Natasya terbangun dari tidur. Dia memperhatikan sekeliling, merasa asing sekali dengan kamar tempat dia tertidur, seperti bukan kamarnya. Matanya melirik jam yang menunjukkan pukul delapan malam.
Gadis itu kembali mengumpulkan ingatan. Benar! Ini adalah rumah Pak Budi. Laki-laki itu telah membawanya ke sini.
Ceklek!
"Sudah bangun?" Natasya menelan salivanya dan sedikit bergeser.
"Pak Budi?"
"Kenapa? Tidak usah takut!" ujarku yang telah duduk di bibir ranjang.
Natasya melihat tubuhnya yang tertutup selimut putih, kemudian melihat pria yang ada di hadapannya.
"Bapak nggak ngapa-ngapain, 'kan?" Natasya menatapku serius, tangannya yang agak gemetar menggenggam erat selimut.
"Memangnya kenapa?" Aku balik bertanya, dengan senyum menggoda.
Natasya hanya membisu dan kembali melirik jam yang menempel di dinding kamar itu. Matanya menatap lekat padaku yang sedari tadi memerhatikannya. Lalu kembali menangis.
Tanganku terulur untuk menghapus air mata Natasya, tapi dengan cepat Natasya menepisnya. Gadis itu menyibak selimut dan berlari secepat kilat menuju pintu.
"Mau ke mana kamu, Nat?" panggilku menggeram.
"Saya mau pulang, Pak." Natasya terus berlari sambil menangis. Anak tangga yang dia turuni sangat banyak sehingga sedikit kesusahan.
"Berhenti, Nat! Kamu tidak akan bisa keluar dari sini!" Aku mengejar Natasya yang berlari tak jauh dariku.
Sampai pada pintu utama, Natasya mencoba membukanya, tapi si*l! Pintu itu terkunci rapat. Belum sempat dia mencari letak kunci, aku sudah berdiri di belakangnya.
"Ke mana lagi kamu harus berlari?" Kataku sembari tersenyum smirk dan berjalan pelan menghampiri Natasya.
"Tolong ... tolong saya. Siapa aja tolong ...!" Natasya berteriak panik sambil menepuk keras pintu, tapi aku langsung menutup mulutnya.
Natasya memberontak sekuat tenaga dari kekanganku. Namun, aku segera mengangkat tubuhnya untuk dibawa kembali ke atas.
"Lepaskan aku, Laki-laki Brengs*k!" umpat Natasya sambil memukul-mukul dadaku. Tak lupa dia menjambak rambutku. Namun, aku tak memberi reaksi apa-apa.
"Hahaha! Bisa apa kamu, Nat?" ejekku saat sampai di tempat tujuannya, mengunci pintu kamar dan menyimpan kuncinya dalam saku celana.
"Kamu jangan macam-macam kalau tidak ingin mendekam di penjara!" Natasya menunjuk kasar kepadaku sembari memundurkan langkah.
"Oh, ya? Laporkan saja! Tapi setelah kamu kehilangan apa yang paling berharga dalam hidupmu. Dengan begitu, apa kamu akan tetap melaporkanku?" ujarku tersenyum menang.
"Nggak-nggak!" Natasya menggeleng dan menangis lagi.
"Aku bisa melakukannya sekarang!" Ku buka kancing bajuku satu per satu, kembali mendekati Natasya yang terus menjauh.
"Jangan, Pak! Saya mohon ...." Natasya menangis sejadi-jadinya. Saat ini aku telah mengunci tubuhnya yang terhalang dinding.
"Jadilah istriku!" bisikku di telinganya. Natasya mengangguk pasrah, menutupi wajahnya yang sudah banjir air mata.
"Jangan mengatakan hal ini kepada siapa pun! Kalau kamu tidak ingin saya berbuat lebih!" Aku memeluk Natasya erat, merasakan dadaku telah dibanjiri air mata karena Natasya menenggelamkan wajahnya di sana.
Aku melerai pelukan saat merasakan bobot tubuh Natasya terasa berat. Ternyata Natasya sudah tak sadarkan diri dengan wajah yang pucat pasi.
Aku pun tersenyum. Akhirnya Natasya akan menjadi milikku! Senyum kepuasan tersimpul dan perasaan kemenangan bergejolak dalam hatiku.
Byaaaar....
Aku terbangun dari mimpi panjangku.
Ternyata yang membangunkanku adalah air seember yang diguyur oleh Ibuku." Budi...Ayo cepat bangun! Cepat sekolah, entar telat !" Teriak ibuku.
Wait
Ternyata aku masih anak sekolah kelas tiga SMA, yang bermimpi menjadi seorang dosen gila yang mengejar cinta seorang gadis tercantik di kampus.
"Efek habis menonton film psikopat, jadi kayak gini deh" kataku dalam hati.
End
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lecture Of Love
Kısa HikayePerkenalkan namaku Budi, seorang dosen muda yang mengajar di sebuah institusi pendidikan ternama di sebuah kota nan indah berjuluk 'Paris Van Java'. Rutinitas harianku adalah pergi pagi mengajar mata kuliah ekonomi dan statistik hingga sore mulai h...