Pukul sembilan lebih lima belas menit, saat bus berhenti di pemberhentian terakhir. Hanya tinggal beberapa orang saja di dalam bus termasuk dirinya. Gauri merenggangkan tubuhnya saat dirasa pinggang dan lehernya agak nyeri, kemudian ia segera bangkit untuk keluar dari sana.
Langit sudah sangat gelap. Namun segelap apapun mereka diatas sana, kota ini tidak pernah sedikitpun ikut redup. Gauri termenung di tempatnya berdiri, menatap beberapa tempat di depannya yang tampak tergenang air, ternyata hujan juga baru saja menghujam Bandung.
"Dulu waktu kesini, hujan juga turun."
Hhh, lagi-lagi Gauri tersenyum kecut. Diam-diam mengumpat pada otaknya sendiri, kenapa ia harus mengingat hal-hal seperti itu. Padahal Gauri adalah orang yang payah sekali dalam mengingat, terlebih wajah dan nama orang yang baru ia temui. Namun gadis ini merasa bahwa kenangan lamanya bersama 'dia' adalah satu-satunya hal yang tersimpan rapat seolah memiliki tempat penyimpanan sendiri di salah satu ruang otaknya.
Gauri bersumpah, gadis itu sudah tidak memiliki perasaan apapun lagi terhadap Ardanta semenjak hubungan mereka resmi berakhir bertahun tahun yang lalu. Bahkan Gauri yakin bahwa sebelum hubungan mereka selesai pun, perasaan itu sudah dengan sendirinya enyah dari hatinya. Ardanta sendiri yang membuat perasaan itu dengan senang hati menghilang dari sana.
Maka sangat tidak etis rasanya apabila tiba-tiba Gauri merasa ada sesuatu yang menggerayangi hatinya saat ini. Gadis itu mati-matian menepis semua perasaan yang berusaha mendobrak masuk kedalam dirinya. Segala yang ada pada masalalunya memang tidak pernah ia lupakan, namun ia juga tidak akan pernah membiarkan dirinya sendiri terkurung disana. Ia tidak pernah punya keinginan untuk kembali kesana.
Ardanta baginya hanyalah salah satu bagian dari prosesnya menuju manusia yang lebih baik lagi. Proses yang ada pada masalalunya. Proses yang penuh tawa, namun juga selalu terselip luka diselanya. Gadis itu sebenarnya sangat enggan saat harus di pekerjakan disini. Hal itu sama saja dengan mengembalikan gauri ke belakang kemudian mendorongnya untuk kembali melalui jalan jalan yang dulu pernah ia tempuh. Jalan yang di bencinya. Jalan yang selalu ia doakan, agar di masa depan tak akan pernah ia temui lagi.
Dan benar saja, disanalah dia sekarang. Ardanta Naratama. Menatap lurus kearahnya dengan sepasang mata yang memerah setelah beberapa saat yang lalu keluar dari mobil jemputan perusahaan tempat Gauri bekerja.
•
Hening dan dingin. Adalah dua kata yang paling tepat untuk situasi saat ini. Tidak ada yang enggan berbicara sejak setengah jam yang lalu, sampai akhirnya hujanlah yang memilih untuk menghantam atap mobil dan mengisi keheningan didalamnya saat ini.
"Jalan Pajajaran, bener?" Ardanta menyerah, ia akhirnya bersuara meski harapannya dapat di jawab dengan antusias yang sama harus pupus dan tergantikan oleh rasa nyeri yang begitu cepat menjalar ke ulu hatinya.
"Iya."
"Apa kab-" laki-laki itu membungkam mulutnya bahkan sebelum kalimat yang akan ia ucap terselesaikan. Danta menatap gadis itu dari spion depan, ia sedang sibuk menyumpal kedua telinganya dengan earphone. Ardanta tersenyum miris, menyadari bahwa jaraknya sudah sangat jauh dengan gadis itu.
"Masih takut hujan ternyata," ucapnya pelan diikuti oleh kekehan di akhir kalimatnya. Yang tanpa ia sadari, gadis di kursi penumpang itu saat ini tengah tertegun dengan hati yang bergemuruh. Earphone nya memang sudah terpasang sempurna dikedua lubang telinganya, namun sedari tadi gadis itu enggan memutar apapun sehingga apa yang laki-laki itu katakan masih terdengar olehnya.
Gauri hanya enggan berurusan kembali dengannya. Gauri benar-benar tidak mau terjebak oleh hatinya yang lemah kembali. Dia tidak mau di hancurkan lagi. Maka gadis itu dengan tegas menunjukkan garis batas antar mereka. Ia memilih untuk menggunakan earphone meski tak memutar lagu apapun. Ia memilih menutup matanya meski tak ada kantuk yang mengetuk. Ia hanya berusaha menciptakan jarak dengan sangat jelas, agar Ardanta tidak mampu melampauinya.
"Kamu bahkan juga berhasil kerja di bandara. Walaupun bukan jadi pramugari, tapi tetep aja hebat." Ardanta kembali bersuara meskipun ia tahu bahwa Gauri abai akan hal itu. Justru karena Gauri tidak mendengarkan, ia berani berucap. Ia tak punya keberanian sebesar itu apabila saat ini Gauri tidak terlelap dengan kedua telinganya yang tersumpal, jujur saja.
Sementara Gauri, di kursi penumpang, mati-matian menahan air matanya yang berdesakan keluar dari kelopak mata yang berusaha ia tutup rapat saat ini. Hatinya bergetar bukan main saat mendengar ucapan terakhir Danta. Sebenarnya apa yang laki-laki itu harapkan dengan berbicara demikian untuknya? Untuk menggoyahkan gadis itu? Untuk mengklaim validasi bahwa ia tahu segalanya tentang gadis itu?
'Kenangan yang tidak seharusnya dia simpan,' lirih Gauri dalam hati.
Gauri membencinya.
•
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika | Suara Batin
Romansa❝Sampai kapan kamu akan terus bersembunyi dibalik kata "Trauma" atau "Mati Rasa"? Katakan saja bahwa cintamu memang sudah habis di orang yang lama.❞ ©dearlyfiaa 2022 | Senandika