampir tengah malam. Udara dingin menggigit walau aku sudah berbalut jaket. Hujan gerimis sekarang yang setia menemani malam hari setelah hujan lebat berpetir dari tadi sore.
Kutatap Justin yang terbaring di kasur perawatan. Infus terpasang dan tangannya beset-beset. Lengan bajunya terkoyak. Kakinya pun luka. Justin menatap jauh ke luar jendela. Walau pemandangan yang ada hanyalah hitamnya malam." Novia Maharani.. sebenarnya kamulah malaikat itu." Tiba-tiba Justin bicara.
Aku tau apa maksudnya. Tapi aku sudah kepalang dirundung rasa bersalah. Seolah semua kesialan dan musibah ini berpangkal dari tanganku yang telah mengetikkan cerita dengan tokoh utama berkarakter hampir 100 persen mirip dengan Justin.
"Aku mengkhayalkanmu piece by piece... Detil demi detil.. dan tiba-tiba kamu nyata. Aku bisa apa selain diam....Kamu nyata tapi fana. Tak mungkin kumiliki."
Aku tertunduk sesaat lalu menghela napas, mencari kekuatan untuk mengangkat daguku.
" Aku sungguh minta maaf atas semua yang terjadi. Aku percaya ini semua sudah kehendak-Nya. Aku nggak akan nulis lagi. "
Kabur sudah pandanganku oleh airmata. Justin diam untuk waktu yang cukup lama. Namun jemarinya menghapus airmata yang meleleh di pipiku.
" Aku nggak apa-apa kok. Jangan selalu menyalahkan dirimu atas apa yang terjadi padaku. Bukan salahmu. "
" Aku nggak akan nulis lagi.
" Bisikku.
" Nggak usah gitu. Bakatmu ada di situ. Jangan disia-siakan. "Justin mengusap kepalaku dengan tangan kanannya yg bebas jarum infus.
" Aku jatuh begini pun akibat kecerobohanku sendiri. Ini juga nggak parah kok. " Lanjutnya.
" I am sorry. " Bisikku.
Justin mencoba tersenyum. Tak lama kemudian Vania dan temannya datang lagi untuk memeriksa keadaan Justin. Vania tersenyum padaku. Ada kesan lucu tersirat dalam sinar matanya. Aku cuek saja.
Tadi dia yang meneleponku. Vania mengabari kalau Justin dibawa orang ke puskesmas tempatnya tugas. Justin kecelakaan tunggal di area 5 km dari puskesmas karena menghindari mobil dan jatuh karena jalan amat licin akibat hujan dari sore.
" Kak, abang ini baik-baik aja kok. Tak ada yang patah. Cuma lecet-lecet saja. Tadi terbentur tapi aman karena helmnya. Kita masih observasi malam ini, ya. Kakak boleh pulang kalo mau. Besok sini lagi."
Aku tersenyum dan berbisik terima kasih. Mereka pun segera berlalu. Aku teringat perdebatan antara aku dan Justin saat dia membeli helm mahal hampir sejuta itu.
Kuhela napas panjang. Sulit kuputuskan tapi akhirnya aku memilih tak akan pergi. Aku akan di sini saja menemani Justin.
" Kamu nggak kasih tau keluargamu ? " Tanyaku.
" Nggak, nanti pada heboh. Aku bilang aku nginap di rumah teman. "
" Teman puskesmas 24 jam. " Kataku. Aku tersenyum miris.
Justin tersenyum lagi.
" Aku nggak tau kabar motorku."" Ada di depan. Tadi orang-orang yang nolongin kamu ngangkutnya pakai pick up. " Jawabku.
" Parah nggak dia ? "
" Besok bawa ke bengkel baru tau. " Kataku.
Justin menatapku sayang.
"Mulai sekarang jadi aku dan kamu.. nggak lagi aku dan ibu. " Katanya.
" Panggilan itu dari hati, aku nggak maksa kamu mau panggil apa. "
" Rasa itu juga dari hati. Aku nggak maksa kamu juga. " Suara lembut Justin yang khusus untukku.
Aku memandangnya. Aku tak tahu mesti bicara apa.
" Kita terlalu banyak perbedaan, Justin. "
" Tapi kamu ada di sini, sekarang. Walau ini udah lewat tengah malam dan ini di batas kota. Jauh dari rumahmu, tapi kamu datang."
Aku tertunduk.
" Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. "
" Karena ? " Tanya Justin.
Kami berpandangan.
"Kita sama-sama tahu alasannya, Justin.""Bagaimana kalo aku sekarang-sekarang ini cuma mikirin kamu ? Dan meletakkan kamu dalam hatiku ?"
Aku terperangah. Seharusnya mungkin lebih dramatis kalau ada suara geledek setelah Justin selesai mengucapkan kalimatnya.
"Kamu sudah ada di hatiku lebih dulu." Akhirnya aku buka suara.
Jempol Justin mengelus bibirku. Waduh, jantungku seperti ikutan lomba sprint.
"Kamu kemana aja ?" Tanyanya.
"Nggak kemana-mana." Waduh, aku rasa mau pingsan.
"Kalo ditanya, pernah ketemu bidadari, aku jawab iya. Lagi ngobrol sama aku."
Justin kalo ngerayu, rasanya maut.Aku menatap wajahnya..aduh..itu alis kenapa kayak ngajak menikah ?
"Justin...aku takkan melarang kalau kamu ingin kembali ke jalan yang kamu yakini." Kataku. Justin mengangkat alis kirinya. Ia tak paham.
"Bersamaku akan banyak hal yang kamu korbankan. Aku nggak mau kamu sakit, kamu sedih, kamu dijauhi sama keluargamu. Pasti ibumu gak akan rela kalo tau apa yang terjadi antara kita." Kataku dan Justin tertunduk. Aku raih jemarinya.
" I'll take good care of you. Tapi kalau kamu ingin kembali ke jalanmu, aku takkan melarang. "
" Banyak yang berubah pada diriku. Fisik dan mental. Itu karena kamu. Tak pernah aku jumpa orang yang kayak kamu. Bisa mengubah orang hanya dengan senyum dan perbuatan." Justin tersenyum lagi. Suaranya demikian lembut. Tak pernah aku dengar dia bersuara keras padaku.
Kugenggam jemarinya di tangan yang bebas infus. Aku tak ingin lagi bicara. Aku sedang bahagia. Dua hati ini sudah saling bertaut. Tanpa bicara pun, kami sudah saling terkoneksi. Cukup jari jemari kami saja yang menyalurkan rasa dan bicara. Selebihnya, kami tau kalau kami saat ini tak ingin berpisah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Justivia
RomanceKatakanlah aku harus move on dari segala kekusutan ini... Maka akan kukatakan " Andai dapat mengulang waktu, aku tak ingin mengenalmu, Justin. " Kenyataan adalah sebuah lukisan besar yang kadang tak dapat dimengerti alirannya. Kadang sebuah sketsa h...