Hari Pertama

137 40 0
                                    

Kaluna menghela napasnya menghirup udara Jogja di pagi hari. Ia sengaja memilih berangkat dengan kereta malam hari agar tiba di Jogja menjelang pagi.

Sekarang waktu menunjukkan pukul enam tiga puluh dan Kaluna belum memesan taksi online karena masih ingin berjalan-jalan sendirian. Toh ia tidak membawa banyak barang karena di rumahnya masih ada baju dan perlengkapan lainnya.

Meskipun merantau cukup jauh, Kaluna selalu berusaha meluangkan waktu untuk pulang setiap dua atau tiga bulan sekali. Tidak ada alasan khusus, ia hanya tidak mau kalau sampai terbiasa jauh dari keluarga dan menyebabkan relasinya merenggang.

Kaluna dan keluarganya bukan tipe yang suka berkirim kabar setiap hari. Ibunya paling hanya mengingatkan jangan lupa makan dan minum vitamin, selepas itu ia mempercayakan semuanya pada Kaluna.

Termasuk ketika Kaluna menyampaikan bahwa ia putus dengan Abim. Ibu tidak bertanya macam-macam, tidak menyalahkan keputusan Kaluna, juga tidak mendesak anaknya untuk bercerita secara detail.

Kata ibu waktu itu, "kamu udah dewasa. Ibu yakin semua keputusan sudah kamu pertimbangkan dengan baik,"

Kaluna sendiri memang tidak banyak bercerita soal putusnya ia dan Abim pada siapapun. Menurut Kaluna, itu privacy. Ia juga tidak mau kalau ada yang menilai Abim berdasarkan ceritanya saja.

Jadi, setelah putus, Kaluna menutup akses bagi orang-orang untuk bertanya dan ia menjalani harinya seperti biasa.

Namun, meskipun tampak biasa saja, dalam hati Kaluna juga merasa resah. Teman-temannya sudah banyak yang menikah, bahkan sudah punya anak, sedangkan ia justru mengakhiri hubungan.

Artinya, Kaluna harus mengulang fase yang sama entah berapa kali lagi sampai bisa tiba di jenjang pernikahan seperti teman-temannya. Baru dibayangkan saja rasanya sudah melelahkan.

Kenalan lagi, pendekatan lagi, penyesuaian lagi. Iya kalau cocok, kalau akhirnya putus lagi?

Tapi, memaksakan diri untuk melanjutkan hubungan dengan Abim juga bukan keputusan yang ringan. Kaluna tau ia tidak akan sanggup menghadapi amarah lelaki itu seumur hidup. Sudah berkali-kali Kaluna mengingatkan Abim untuk mengontrol emosi, tetapi tidak ada hasilnya.

Kadang Kaluna ingin balas membentak, tapi tidak bisa. Itu bukan sifatnya.

Sehingga akhirnya keputusan untuk berpisah lah yang dipilih keduanya. Abim juga tidak nyaman terus menerus menyakiti Kaluna dengan kata-katanya. Tapi lelaki itu juga kesulitan mengubah sifat yang sudah lekat dengan dirinya sejak dulu.

Untungnya, Kaluna tidak diburu-buru untuk menikah. Ibunya tidak mendesak, ayahnya apa lagi.

Kaluna juga punya seorang kakak laki-laki yang sudah menikah dan sudah memiliki satu orang anak. Jadi keinginan ibu dan ayahnya untuk memiliki menantu serta cucu sudah dikabulkan sang kakak, sehingga Kaluna bisa menjalani usia dua puluhan dengan lebih santai.

**

Setelah merasa cukup berjalan-jalan sendiri, menghabiskan sepiring gudeg dan satu gelas teh hangat, Kaluna akhirnya memesan taksi online yang akan mengantarnya ke rumah.

Butuh sekitar dua puluh lima menit untuk menempuh perjalanan dari kawasan Stasiun Tugu menuju rumahnya. Dan setibanya di rumah, ia disambut bapak yang sedang asik menyiram tanaman.

"Bener, tuh, pak nyiramnya? Nanti kalau mati dimarahin sama ibu," ucap Kaluna setelah memeluk ayahnya dan meletakkan tas tentengnya di lantai teras.

Ayahnya tertawa. "Mati yo bapak beli lagi. Sana masuk, istirahat. Capek to duduk di kereta?"

Kaluna mengangguk. "Lumayan pegel. Aku masuk dulu ya, pak,"

Empat Belas HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang