"Mama."
Aku mendengarnya.
"Mama."
Kali ini diikuti dengan usapan di pipiku. Mataku perlahan terbuka dan bertemu dengan matanya. Mata bulat berbinar menatapku. Mulutnya tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi kecil. Jarak kami begitu dekat, tepatnya tubuh kecilnya berada di atasku yang masih berbaring.
Azka, keponakan Fabian yang kemarin demam lebih tenang setelah ku gendong. Usianya baru dua tahun. Awalnya aku terkejut dengan panggilannya yang memanggilku mama, begitu juga Fabian. Tanpa mempedulikan keterkejutanku, Azka merengek meminta gendong padaku. Suhu tubuhnya tinggi membuatnya rewel dan tidak mau makan. Aku mencoba menyuapinya dengan bubur sambil menggendongnya. Pengasuhnya dan Mbok Rum bahkan Fabian juga kembali dibuat heran karena Azka mau menghabiskan bubur dari tanganku dan tidak rewel meminum obatnya.
Kemarin malam, aku mempunyai dua bayi yang harus ku jaga. Azka merengek memintaku tidur dengannya sementara Fabian juga ikutan rewel ingin ditemani. Kepalaku mendadak pusing dan sempat protes pada Fabian, menyuruhnya istirahat. Bukannya menurut, dia malah mengikutiku sampai di kamar Azka dan meringkuk di sofa panjang yang ada di kamar itu. Tidak mungkin dia bergabung dengan kami di tempat tidur kecil Azka. Berkali-kali aku menyuruhnya kembali ke kamarnya sendiri tapi dia hanya menggerutu. Berakhir aku yang mengalah, membawa Azka tidur di kamarnya karena Fabian terus mengeluh pusing dan sedikit menggigil. Azka memang sudah tidak rewel tapi tidak mau melepaskanku. Jadilah kami tidur bertiga dengan posisiku di antara mereka bahkan keduanya kompak memelukku dan segera tidur.
Pagi ini, Azka bangun lebih dulu dan menatapku senang. Aku memegang dahi dan pipinya untuk mengecek apakah dia masih demam atau tidak.
"Azka udah nggak demam lagi," ucapku lega yang di balas dengan cekikikannya dan kembali memelukku. Aku menoleh ke samping, Fabian masih terlelap. Lengannya masih melingkar di perutku. "Papa masih tidur. Kita buat sarapan yuk."
Bocah dua tahun itu mengangguk-angguk senang. Aku sudah mau bangun tapi lengan Fabian semakin erat menahanku.
"Sini aja. Biar Mbok Rum yang buat sarapan."
Satu lagi bayi yang harus ku urus. "Aku juga harus siap-siap berangkat ke kantor, Mas."
"Kamu bisa libur sehari. Bilang aja suami kamu lagi sakit. Nanti aku yang acc izinmu."
Masih demam rupanya si bos ini.
"Mama, mamam."
Celotehan Azka membuat hatiku menghangat. Bahagia rasanya mendengar panggilan itu. Sudah lama ku ingin mendengarnya. Bisakah aku terus mendengar panggilan itu? Aku menatapnya haru dan mengangguk dengan senyum lebar.
Perlahan aku bangun tapi lengan Fabian masih menahanku. Baru saja aku mau protes, Azka mencubit lengan itu gemas.
"Papa lepas."
Fabian mengadu kemudian bangun dengan menatap Azka cemberut. "Mama itu punya Papa."
Aku melotot melihat tingkah kekanak-kanakan Fabian. Tingkahnya membuat Azka menjerit kesal sambil memelukku.
"NO."
"Kamu baru mengenalnya kemarin, Azka. Mama milik Papa."
Jeritan Azka semakin kencang. Tangan kecilnya terus memukul lengan Fabian. Aku menangkap tangan itu dan menahannya.
"Nggak boleh begitu, Sayang."
"Tuh, dengar kata Mama," sahut Fabian, setengah mengejek yang ku balas dengan cubitan di perutnya. Membuatnya meringis kesakitan. "Sakit, Sayang."
"Kamu juga dari tadi nyebelin banget sih, Mas? Kayak anak kecil aja. Cepetan bangun. Kamu juga harus siap-siap kan?"
Fabian malah merapatkan tubuhku padaku dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Tidak mau kalah dengan Azka, dia juga ikut memelukku erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine (End)
RomanceBertemu mantan bukanlah hal yang ku inginkan saat ini. Mengapa harus bertemu lagi dengannya sekarang? Lebih tepatnya, mengapa kami baru bertemu lagi? Seketika aku ketakutan. Takut, rasa yang ku kubur dalam-dalam kembali muncul di permukaan dan memb...