•••••
Toilet menjadi satu-satunya tempat pelarian Rain saat ini. Kedua tangannya gemetar serta matanya menatap sendu bercak darah pada tisu di genggaman.
Kepalanya juga berdenyut nyeri padahal ia baru saja meminum obatnya.
"Apa udah separah ini?" Batinnya menangis.
Lama ia termenung dengan pandangan kosong. Kemudian tubuhnya merosot duduk di atas lantai yang dingin. Menenggelamkan wajah pucatnya di antara kedua lutut.
"Ya Tuhan, aku masih pengen berumur panjang. Karena aku ada janji untuk menua bersama seseorang. Janji yang aku buat pada diriku sendiri." Ia kembali menjerit dalam hati di sela isakan tangis yang tersedu-sedu.
Semua terjadi begitu saja. Tanpa perhitungan tangisnya pecah kala itu juga.
Pertahanannya runtuh, membuat ia menyerah dan memilih UKS untuk menjadi tempatnya menenangkan diri.Hampir pukul tiga sore, Rain menyeret langkah melewati koridor yang perlahan mulai sepi karena kebanyakan anak-anak ekskul juga sudah pulang. Sebelum mencangklong ransel, gadis itu mengeluarkan earphone kemudian mencolok kabelnya pada ponsel.
Memutar sebuah lagu sebagai penghantar jejak langkah dirinya untuk pulang. Earphone itu terpasang apik di kepalanya.
"Rain."
Suara seruan Savana dari belakang terdengar tipis akibat telinga Rain yang masih bersumpal. Dia tidak menghentikan langkah, membuat orang itu sedikit mencebik.
"Rain." Seru orang itu lagi sembari menepuk pelan pundaknya.
Rain baru menghentikan langkah ketika merasa bahunya di tepuk. Dengan cepat dia berbalik sembari melepas earphone dan menyimpannya kembali ke dalam ransel hitam itu. Di lihatnya Savana tengah memeluk satu bungkus besar keripik kentang sambil sesekali memasukkannya ke dalam mulut.
"Kenapa?"
"Duh, gue panggil dari tadi juga baru nyahut. Mau langsung pulang?" Tanya gadis itu setelah menggerutu.
"Iya, pengen kangen-kangenan sambil becanda dulu sama dinding kamar." Sahut Rain terkekeh ringan melupakan sejenak kerisauannya hari ini.
"Dih, sarap nih anak. Motor lo udah sembuh?"
Dahi Rain mengerut. "Udah. Motor gue udah sehat wal afiat jadi gak perlu nebeng papa lagi."
"Kalo gitu boleh dong gue boncengin lo pulang. Gue khawatir ngeliat muka lo agak pucet gitu sampe tadi kabur ke UKS berjam-jam." Cemas Savana.
"As your wish. By the way, gue gak papa kok. Oke aja." Jawab Rain membuat senyum Savana terbit begitu lebar.
Mereka berdua melangkah menuju parkiran sambil menikmati keripik kentang di tangan Savana.
Tiba di parkiran mereka di sambut oleh adanya Kevin dan Rio yang baru saja selesai ikut ekskul basket. Keringat tipis masih tersisa di pelipis mereka.
Ponsel Kevin berdering ketika mereka sudah di atas motor, sebuah chat masuk dari Jessy.
"Kev, gue ikut lo pulang. Rafael masih ekskul katanya."
"Dari siapa?" Tanya Rio kepo menyembulkan kepalanya di sela bahu Kevin.
"Jessy."
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember, hujan, dan lukanya
Teen FictionDia yang berpulang ketika hujan datang. *** (Sejak awal memutuskan untuk mencintainya, maka ia telah bersepakat pada semesta untuk menciptakan luka.) Kevin itu batu, sementara Rain air. Batu jika ditetesi air terus-terusan, lama-lama akan berlubang...