Kehilangan orang tua di usia 7 tahun dan dibenci keluarga besar dari pihak ayah dan ibunya sudah cukup membuat Natha menderita. Namun ternyata ujian itu belum cukup untuk membuat Natha hancur. Apa yang terjadi kemarin malam sangat mengguncang mentalnya.
Natha bisa bertahan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya pergi. Natha juga bisa bertahan saat semua anggota keluarganya membencinya dan tidak menginginkannya. Tapi, apakah ia bisa tetap bertahan setelah kejadian kemarin?
Tidak. Natha merasa ia tidak sanggup untuk bertahan. Bahkan untuk berlagak baik-baik saja pun Natha tak bisa. Natha hanya berpikir, bagaimana bisa ia tetap hidup dengan rasa malu yang menghantui? Bagaimana bisa ia tetap tersenyum di saat orang-orang tahu bahwa Natha telah dilecehkan?
Natha tak bisa. Ia tidak bisa untuk terlihat baik-baik saja. Natha merasa dirinya hina. Ia merasa malu dan tidak berharga.
Untuk yang kesekian kalinya, air mata itu kembali menetes membasahi pipinya. Matanya yang sembab sudah menjelaskan betapa seringnya ia menangis setelah terbangun dari pingsannya.
Natha berpikir, bukankah seharusnya ia tak perlu bangun lagi? Seharusnya Natha mati saja, kan? Natha benar-benar tak bisa bertahan, ia terlalu lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya.
Suara pintu yang terbuka tak membuatnya menoleh. Natha tetap terdiam seolah berada di alam lain karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Natha ..." panggil Sania seraya menghampiri Natha yang terduduk di atas brankar rumah sakit. Tangan wanita paruh baya itu terangkat untuk mengusap rambut Natha yang kusut. "Di luar ada teman-teman kamu, mereka mau liat keadaan kamu."
"Aku gak mau ketemu sama siapa-siapa." Natha menjawab tanpa memandang Sania.
Helaan napas terdengar. Sania mengusap air mata yang terus keluar dari sudut mata Natha. "Ya udah, biar Mama bilangin sama mereka buat jenguk lain kali aja."
Lalu, Sania kembali keluar untuk menemui Jia dan Miya.
Natha tidak ingin bertemu orang-orang. Ia tidak dikasihani. Natha benci tatapan-tatapan prihatin mereka. Natha ... tak suka.
Natha bertahan di tempatnya seraya memandang dinding rumah sakit yang bercat putih. Air matanya dibiarkan mengalir tanpa mau repot untuk menyekanya. Ia ... benar-benar tenggelam dalam kesedihannya.
***
Shaka menyendokkan nasinya dengan malas-malasan. Ia dipaksa makan karena sudah hampir 24 jam tidak memakan apapun. Sania tidak ingin Shaka jatuh sakit. Oleh karena itu, Shaka terpaksa menuruti kemauan orang tuanya.
"Kondisi Natha sangat parah, dia bahkan gak mau ngomong kalau itu bukan hal yang penting. Tatapannya juga kosong, aku khawatir kondisinya akan semakin memburuk." Shaka menghentikan kunyahannya ketika mendengar ucapan sang ibu tentang Natha.
"Tenang. Kita bakal usahain yang terbaik buat Natha biar traumanya sembuh." Ardi membalas seraya mengusap punggung sang istri. Sementara Shaka sibuk mendengarkan.
"Entahlah. Aku takut kehilangan dia." Sania meneteskan air matanya ketika mengatakan itu.
"Kita gak bakal kehilangan dia, oke? Semuanya bakal baik-baik aja."
Shaka meletakkan sendoknya. Mendadak napsu makannya hilang karena mendengar percakapan kedua orang tuanya. Baik dirinya maupun Sania dan Ardi tak pernah tahu apa yang akan terjadi nantinya. Shaka tak tahu apakah nanti kondisi Natha akan semakin membaik atau justru semakin memburuk.
Yang pasti, Shaka hanya berharap agar Natha tak kehilangan semangat untuk hidup dan memilih menyerah. Karena jika itu terjadi, maka Shaka tak tahu lagi harus menjalani hidupnya seperti apa.
"Masalah pelakunya gimana? Kamu udah bikin laporan?" tanya Sania pada Ardi. Shaka ikut menoleh dengan raut penasaran.
Ardi mengangguk. "Udah, sekarang lagi ditangani polisi. Kita tinggal tunggu kabar baiknya aja."
"Baguslah kalau gitu. Pokoknya aku gak mau tahu, pelakunya harus dapat balasan yang setimpal," ucap Sania.
Shaka setuju. Arga memang harus mendapatkan balasan yang setimpal. Cowok itu tidak boleh dibiarkan bebas begitu saja. Arga ... harus menerima konsekuensi dari apa yang sudah ia perbuat.
Shaka pernah mendengar bahwa pelaku tindakan kejahatan seksual mendapat perilaku paling sadis di dalam sel penjara. Itu artinya, ia tidak perlu susah payah memukuli Arga karena cowok itu akan mendapatkannya sendiri saat di sel nanti.
"Serius loh, aku gak tega banget liat badan Natha penuh lebam kaya gitu. Cowok itu jahat banget sampe mukulin Natha, bejat, gak punya akal, biadab. Aku bener-bener gak rela Natha diperlakukan seperti itu sama dia."
"Aku bahkan gak bisa bayangin gimana sakitnya jadi Natha. Gak heran kalau dia sangat trauma. Cowok itu benar-benar berniat menghancurkan masa depan Natha loh, Mas. Natha salah apa coba sampe digituin? Selama ini Natha baik terus, dia gak pernah melakukan hal atau mengucapkan sesuatu yang menyakiti hati orang lain. Tapi kenapa? Kenapa Natha kita harus diperlakukan seperti itu?"
Dada Shaka terasa sesak saat mendengar ucapan Sania.
Benar. Natha tidak salah apa-apa, tapi kenapa ia harus mendapat musibah seperti ini?
Ardi mengusap bahu Sania yang bergetar. Ia pun merasakan kesedihan yang sama. Lelaki itu bahkan juga merasa bersalah pada almarhum ayah Natha karena tidak bisa menjaga Natha dengan baik. "Kita bakal lakukan yang terbaik demi kesembuhan Natha."
Dering telepon dari ponsel Ardi berhasil mengalihkan perhatian ketiganya. Ardi mengambil ponselnya, lalu langsung mengangkat panggilan itu tanpa pikir panjang. "Halo?"
Shaka saling pandang dengan Sania ketika Ardi mengobrol dengan orang di seberang sana.
"Baik, saya kesana sekarang," ucap Ardi sebelum mematikan panggilan teleponnya.
"Siapa, Pah?" Shaka bertanya penasaran.
"Dari kepolisian. Katanya pelakunya sudah tertangkap."
Pupil Shaka membesar mendengar itu. Ia berdiri dari duduknya selagi memandang Ardi yang bersiap untuk pergi. "Aku ikut," ucapnya tanpa pikir panjang. Shaka ingin sekali bertemu dengan Arga dan memberikan pembalasan yang setimpal pada cowok itu. Namun, respon Ardi setelahnya mampu melenyapkan harapannya.
"Gak perlu, Arshaka. Kamu gak bisa mengontrol diri kamu kalau sudah marah, Papa gak mau kamu bikin keributan."
"Tapi, Pah-"
"Jangan membantah. Cukup serahin ini semua sama Papa, biar Papa yang urus semuanya. Papa janji orang itu akan mendapat ganjaran yang setimpal, kamu gak perlu khawatir," kata Ardi meyakinkan.
Mendengar itu, Shaka tak memiliki pilihan lain selain menurut. Ia percaya pada ayahnya, dan ayahnya tidak akan mungkin mengecewakannya.
"Kamu tetap di sini bersama Mama kamu untuk jagain Natha ya?"
Shaka mengangguk, lalu setelahnya Ardi pergi meninggalkan kantin rumah sakit.
Dalam diamnya, Shaka hanya berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.
***
Maaf banget kalau updatenya kemalaman :(
Sampai ketemu di part selanjutnya!
Salam,
B
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake✔️
Novela JuvenilBagi Arshaka, hanya ada dua perempuan yang menjadi prioritas di hidupnya. Pertama adalah ibunya, dan kedua adalah Zeanatha Aileen. Bagi sebagian orang di kampus, Natha adalah cewek paling beruntung. Memangnya siapa yang bisa membuat Shaka luluh se...