Bab 11 - Terhina

750 225 40
                                    

Skuuyyy.. pada baca dan komen lah.
mana nih orang2 yang suka spam komen? Menghilang layaknya debu

mana nih orang2 yang suka spam komen? Menghilang layaknya debu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

----------------------------------


Andai aku bisa mengungkapkan segalanya, mungkin mulut kotormu itu bisa kusumpal dengan sejumlah uang yang kumiliki.

Menurut. Hanya itu yang bisa Dara lakukan kali ini. Sambil membawa nampan yang berisikan beberapa cangkir minuman untuk tamu serta untuk ayahnya, Dara melangkah keluar rumah, menuju teras depan di mana tamu itu kini berada.

Baru satu langkah saja Dara keluar dari pintu rumah, tatapan mata nakal Danang, nama laki-laki itu, seolah sedang menelanjangi Dara di depan ayahnya sendiri. Setiap langkah yang Dara ciptakan benar-benar seperti hitungan detik menuju sebuah kematian atas tatapan buas dari laki-laki kurang ajar. Hingga pada akhirnya langkah Dara sampai, lututnya langsung bersimpuh. Dia meletakkan dua cangkir di depan Danang, serta seorang laki-laki tua yang Dara ketahui merupakan pak Lurah dan juga ayah dari Danang.

"Silakan," ucap Dara sopan. Kepalanya mengangguk, berniat pamit masuk kembali ke dalam rumah. Namun sayangnya kalimat dari pak lurah itu lebih cepat dari langkahnya.

"Nak Dara bisa duduk sebentar bersama kami di sini," ucapnya.

Dara berputar arah kembali. Dia masih berusaha memasang senyum ramah, walau sebenarnya hati Dara merasa tidak terima. Tapi apa mau dikata, dia hanya berusaha menjadi anak baik untuk kedua orangtuanya.

"Mungkin nak Dara bingung kami ini siapa, jadi pertama-tama izinkan saya memperkenalkan diri. Saya Cipto, Lurah di desa ini. Dan ini adalah anak laki-laki, Danang."

"Halo."

"Duh, ayu tenan, ya."

Menanggapinya dengan ringisan, Dara sempat melirik ke arah ayahnya yang seolah paham bagaimana tertekannya Dara saat ini.

"Kamu dulu sekolah di mana nak Dara?"

Dimulai dari asal sekolah, introgasi kepada Dara sebagai kualifikasi calon mantu pun dimulai. Seolah tidak mau bibit, bebet dan bobot untuk menantunya buruk, Lurah ini benar-benar menjejeli Dara dengan macam-macam pertanyaan.

"Saya lulus dari kampus swasta, Pak."

"Owh alah swasta." Memberikan tanggapan seperti hinaa, Dara semakin paham dari mana tampang tengil Danang berasal. Ternyata dari ayahnya sendiri.

"Di Jakarta?" Danang ikut mengeluarkan pertanyaan atas rasa penasarannya.

"Hm. Beasiswa. Kalau bukan beasiswa mah uang dari mana," ungkap Dara merendahkan dirinya serendah-rendahnya sampai Danang dan ayahnya tidak bisa merendahkan Dara lagi dari segi manapun.

"Terus kenapa sekarang di kampung? Mau nikah, ya?"

Merasa bersalah karena sampai detik ini belum juga Dara bercerita kepada orangtuanya mengenai karir di d'Express telah berakhir, Dara mencoba untuk tetap menutupinya.

SPOSAMI! DANTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang