Shaka terduduk di depan ruang inap Natha. Kepalanya menunduk, matanya memandangi sepatunya sendiri dengan perasaan tak karuan. Tangannya mengepal kuat, berusaha menahan tangisnya agar tak muncul kembali.
Apa yang terjadi pada Natha kemarin malam berhasil mengguncang dirinya sendiri. Shaka tak percaya, ia berkali-kali menepis kenyataan itu dan menganggap bahwa apa yang terjadi pada Natha hanyalah bagian dari mimpi panjangnya. Namun itu hanyalah sebuah harapan yang tak pernah menjadi kenyataan.
Shaka tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa dirinya harus lalai menjaga Natha? Kenapa Natha harus pulang sendirian? Kenapa tidak ia saja yang menjemput Natha di rumah Miya kemarin malam? Kenapa Natha-nya harus melalui kejadian pahit itu?
Bahu Shaka bergetar, pertahanannya hancur, pada akhirnya ia kembali menangis. Seharusnya hari ini Natha memberikan jawabannya atas pertanyaan Shaka dua hari yang lalu. Seharusnya Natha tidak berada di rumah sakit sekarang. Seharusnya mereka tengah menikmati weekend mereka sambil membeli jajanan. Seharusnya ... tidak seperti ini.
Tapi, bagaimana bisa? Bagaimana bisa Shaka menerima fakta ini? Bagaiamana Shaka bisa tetap baik-baik saja di saat Natha belum juga sadarkan diri? Bagaimana?
Shaka mengusap wajahnya. Ia menarik napasnya dalam, lalu menghembuskannya berat. Mungkin sebentar lagi kedua orang tuanya akan tiba untuk mengecek kondisi Natha. Mungkin setelah ini ayahnya akan marah besar padanya karena ia tidak bisa menjaga Natha dengan baik. Dan mungkin setelah ini hubungannya dengan Natha akan merenggang.
Shaka menumpukan kedua sikunya pada lutut seraya menutup wajahnya dengan tangan. Ia terisak dengan bahu bergetar. Shaka jarang menangis, ia lebih sering menahan kesedihannya sendiri. Namun untuk kali ini, ia tak bisa tetap terlihat tegar menghadapi kenyataan menyakitkan seperti ini. Ia tak bisa tetap baik-baik saja.
"Shaka!" Panggilan dari seseorang yang ternyata adalah ibunya berhasil membuat Shaka menoleh. Sania menghampiri Shaka, lalu memeluk anak lelakinya itu dengan tangis pecah. "Natha gimana?" tanya Sania.
Shaka diam, ia menunduk karena bingung ingin menjawab apa. Cowok itu hanya bisa terisak di pelukan sang ibu karena tak sanggup untuk menjelaskan apa yang telah terjadi.
Sania mengusap punggung sang putra. "Its okay, semuanya bakal baik-baik aja." Shaka tahu bahwa alasan Sania mengatakan itu hanya untuk menenangkannya. Semuanya akan baik-baik saja? Tidak, semuanya tidak akan baik-baik saja.
Ardi menghampiri Shaka, lalu mengusap kepala anaknya lembut. "Tenangkan diri kamu dulu, Arshaka."
Sania melepaskan pelukannya, sementara satu tangannya mengusap pipi Shaka yang terus dijatuhi air mata. "Natha masih belum sadar?" tanya wanita paruh baya itu khawatir.
Shaka mengangguk sebagai jawaban.
Sania menghela napasnya seraya memandang sang suami yang diam. "Kalau gitu, Mama sama Papa mau lihat keadaan Natha dulu ya?"
Ardi dan Sania masuk ke ruang inap Natha, sementara Shaka memilih menunggu di luar ruangan karena merasa tak sanggup melihat keadaan Natha. Shaka tak ingin rasa bersalahnya semakin besar, Shaka tak ingin berlarut dalam penyesalannya. Setidaknya untuk sekarang, Shaka hanya berusaha untuk tetap waras.
***
Setelah 15 menit berada di ruang inap Natha, Ardi memilih keluar dan hanya menyisakan Sania yang ada di sana. Pria itu memandang Shaka yang tengah menyandarkan kepalanya di dinding rumah sakit, lalu ikut duduk di samping putranya.
Hanya ada keterdiaman di antara mereka.
"Papa gak marah sama aku?" tanya Shaka setelah lama terdiam. Ia melirik Ardi di sampingnya dengan mata sembabnya.
Ardi menoleh, lalu menghembuskan napasnya berat. "Marah. Papa berniat gebukin kamu malah, tapi Papa jadi gak tega waktu liat keadaan kamu yang sangat kacau." Tangan Ardi bergerak untuk mengusap punggung Shaka. "Liat penyesalan di mata kamu, Papa jadi sadar kalau ngeluapin kemarahan dengan memukul kamu itu gak berguna sama sekali."
"Lagian, kamu udah cukup menderita kan? Papa tebak, kamu belum tidur sejak kemarin malam. Papa gak mungkin nambah-nambahin."
Shaka tersenyum miris mendengar itu. Benar kata sang ayah, Shaka sudah cukup menderita dengan semua kenyataan pahit ini.
"Kita bakal cari pelakunya sampai dia mendapatkan ganjaran yang setimpal, jadi kamu jangan terlalu khawatir," ucap Ardi seraya menepuk-nepuk punggung Shaka.
Shaka tertawa kesal, "Buat apa nyari? Toh, aku udah tahu pelakunya siapa. Aku tinggal ketemu sama dia, terus aku gebukin sampai puas, mungkin sampai dia mati sekalian," ujar Shaka penuh dendam. Tanpa sadar, tangannya terkepal kuat ketika membayangkan raut penuh kemenangan Arga.
"Jangan gegabah, Arshaka. Kita serahkan saja ini semua pada kepolisian, jangan sampai kamu mengotori tangan kamu sendiri."
Mendengar itu, Shaka hanya bisa terdiam dengan rahang mengeras.
Apakah menyerahkan semuanya pada kepolisian adalah cara terbaik? Apakah dirinya tak boleh bergerak sendiri untuk membalaskan semuanya pada Arga?
Hari itu, pikiran Shaka sangat kacau. Begitupun dengan hari-hari seterusnya karena Natha-nya telah berubah.
Shaka menyadari bahwa sosok Natha yang ceria telah hilang, tergantikan dengan sosok Natha yang lain, yang penuh ketakutan dan kesedihan.
***
Maaf kalau agak pendek.
Sampai ketemu di part selanjutnya!
Salam,
B
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake✔️
Genç KurguBagi Arshaka, hanya ada dua perempuan yang menjadi prioritas di hidupnya. Pertama adalah ibunya, dan kedua adalah Zeanatha Aileen. Bagi sebagian orang di kampus, Natha adalah cewek paling beruntung. Memangnya siapa yang bisa membuat Shaka luluh se...