2. Pindah Rumah

45 6 0
                                    

Nirmala terusik dari tidurnya. Tangannya menyentuh sesuatu yang keras, tetapi juga terasa empuk di saat yang bersamaan.

"Mbak ...?"

Mendengar suara itu lantas membuat Nirmala menarik tangannya cepat-cepat. Sepertinya yang dia raba tadi itu dadanya Sabda.

"Maaf, aku gak sengaja," ucapnya cepat seraya bangkit.

Sabda terlihat memerhatikan raut wajah Nirmala yang gugup setengah mati. Bahkan semburat merah kentara menghiasi pipi wanita tersebut.

"Sabda? Kamu masih di situ, 'kan?" tanya Nirmala memastikan.

Setelah cukup lama terdiam, akhirnya pria itu menyahut, "Iya, gapapa."

Nirmala beranjak menuruni ranjang. Dia coba mencari handuk dan satu pasang pakaian lengkap. Semua kegiatannya tak lepas dari pandangan Sabda—bahkan sampai wanita itu keluar dari kamar.

"Mau ke mana?" suara sang ibu membuat langkah Nirmala terhenti.

"Mandi, Bu."

"Nanti sehabis mandi, kamu ajak Sabda untuk sarapan!"

"Iya."

Tak ingin mendengar apa pun lagi, Nirmala segera berlalu menuju kamar mandi. Awalnya dia memang kesulitan, bahkan untuk sekadar menuju ruang tamu. Namun, setelah dituntun beberapa kali, kini dia sudah hafal betul tata letak ruangan di rumahnya.

Tidak butuh waktu lama bagi Nirmala untuk membersihkan diri dan berpakaian. Sabda pun segera mandi dan berpakaian rapi.

Seperti apa yang diperintah ibunya, Nirmala mengajak 'suaminya' untuk bergabung sarapan.

"Nak Sabda ... hari ini masuk kerja?" tanya ibunya Nirmala hati-hati.

Pria itu mengangguk. "Iya, Bu."

"Ibu kira libur." Ibunya tertawa sumbang.

"Sabda gak ambil cuti, Bu," sahut pria itu lagi.

"Oooh, iya iya."

Tak ada lagi percakapan hangat di pagi hari. Hening. Semua orang terlarut dalam pikirannya masing-masing.

"Sore nanti, kalau Ibu sama Bapak berkenan ... Sabda mau ngajak Mbak Nirma pindah rumah," ucap Sabda tiba-tiba, membuat Nirmala seketika menghentikan suapannya.

Ibu dan ayahnya saling melirik kemudian menatap sekilas ke arah putri mereka. Wanita itu tak bereaksi apa pun, selain menatap kosong.

"Kalau Ibu, terserah dengan keputusan Nirma dan Nak Sabda saja. Ibu sama ayah gak ada hak buat melarang-larang atau menyuruh-nyuruh," jawab ibunya pelan.

Sebenarnya wanita itu tidak mau membuat Nirmala pergi jauh dari rumah. Dia merasa sangat khawatir, apalagi dengan keadaan putrinya yang tidak seperti dulu. Ia juga merasa takut kalau Sabda akan memperlakukan Nirmala dengan buruk.

"Nak ..., gimana? Kamu mau 'kan diajak pindah sama Nak Sabda?" Ibunya beralih menatap sang putri.

"Nirma terserah Sabda saja, Bu," sahutnya setelah beberapa saat terdiam.

"Kalau begitu, biar nanti ibu bantu persiapkan pakaian kamu," gumam ibunya.

Nirmala tak menyahut apa pun lagi. Mengapa Sabda mengajaknya pergi dari rumah ini? Apa supaya bisa lebih leluasa bertindak?

Setelah selesai sarapan, pria itu langsung saja berangkat. Padahal ini masih terbilang pagi.

Beberapa orang tampak berlalu-lalang membereskan dekorasi bekas kemarin, termasuk di kamar Nirmala. Wanita itu hanya bisa terduduk diam di bangku belakang rumahnya. Sejak mengalami kecelakaan itu, dia menjadi sosok yang lebih senang menyendiri. Apakah keadaan yang membuat Nirmala menjadi seperti pemurung?

Suasana di rumah itu masih ramai, tetapi hal tersebut tak membuatnya senang.

Tangannya terangkat menyentuh cincin yang tersemat di jari manis. Pernikahan itu masih saja terasa seperti sebuah mimpi. Sulit baginya untuk memercayai apa yang sudah terjadi.

***

"Kita ... mau pergi ke mana?" tanya Nirmala ketika memasuki lift. Tidak mungkin jika Sabda mau membuangnya ke panti, 'kan?

"Apartemen. Aku tinggal di sini," jawab Sabda.

Nirmala hanya ber-oh kecil. Sebelumnya dia tidak tahu jika pria itu tinggal sendirian di apartemen. Pantas saja, ketika Banyu sering membawanya ke rumah, hanya sesekali Nirmala bertemu Sabda.

Ibu dan ayahnya Nirmala tidak bisa mengantar kepindahan mereka, dikarenakan masih sibuk membereskan rumah.

Lift itu berdenting kemudian terbuka. Tangan kiri Sabda menuntun pelan Nirmala, sedangkan tangan kanannya bantu membawakan tas.

"Mulai hari ini, Mbak Nirma juga akan tinggal di sini," ucapnya seraya membuka pintu.

"Lis!" seru Sabda membuat seorang wanita muda bergegas menghampirinya.

"Kamarnya sudah beres?"

"Sudah, Mas."

"Kalau begitu tolong bereskan baju Mbak Nirma juga!" titahnya seraya menyodorkan tas pakaian milik Nirmala.

"Baik, Mas."

Lalis pun segera pergi ke kamar yang diperuntukkan bagi Nirmala.

"Kamar aku di sebelah. Kalau nanti malam ada perlu apa-apa, Mbak bisa panggil aku aja. Karena Lalis di sini cuma dari pagi sampai sore buat nemenin Mbak," jelas Sabda.

"Aku tau, ini semua memang berat untuk kamu terima. Maaf kalau aku merepotkan kamu."

"Kamu gak perlu menganggap Mbak sebagai istri kamu. Kamu juga bebas melakukan apa saja," sambungnya.

Mengatakan hal tersebut, jelas saja membuat rongga dadanya terasa sesak. Perempuan mana yang mau membebaskan suaminya untuk berlaku sesuka hati? Apalagi sampai tidak menganggap istrinya. Namun, tidak mungkin juga jika Nirmala harus melarang Sabda dengan apa yang akan dilakukannya.

"Iya." Satu kata dari pria itu membuat rasa sesaknya semakin bertambah. Walaupun dia dan Sabda tidak saling mencintai, tetapi sakit rasanya jika sudah terikat dalam sebuah janji suci pernikahan.

***
Nyesek gak tuh?:') jangan lupa tinggalkan zezak yaa💖

Sabda Untuk Nirmala (OnGoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang