Prolog

4 2 0
                                    

Tak ada yang menyebutkan betapa sulitnya menjadi anak tunggal. Mereka selalu bicara soal menjadi anak sulung yang harus memiliki bahu kuat, anak bungsu yang menjadi harapan terakhir keluarga, atau anak tengah yang sering terlupakan dan harus mengalah.

Menjadi anak satu-satunya di keluarga, memiliki sisi kontra yang tak semua orang tahu. Kau, adalah satu-satunya harapan keluarga. Bahumu harus sekuat anak sulung, harus bersedia menjadi pendengar orangtuamu—apapun itu termasuk yang tak ingin kau dengar.

Menjadi anak tunggal itu, bagaikan hidup dalam jeruji kayu dengan tangan terikat rantai dan kaki terpasung. Kau anak satu-satunya, tidak boleh merantau dan tinggal jauh dari ayah ibu. Hidupmu bagaikan tunas yang ditanam di pot kecil dan dikerdilkan layaknya tanaman bongsai.

Dirawat dengan kasih sayang berlimpah hingga kau merasa muak, bosan dengan segalanya, dan ingin lari dari penjara yang mereka sebut "keluarga". Haus akan oksigen dan ingin sekali bebas dari cambuk bernama "ekspektasi".

Sebagai anak tunggal, kau harus terus berlari meski telapak kakimu mulai mengapal. Tangismu berderai namun tak dianggap, dan terpaksa tumbuh dengan stigma "Anak tunggal adalah yang paling beruntung karena mendapat segalanya."

Hidup sebagai anak tunggal, bagaikan hidup dengan puluhan lapis selimut yang berat. Mereka hangat, namun terlalu banyak. Hingga membuatmu panas dan merasa terbakar. Anak tunggal hidup dengan ekspektasi yang tertanam dari kecil—pada akhirnya ialah yang akan hidup dengan semua beban itu; beban tanggung jawab, harapan, finansial bagi kesejahteraan mereka yang menganggap anaknya sebagai produk investasi.

Tak ada yang menyebutkan betapa sulitnya menjadi anak tunggal. Ia hidup bagaikan gedung pencakar langit, setinggi apapun bangunan itu berdiri, pasti memiliki basemen gelap yang tak semua orang tahu apa saja yang pernah singgah di sana.

***

Nulis ini pas isi kepala penuh banget, berisik, dan akhirnya daripada kesimpen di diary busuk gue dari SMA, gue jadiin fiksi aja sekalian. Gue bebas bentuk karakternya semau gue, gue bunuh kek, terserah.

Intinya bakalan banyak trigger warning, dan kalau kalian nggak nyaman dengan cerita ini, please leave. Just leave. Thanks.

Ramandha; Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang