26 - Soal Maura

84 7 0
                                    

Happy Reading 🤗

***

“Kak ...,” panggil Naluri saat sudah menjelang malam. Dia marebahkan dirinya di atas sofa, membiarkan istrinya tertidur nyaman di atas kasur king size.

“Apa?” tanya Khalil dingin.

“Aku barusan ke pusat perbelanjaan sama Mama.”

“Ya terus? Uang dari saya habis?” tanyanya, dia masih saja memejamkan kedua matanya seolah tidak ingin jika harus menghadap istrinya meski sedetik saja.

Naluri menghela napasnya pelan, dia merasa takut ingin mengatakan perihal Maura yang dilihat Ibu mertuanya, bagaimana jika dia bertanya keberadaan wanita itu sedang dengan siapa. Apa yang harus dijawabnya? Jika mengatakan apa yang dilihat Vera rasanya tidak mungkin, apalagi Naluri merasa jika pernyataan itu akan membuat hati suaminya sakit.

“Uang dari kamu masih ada sisa.”

“Pakai aja.” Pria itu menyingkap selimut tebalnya yang sedari tadi menganggur. Kedua matanya masih saja terpejam, padahal di depannya ada pemandangan yang halal untuknya jika dilihat.

“Sudah menyukaiku belum, Kak?” tanya Naluri akhirnya. Dia mengubah bahan obrolannya agar melupakan perihal Maura yang menggandeng pria lain.

Lama sekali Khalil terdiam, dia seolah memikirkan lebih dulu perkataan apa yang hendak disampaikannya. Pada akhirnya pria itu beringsut dari duduknya, menatap kedua mata istirnya.

“Kalau sudah, memang apa kamu akan benar-benar akan pergi dari hidupku?” Khalil malah balik bertanya, dia menaikkan sebelah alisnya.

Naluri menundukkan kepalanya, pertanyaan yang diajukan suaminya membuat dia sulit untuk membuka suara. Bagaimana mungkin dia pergi dalam hidup Khalil selagi mereka masih berstatus sepasang suami-istri.

“Aku belum bisa memastikan hal itu, tapi Kakak jangan perlu khawatr mengenai persoalan tersebut karena aku akan pergi dengan sendirinya tanpa diberitahu lebih dulu.” Naluri sadar jika dirinya bukanlah orang istimewa dalam hidup Khalil, dia memang pantas diperlakukan seperti orang asing. Wanita itu lebih dulu sadar diri, mekipun pria itu sudah menjadi miliknya baik agama maupun negara.

Khalil bungkam karena nyatanya istrinya itu pandai berkata, dia tidak diam saja. Jawabannya justru malah membuatnya terperangah, dia terlalu terkejut dengan perkataanya yang begitu lugas.

“Aku memang mengemis perasaanmu di hari ini, tapi akan ada kalanya kamu yang meminta perasaan itu, Kak.” Naluri menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman yang sangat manis.

Suaminya terdiam masih meresapi perkataan istrinya, lalu dia terkekeh-kekeh pelan karena merasa jika perkataannya tidak benar. Mana mungkin dia yang mengemis pada Naluri di saat hatinya hanya untuk Maura saja.

Ketukan pintu membuat Khalil terkesiap memandangi istrinya yang hendak bangkit dari duduknya untuk membukakakan pintu.

Tampaklah sosok Vera berdiiri di ambang pintu menatap pada menantunya dengan wajah datar, lalu dia melongok ke dalam ruangan pandangannya mengarah pada putranya yang tengah terduduk di sofa.

“Mama bisa biara sama suami kamu, Luri?” tanyanya, tanpa mengalihkan pandangannya pada Naluri.

“Boleh, Mah.” Naluri kembali menoleh kebelakang mendapati suaminya yang masih terduduk. “Kak ... Mama pengin ngobrol sama kamu.”

Khalil mengangguk pelan, lalu dia mengikuti ibunya yang sudah lebih dulu melangkah pergi ke arah ruang tamu yang jaraknya lumayan jauh dengan letak kamarnya.

***
Hanif memandangi taman Pondok Pesantren yang sangat sepi tiada satu pun santri, biasanya sosok Naluri yang terduduk di sana menyepi seorang diri sembari menatap langit. Wanita itu memang selalu dia perhatikan meski dari kejauhan karena merasa tidak pantas jika saja mendekatinya di wilayah Pondok. Dia seorang ustadz yang masih itu keturunan dari pemilik pesantren itu mana mungkin mendekati seorang akhwat.

“Kenapa aku malah memikirkan Naluri,” ujarnya pelan. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Mengingat penjelasan wanita itu jika dia sudah menikah, membuatnya tidak terima karena Naluri lebih dulu diambil orang.

“Apa yang terjadi sama kamu, Luri?” tanyanya pelan.

Padahal Hanif mempunyai niat baik untuk meminang Naluri setelah wanita itu lulus nanti, perasaan yang selama ini dipendam sudah terlalu lama dibiarkan begitu saja. Rasanya sangat sakit saat tahu Naluri sudah menjadi milik orang lain. Seingatnya dia izin dari pondok karena ada pelaksaan pernikahan kakaknya, tapi nyatanya dialah yang menikah.

Pria itu memandangi ponselnya yang menampilkan nomer Naluri, dia berniat untuk menghubunginya karena rindunya tidak dapat dihentikan. Seharusnya dia bisa menahan nafsunya, tapi tetap saja sangta sulit baginya untuk menolak isi hatinya.

Teleponnya tersambung dan tidak lama kemudian suara seorang wanita yang begitu dirindukannya terdengar. Suaranya sangat lembut membuat dia sulit untuk berkata, Hanif terlalu meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Naluri.

“Assalamualaikum,” ujarnya. “Halo?”

“Ini saya Hanif.” Pada akhirnya pria itu pun menimpali respon dari Naluri.

“Ada apa ya, Ustadz?” tanya Naluri lagi. Tentu saja dia terkejut mendapati telepon dari ustadz Hanif karena tidak baru kali ini anak dari pemilik Pondok Pesantren tempat dia menimba ilmu menghubunginya apalagi tengah malam.

“Kata Abi waktu izin kamu terlalu lama.”

Mengingat hal itu membuat Naluri menepuk keningnya karena nyaris melupakan kegiatannya di Pesantren. Mungkin karena dia terlalu memikirkan suaminya yang masih saja tertutup hatinya.

“Maaf Ustadz. Besok insyaalloh Naluri ke sana, Kak.” Hanif tersenyum samar meski wanita di sebrang sana tidak bisa melihat ekspresinya.

***
Khalil dan Vera saling berhadapan tepatnya di ruang tamu, mereka saling menenggelamkan kedua mata masing-masing mempertanyakan apa yang membuat wanita paruh baya itu mengajak putranya untuk mengobrol di tengah malam seperti ini.

“Mama tadi siang belanja kebutuhan sama Naluri.” Anaknya mengangguk karena istrinya pun sempat mengatakan hal itu.

“Mama lihat Maura.”

Mendengar pernyataan dari ibunya membuat Khalil terperangah memandangi ibunya, bibirya tersungging membentuk senyuman samar.

“Mama lihat dia? Kenapa enggak ajak dia pulang, Mah? Mama sempat ngobrol sama dia?” tanya Khalil lagi.

Vera menggeleng pelan.”Mama sempat sapa dia, tapi dia malah menghindar begitu saja.”

Pria itu mengerutkan dahinya karena terkejut dengan apa yang dikatakan ibunya, karena sosok Maura seolah berubah. Wanita itu biasanya selalu saja bersikap ramah apalagi pada Vera.

“Apa benar itu Maura, Mah?” tanya Khalil lagi.

“Mama enggak mungkin salah. Kami saling berpandangan.” Vera masih ingat betul saat kejadiannya di pusat perbelanjaan itu.

“Dia sendirian, Mah?” tanya Khalil memastikan.

“Tidak. Dia dengan seorang pria.”

Khalil terkejut dengan apa yang dikatakan ibunya, dia dengan seorang pria. Siapa dia? Apakah pria itu yang menyebabkannya meninggalkan pernikahan?

***
Yuhu update nih gais.

Follow Ig : @cloveriestar


PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang