Dua orang di kelompok Aliya adalah orang yang baru Aliya kenali. Reva dan Tiara, mereka adalah orang yang tinggal di sekitar pesantren. Jarak rumah Reva ke pesantren membutuhkan waktu 30 menit dengan berjalan kaki. Sedangkan Tiara, ia hanya menempuh 15 menit dengan berjalan kaki. Sungguh, Aliya salut dengan semangat warga desa yang rela jauh-jauh dan berlelah-lelah untuk menimba ilmu.
Queen, Aliya, Reva, dan Tiara, mampu bekerja sama dengan baik. Berbeda dengan Rahma yang justru acuh tak acuh, pun terlihat malas mengikuti acara MTP tersebut. Seperti tidak niat mengikuti acara.
Saat materi, Rahma sering ditegur karena orang yang duduk di sebelahnya—artinya kelompok sebelah—satu frekuensi dengannya. Ia jadi banyak mengobrol dan kadang-kadang membuat kebisingan yang mengganggu kenyamanan yang lain. Saat sesi menghapal, ia leha-leha. Kemudian, saat salat duha berjama'ah, justru batang hidungnya tidak kelihatan. Lalu, saat sesi diskusi yang temanya berbeda tiap kelompok; kelompok empat mendapat tema mengenai menutup aurat dan akhlak, Rahma justru bersikap skeptis ketika ditanyai pendapat.
"Gak ngerti lagi aku sama si Rahma itu," keluh Queen kepada Reva, mereka akan mengambil jatah makan siang di tempat makan akhwat.
"Sama, Buketu, mana orangnya judes lagi," gubris Reva yang sama kesalnya.
Sementara itu, Aliya meminta Tiara untuk menemaninya bertemu Rahma di depan pintu asrama yang terkunci; mereka akan tidur di ruang kelas nanti. Terlihat, Rahma tengah selonjoran di teras, dan wajahnya terlihat tertekuk.
"Ayo, Tia," ajak Aliya untuk menghampiri Rahma lebih dekat.
"Ayo!"
Rahma menyadari, Aliya dan Tiara menghampiri keberadaannya. Ia pun lantas berdiri, hendak pergi ke tempat lain. Seakan-akan, kedatangan Aliya dan Tiara membuat perasaannya semakin kesal.
"Rahma, tunggu!" sergah Aliya sembari memegang pergelangan tangan Rahma.
Rahma tak menunjukkan ekspresi ramah.
"Kamu kenapa, Rahma? Kamu keliatannya gak nyaman, kalau ada apa-apa cerita aja, kami pasti dengerin kok."
"Bac*t!"
Balasan Rahma membuat Aliya dan Tiara sama-sama tercengang. Padahal, mereka datang dengan niat baik-baik, tapi perempuan bernama Rahma itu justru mengajak mereka tarung tinju!
"Bisa gak pake ngegas, gak?!" Tiara yang kesal pun lantas menggertak.
"Ih!" Rahma melepaskan genggaman tangan Aliya. "Bisa, gak? Jangan sok-sok-an ikut campur! Mending kalian pergi aja!"
"Udahlah, Al. Kita teh pergi aja. Liat, dia mah emang gak bisa banget diajak kerja sama," bujuk Tiara agar segera pergi dari sana.
Aliya tak mengeluarkan sepatah kata apa pun. Ia merasa bingung untuk berbuat apa dan bagaimana ketika menyaksikan semua itu. Namun, sikapnya yang tidak memprotes tatkala Tiara mengajaknya pergi, menunjukkan bahwa saat ini ia akan membiarkan Rahma terlebih dahulu.
Ramdan dan Zivan duduk berdua di depan nampan berisi makan siang untuk satu kelompok. Mereka celingak-celinguk, karena Alvin, Putra, dan juga Bima tidak kelihatan batang hidungnya. Mereka kompak menghilang. Padahal, Ramdan selaku ketua kelompok sudah berpesan untuk menunggu di aula.
"Apa kita cari mereka aja, Paketu?" tanya Zivan yang bosan menunggu.
"Hm, why not?" jawab Ramdan yang kemudian berdiri.
Di samping itu, Alvin yang tadinya akan keluar dari kamar mandi, dihadang oleh dua teman sekelompoknya. Mereka mengunci pintu kamar mandi dan menunjukkan seringai kepadanya. Apa saat ini Alvin akan menjadi korban bully mereka?
"Maksud lo apa ngelaporin hal tadi ke A Adnan?" tanya Bima tegas.
Tidak salah lagi. Seperti yang Alvin duga sebelumnya, Bima si anak angkuh itu pasti akan memberikan perhitungan kepadanya atas apa yang ia lakukan tadi.
Ketika sesi hapalan dan menyetor hapalan, santri dan santriwati dipersilakan untuk menghapal halaman yang belum mereka hapal untuk disetorkan (target MTP: satu lembar). Alvin tidak sengaja menangkap obrolan Bima dan Putra saat sesi menghapal tengah berlangsung.
"Gak usah ribet-ribetlah, setor yang udah pernah kita hapal aja. Biar cepet dan gak cape," kata Bima.
"Bagus juga ide Kang Bima teh," balas Putra yang Alvin lihat sangat sefrekuensi dengan Bima.
Setelah mendengar hal tersebut, Alvin pun menyampaikannya kepada Ramdan yang merupakan ketua kelompok. Kemudian, Ramdan pun mengajak Alvin untuk melaporkannya kepada Adnan, anak OSIS kelas 12, yang menjadi musyrif (pembimbing) kelompok mereka.
Putra memegang kedua lengan Alvin dan menariknya ke belakang.
"Apa yang mau kalian lakukan, hah?!"
"Gak usah banyak omong!"
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Pukulan demi pukulan keras mendarat di perut Alvin, yang seketika membuatnya mual setelah mendapat tonjokan tersebut. Ia yang tidak punya kemampuan bela diri, tak berdaya untuk membela dirinya dari pembullyan yang dilakukan Bima dan Putra.
"Sengaja gue gak mukul muka lo. Biar lo gak keliatan terluka," jelas Bima sembari tersenyum bangga, "Awas aja, lo! Kalau bilang-bilang ke yang lain, abis lo!" Bima lanjut mengancamnya.
Setelah itu, mereka berdua pun pergi meninggalkan Alvin yang meringis perih sambil memegang perutnya yang nyeri.
Tak lama, pintu kamar mandi yang sengaja ditutup tadi, terbuka lagi. Alvin melihat di depannya ada sosok Ghani yang tengah kebelet.
"Eh, lho ... Alvin?" Ghani terkejut melihat Alvin sedang merasa kesakitan. Sebagai mantan tukang bully di SMPnya dulu, Ghani mengetahui jelas apa yang sudah menimpa Alvin. "Lo kenapa? Abis dipukulin?"
Alvin hanya menggeleng sembari menahan rasa sakitnya. Alih-alih menjawab, ia justru mengalihkan topik pembicaraan, "Lo kebelet, kan? Cepet sana, entar ngomol lagi di celana!"
Alvin pun berlalu meninggalkan Ghani yang sedang mengerutkan dahinya.
Hmm ... gue yakin, dia abis dipukulin.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pesantren Biasa✓
Spiritüel[COMPLETED] Alvin Fauzi, anak lulusan SMP yang terhalang restu untuk masuk ke sekolah elit impiannya, karena posisinya sebagai anak tiri keluarga Amarta membuatnya tidak bisa mendapat kemewahan seperti adik-adiknya. Hanya ibunya saja, yang sebatas I...