“Apa kau masih sakit Eun Chae?” tanya nyonya Park. Eun Chae tersenyum menggeleng sambil berjalan mengangkat keranjang sayuran dan menaikkannya ke mobil pick up. “Tapi wajah mu sangat pucat. Lebih baik kau beristirahat, biar Joon Ha yang melanjutkan pekerjaan ini.”
“Benar kata ibu...lebih baik kau istirahat.” kata Joon Ha yang muncul dari arah belakang.
“Aku tidak apa-apa. Ini sedikit lagi. Setelah selesai aku baru akan istirahat.” kata Eun Chae keras kepala.
“Eun Chae!” teriak Joon Ha menarik tangan Eun Chae hingga keranjang sayuran bersama isinya jatuh ke lantai. Eun Chae melengos dan menghembuskan nafas dengan kasar, lalu merjongkok untuk memunguti sayuran yang berhamburan. “Ada apa dengan mu! Sedari beberapa hari kau pulang bersama Min Chae, kau tampak sangat aneh. Apa Shin Joo menyakiti mu?” tanya Joon Ha yang berdiri dihadapan Eun Chae melihat bagaimana Eun Chae tak ambil peduli dengan apa yang ia katakan.
“Hentikan Joon Ha.” sahut nyonya Park yang turut berjongkok membantu Eun Chae mengumpulkan sayuran. “Eun Chae-ah...istirahatlah sebentar.” nyonya Park meraih tangan Eun Chae yang masih terus bergerak. Eun Chae berhenti dan memandang nyonya Park.
“Baiklah, ahjumma. Maafkan aku telah membuat semuanya berantakan...” kata Eun Chae tersenyum kecil dan bengkit dari jongkoknya. Nyonya Park tersenyum mengangguk kecil dan menoleh kearah Joon Ha.
Eun Chae berjalan gontai menyelusuri rindangannya pepohonan sepanjang jalan utama kampus. Sesaat ia berhenti sejenak dan menengadahkan kepalanya ke arah langit. Beberapa kali ia mengedipkan matanya dan mengangkat tepak tangan kanannya untuk melindungi pandangan matanya dari sinar matahari yang masuk dari celah-celah dedaunan. Eun Chae menarik nafas dalam-dalam dan melanjutkan langkahnya, hingga ia memilih sebuah pohon besar dan duduk dibaliknya.
Eun Chae menyenderkan punggungnya pada batang pohon besar, merasakan semilir angin dan membuatnya memejamkan mata. Ia meraba keningnya sendiri dan merasakannya sedikit hangat. Rasanya benar kalau ia sedang demam sedari beberapa hari yang lalu, tapi tak benar-benar ia rasakan.
“Eomma...” desah Eun Chae pelan hampir tak terdengar. Dalam gelap matanya tertutup, ia kembali teringat wanita yang ia temui di restoran waktu itu. Seseorang yang bersama dengan Min Chae. Wanita yang takkan pernah ia lupakan meski sangat ingin ia hapus dalam ingatannya bahkan dalam mimpinya sekali pun. Tapi ia tak pernah bisa. Ia yakin benar kalau nyonya Kang adalah ibunya, ibu kandungnya yang telah meninggalkannya 7 tahun yang lalu.
Nyonya Kang masih sama cantiknya seperti apa yang Eun Chae ingat. Perasaan bergetar yang ia rasakan pada saat pertama kali pandangan mereka bertemu, masih terus terasa hingga saat ini. Eun Chae tak ingin mempercayai apa yang selama ini ia dengar tentang bagaimana ikatan batin antara seorang ibu dengan anaknya bisa begitu sangat kuat, karena jika memang begitu maka ibunya takkan mungkin maninggalkannya begitu saja atau sama sekali tak mencarinya kecuali memang benar nyonya Kang bukanlah ibu kandungnya hingga ia tak bisa merasakan getaran itu pada dirinya.
Eun Chae ingat bagaimana setelah pandangan mereka bertemu, ia terus menerus menatap nyonya Kang yang tampak biasa saja menghadapinya. Apa yang mendasari keyakinannya bukan saja getaran yang hebat dalam dirinya, dalam hatinya. Sebuah tahi lalat yang berada di dekat daun telinganya yang membuat Eun Chae merasa yakin kalau nyonya Kang adalah ibu kandungnya. Atau...semua itu hanyalah sebuah kebetulan semata. Sebuah kebetulan yang menambah rasa penasaran akan jawaban akan kepergian ibunya.
Eun Chae membuka matanya. Semua pikiran-pikiran itu membuat kepalanya hampir meledak. Eun Chae menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Dia bukan tujuanku yang utama. Sedari awal tujuan ku adalah bagaimana memasukkan Min Chae ke sekolah, bagaimana aku bisa mencari penanganan medis yang tepat bagi kebutuhan khusus Min Chae, bagaimana agar kami bisa terus bertahan.” desah Eun Chae bergumam seorang diri.