9

2K 444 174
                                    

Happy Reading
















































"K-kakak ..."

Sakura mundur selangkah berusaha mengurangi rasa gugupnya. Tempo hari kak Hidan bilang kakaknya akan pulang akhir bulan pekan ke empat, kenapa sekarang pria menyebalkan itu bisa tiba-tiba berdiri dihadapannya dengan raut murkanya. Dia tidak mungkin tahu tentang seluk beluk keberadaan Sasuke bukan, atau mungkinkah si Hidan pemuja Dewa Jashin sesat itu bermulut ember.

"Heran kenapa aku bisa pulang lebih awal?"

Sakura menelan ludah susah payah. Giok hijaunya melirik singkat ke arah pria berbalur lumpur yang tengah mengucap beribu sumpah serapah, dalam kondisi normal ia akan menertawakan kesialan yang menimpa Sasuke. Atensinya beralih pada sapi kesayangannya yang berusaha berdiri, ya Tuhan kasihan sekali sapinya.

"Berapa kali aku bilang untuk selalu waspada dan tidak menerima orang asing," Pandangan Sasori menusuk giok hijau yang berusaha menghindarinya. "Jangan mengabaikan nasihatku Sakura!"

"A-aku bisa jelaskan dirumah," cicit Sakura sembari melangkah ke samping. Kedua tangannya dengan takut terulur ke depan. "Ini semua tidak seperti yang kakak pikirkan, sungguh."

"Tidak seperti yang aku pikirkan bagaimana?!" geram Sasori.

"Kita buat ini mudah oke?" Giok hijaunya melirik takut pada sang kakak yang mulai mendekat. Sendal jepitnya semakin merapat ke area lahan persawahan, tanpa pikir panjang ia segera mencelupkan kedua kakinya ke kubangan tanah berlumpur. "Bantu aku menarik sapinya, kemudian kita pulang dan bicara baik-baik." tawarnya.

Sasori mendengus menangkap tingkah sang adik yang buru-buru mendekati pria tak tahu diri itu. Sejauh apa hubungan mereka hingga Sakura melupakan harta berharganya. Pria bersurai merah itu lantas menggulung lengan kaosnya sebatas siku kemudian menarik sapinya yang terperosok, mau bagaimanapun sapi itu adalah buah dari kerja kerasnya.

"Kau baik-baik saja Sasuke?"

"Baik-baik saja kepalamu."

Sakura bergegas menarik berdiri pria yang sibuk mengelap wajah berlumpur dengan tangan. Sungguh ia sendiri khawatir jika lumpur itu masuk ke mata, mulut atau hidung Sasuke. Tanpa ijin dari sang empu ia menyeret Sasuke mendekat pada parit kecil yang mengalir disepanjang sawah, mendudukkan tubuhnya, lantas membasuh wajah dan kepalanya.

"H-hei ..." Sasuke berusaha menepis dua tangan kecil yang mengusap wajah dan kepalanya. "A-apa yang kau lakukan bodoh."

"Apalagi, tentu saja membersihkan wajahmu," Sakura mengambil air di kedua tangannya lantas kembali membasuh wajah Sasuke. Giok hijaunya menelisik netra hitam yang sedikit memerah akibat gosokan sang pemilik tubuh. "Tidak ada yang masuk ke matamu kan? Hidungmu, mulutmu, kau baik-baik saja?"

"Hn," Relung hati Sasuke menghangat merasakan kekhawatiran Sakura yang terkesan cerewet. Benar kata orang, seseorang tidak akan cerewet jika tak peduli padamu. "Kau menghawatirkanku?"

"Jelas."

Senyum tipis terpoles di bibir Sasuke. Sakura tidaklah seperti kebanyakan gadis yang sok malu-malu dan jaim, dia benar-benar jujur hingga bisa mengembalikan hatinya yang melambung tinggi ke dasar Palung Mariana.

"Bagaimana jika kau mati kemudian keluargamu menuntutku?" tanya Sakura khawatir membuat Sasuke merotasikan kedua matanya. "Aku tidak punya banyak uang untuk mengajukan banding," sambungnya sembari membantu Sasuke berdiri.

Sakura kembali mencangkup air lantas menyodorkannya ke arah Sasuke. "Ayo berkumur dan minum dulu Sasuke, kau pasti kaget tadi."

Sasuke mendengus keras. "Kau menyuruhku berkumur serta minum dengan air yang belum terlisensi dan terkontaminasi bakteri jahat?"

VibrasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang